Totik Mansiathon Diri Marombou Bani Simbuei

My Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Sunday, March 23, 2014

Legenda Lahirnya Marga Purba Karo

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Purba merupakan salah satu marga dalam suku Karo yang berinduk pada marga Karokaro, marga ini membedakan diri dengan marga Purba yang ada di Simalungun maupun di Toba, meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari Simalungun, namun di antara keturunannya sudah banyak yang tidak mengetahui hal itu dan inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa punya hubungan dengan Purba Simalungun apalagi dengan Purba Toba. Marga inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung Kaban Jahe dan Berastagi serta kampung-kampung lain di sekitarnya. Di antara keturunan Purba Karo yang terkenal adalah Bakal Purba yang bergelar Sibayak Pa Mbelgah dan seorang lagi yaitu Sibayak Pa Pelita, keduanya berasal dari keturunan Purba kesain Rumah Kaban Jahe, selain mereka ada Narsar Purba seorang ahli catur pada zaman kolonial dan Batiren Purba yang merupakan kepala sekolah pertama orang Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe pada tahun 1933. Perlu diketahui bahwa Sibayak Pa Pelita dahulu masih sering berkunjung ke Pamatang Purba, karena ia masih mengingat tanah leluhurnya di Simalungun. Akibat sering berkunjung ke Simalungun, ternyata menjadi jalan baginya bertemu dengan pendamping hidupnya yaitu salah seorang puteri Simalungun boru Purba Pakpak, yang sebenarnya adalah saudari semarganya sendiri.
.
 Gambar 1: Pa Mbelgah Purba sekitar tahun 1910-1918

Di daerah Berastagi tanah Karo sekarang terdapat sebuah kampung bernama Buluh Duri, di tempat ini terdapat tujuh mata air bening yang tidak jauh dari Lau Gendek dan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Menurut cerita yang berkembang, di lokasi ini pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah pada zaman dahulu, di Simalungun terdapat sebuah kerajaan bernama Purba dengan rajanya bernama Tuan Baringin marga Purba Pakpak. Semenjak putera bungsunya lahir, raja ini sering menderita sakit, sudah banyak dukun yang mencoba mengobatinya namun penyakitnya tidak kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya. Dengan menggunakan kesaktian mereka, para Guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putera bungsu raja adalah sumber penyakit dan malapetaka yang terjadi selama ini, dalam istilah Simalungun disebut Anak Panunda. Untuk menghindari malapetaka yang berkepanjangan, sang raja lalu memerintahkan agar putera bungsunya itu segera dibunuh.

Namun, para Guru Pakpak tersebut berpura-pura memenuhi perintah raja, mereka lalu pergi menyelamatkan dan membawanya dalam sebuah keranjang ke tengah hutan belantara. Mereka kemudian mendirikan sebuah gubuk kecil dan meletakkan keranjang tersebut di dalamnya, pada keranjang itu terdapat bambu kecil yang bertuliskan "Anak ini adalah anak Raja Purba dari Simalungun". Setelah itu, para Guru Pakpak meninggalkan putera raja itu sendirian. Tetapi sebelum mereka pergi, para Guru Pakpak ini lebih dahulu meletakkan panah, pedang, dan pisau di gubuk tersebut sebagai bekal bagi putera raja tersebut setelah beranjak remaja sebagai alat perlindungan. Mereka juga menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu terpancarlah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk sehingga tempat ini dinamakan Buluh Duri.

Gambar 2: Bakal Purba yang bergelar Pa Mbelgah, salah seorang Sibayak Kabanjahe

Tanpa mereka sadari, hutan belantara tersebut ternyata masuk area perladangan milik marga Karokaro Kaban, saat ini bernama Raja Berneh dekat Raya Berastagi. Melihat seorang bayi di ladangnya, marga Kaban ini sangat terkejut, ia pun merasa anak ini adalah anugerah Tuhan baginya yang barangkali kelak bisa mendatangkan rezeki. Anak itu lalu diangkat menjadi anaknya kebetulan dia tidak memiliki anak laki-laki. Setelah beberapa tahun putera Raja Purba berada di tempat pengasingan, ia pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah berani. Pada suatu hari, dia pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah sumpit, dalam perburuan itu ia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Ia lalu mengejar burung itu, namun burung itu selalu mampu mengelak ketika ia ingin menangkapnya. Burung itu akhirnya menghantarkannya bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Pemuda itu sangat terkejut melihat seorang gadis cantik berada sendirian di tengah hutan, namun di balik itu dalam hatinya terselip perasaan gembira karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan sesama manusia. Dengan hati berdebar-debar, ia lalu menghampiri gadis itu sembari menyapanya.

Sambil tersenyum gadis itu menjawab sapaannya dengan sebuah pertanyaan, ia ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi pemuda itu bisa sampai ke tempatnya. Dengan penuh kelembutan, pemuda itu pun menjelaskan maksud kedatangannya karena mengejar seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab derngan baik oleh si pemuda. Dengan demikian sang gadis akhirnya mengetahui bahwa pemuda tersebut berasal dari Simalungun dan putera seorang raja bermarga Purba. Setelah cukup lama berduaan, gadis itu lantas mengajaknya menuju ke kediamannya. Tempat tinggal gadis itu berada dalam sebuah gua besar yang letaknya tidak jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan. Saat berada di pintu gua, pemuda itu sangat terkejut dan hendak melarikan diri karena terdapat seekor ular besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahannya agar tidak pergi meninggalkan gua dan ia kembali terkejut ketika menyaksikan burung yang beberapa waktu lalu dikejarnya sedang bertengger di dekat ular itu.

Gambar 3: Keluarga besar Pa Mbelgah Purba pada 21 Februari 1918

Keheranan pemuda itu kian bertambah ketika mendengar ular itu berkata mempersilakannya masuk, akhirnya ia memberanikan diri memasuki gua tempat kediaman mereka. Gadis itu pun menghidangkan aneka buah-buahan untuk santapan sang pemuda. Karena ular dan burung itu terus memperhatikannya, maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu gadis itu lalu memberitahukan kepadanya bahwa ular besar itu adalah ibunya dan burung yang bulunya berwarna-warni adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar terus mengejarnya sehingga keduanya dapat bertemu.

Mendengar penjelasannya, pemuda itu bertanya mengenai tujuan ayahnya berbuat demikian. Gadis itu menjawab bahwa kedua orang tuanya ingin agar puterinya bisa menikah dengan pemuda itu. Lantas gadis itu pun bertanya pada sang pemuda, apakah ia bersedia memenuhi keinginan kedua orangtuanya. Si pemuda memenuhi keinginannya, tidak lama kemudian keduanya pun menikah. Setelah itu, sang mertua lalu menyuruh mereka agar pergi mencari tempat menetap di perkampungan manusia. Pemuda tersebut lalu mengajak puteri ular itu menemui ayah angkatnya marga Kaban, ayahnya sangat gembira melihatnya telah memiliki pendamping, ia lalu memberikannya sebidang tanah kepada mereka sebagai tempat tinggal. Posisi tanah yang menjadi kediaman mereka berada di sebelah hilir kampung marga Kaban, oleh sebab itu dinamakan Kaban Jahe. Ia pun mendirikan sebuah gubuk (Karo: barungbarung) dan tinggal bersama isterinya, puteri ular itu. Hingga kini keturunannya dipantangkan mengganggu atau membunuh ular, karena didasari keyakinan mereka tentang puteri ular tersebut.

Gambar 4: Narsar Purba, seorang ahli catur Karo pada masa kolonial,
foto ini antara tahun 1914-1919

Keturunannya kemudian mendirikan perkampungan lainnya di sekitar kampung utama (Kaban Jahe) seperti Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan Ujung Aji. Selain itu, Lau Cih dan Pancur Batu juga termasuk kampung yang mereka dirikan. Demikianlah asal usul Karokaro Purba di tanah Karo di Urung Sepuluh Dua Kuta.

Shalman Purba salah seorang keturunan Purba Rumah Kaban Jahe kepada penulis mengatakan setelah pihak kerajaan menitahkan untuk membunuh putera Raja Purba tersebut karena menyandang status Anak Panunda yang kemudian berhasil diselamatkan oleh Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Putera Raja Purba itu kemudian diangkat menjadi murid selama 7 tahun, setelah itu barulah ia melakukan perjalanan sendiri menuju tanah Karo dan tiba di Deleng Singkut. Di sana ia bertemu dengan satu keluarga umang yang memiliki seorang puteri yang cantik dan kemudian menjadi isterinya, keduanya lalu membuka perkampungan yang dinamakan Kaban Jahe.

Menurutnya kisah tentang burung dan ular itu hanyalah cerita rekaan yang sengaja dibuat lalu disampaikan kepada semua orang yang ditemuinya termasuk kepada keturunannya, tujuannya adalah untuk menutupi identitas sebenarnya bahwa ia adalah keturunan langsung dari Raja Purba. Perjalanannya mengejar seekor burung yang akhirnya mempertemukannya dengan seorang gadis hanyalah sebuah simbol dari leluhurnya Pangultopultop yang datang dari tanah Pakpak hingga menjadi raja di tanah Purba di Simalungun. Sementara ular disimbolkan sebagai proses kelahiran kembali bahwa ia telah mati sebagai Purba Pakpak di Simalungun dan terlahir kembali sebagai Purba Karo di tanah Karo dan menyandang marga Karokaro mengikuti marga setempat yaitu Karokaro Kaban.

Daftar Pustaka:
1. Sitepu, Tabir, Drs. 1993. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan
2. Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yasasan Massa.
3. Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara.
4. Lubis, Pangaduan, Z. 1996. Cerita Rakyat Dari Sumatera Utara 2. Jakarta: Grasindo.
Share:

Tuesday, March 18, 2014

Sejarah Lahirnya Marga Purba Simalungun

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pendahuluan
Dalam khasanah kebudayaan Simalungun, terminologi "Purba" memiliki beragam makna di antaranya bermakna timur, salah satu bagian delapan arah mata angin (deisa na waluh). Kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa Jawa yang berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Selain itu Purba juga bermakna pertanda, takdir, gelagat, atau ramalan (tondung), dalam tradisi Simalungun pada saat seorang wanita mengandung maupun menjelang masa persalinan (maranggi), orangtuanya akan bermimpi tentang pertanda atau takdir (purbani) kehidupan bagi anak mereka kelak. Takdir kehidupan sang anak yang masih dalam kandungan (parnaibataan) ditentukan oleh mimpi orangtuanya. Bila orangtuanya bermimpi meraih bulan, maka anak mereka kelak akan menjadi pembawa terang, namun sebaliknya bila orangtuanya bermimpi mendaki gunung tetapi tidak sampai ke puncak, maka pertanda kehidupan anak mereka kelak akan menderita.

Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di Simalungun, ada sejumlah pendapat mengenai tanah asal marga Purba, dalam cerita rakyat Simalungun dikenal tokoh bernama Narasi yang diyakini sebagai  leluhur awal marga Purba yang bermigrasi ke tanah Simalungun bersama dengan Narasag dan Naraga leluhur Saragih dan Sinaga atas anjuran dari empat orang putera Darayad Damanik leluhur awal marga Damanik. Peristiwa ini berlangsung sekitar abad 3 masehi, sewaktu maraknya pergolakan politik di India. Mereka datang dari bagian timur laut India sekitar daerah Chota Nagpur, pegunungan Assam, dan Nagaland; mereka berlayar melalui Selat Malaka hingga sampai ke Sumatera Timur. Adapun lokasi yang menjadi tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur adalah melalui Pagurawan di Batubara. Mereka lalu membentuk sebuah kediaman di sekitar aliran sungai Bah Hapal, dari sinilah keturunan mereka perlahan masuk ke pedalaman. Selain itu, ada juga yang berpendapat leluhur marga Purba berasal dari Siam dan hipotesa lain justru mengarahkan asal kedatangannya dari Manchuria. Batrlett (1952:633) dikutip dari Arlin Dietrich (2003:13) menerangkan bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berdiam di pesisir pantai timur, akibat desakan dari etnis Melayu yang datang dari Semenanjung Malaya mendesak orang Simalungun menyingkir ke pedalaman hingga mencapai pantai Danau Toba. Sampai sekarang penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih banyak yang mengaku kalau nenek moyang mereka ada yang berasal dari suku Simalungun.

Dalam cerita rakyat Simalungun, dikenal dua orang tokoh marga Purba yang termasyhur dalam sejarah yaitu Sangsi Purba dan Purba Aji (Purba Parajiaji), keduanya menjadi tokoh petualang yang melegenda dalam banyak suku bahkan di kalangan suku Melayu dan Minangkabau, nama Sangsi Purba tercatat dalam tambo alam Melayu dan Minangkabau. Sedang Purba Aji dikenal juga pada masyarakat Pakpak dan namanya diabadikan sebagai nama tempat di tanah Karo, yang sekarang beralih menjadi Perbaji (masuk Kecamatan Tiga Nderket sekarang). Riwayat hidup mereka tidak banyak terekam dalam sejarah, namun keberadaan mereka tetap menjadi ingatan bagi para keturunanannya. Pada zaman dahulu diketahui ada tiga orang puteri Purba Simalungun yang menikah dengan orang Toba, hal ini diketahui dari cerita rakyat yang berkembang di kalangan orang Toba. Dalam buku Pustaha Batak: Tarombo Dohot Turiturianni Bangso Batak karangan W.M Hutagalung dikisahkan bahwa Malau Raja generasi ketiga dari tokoh legendaris Si Raja Batak waktu berkelana ke tanah Simalungun, ia sampai ke daerah kediaman marga Purba. Di tempat ini, dia menaruh hati dengan salah seorang puteri dari marga Purba Siboro lalu menikahinya dan melahirkan tiga orang putera bernama Gurning, Ambarita Raja, dan Lambe Rajam sedang pendapat lain mengatakan mereka lahir di daerah Limbong. Demikian juga Datu Pejel alias Tuan Sorba Dijae generasi keempat dari Si Raja Batak yang merupakan saudara dari Tuan Sorba Dibanua dan Tuan Sorba Dijulu. Datu Pejel menikah dengan puteri Purba Simalungun sewaktu pindah dari Pangururan ke Sibisa daerah Uluan, puteranya kemudian dimargakan menurut marga ibunya. Selain keduanya, putera Raja Silahisabungan yaitu Sondi Raja leluhur marga Rumasondi generasi keenam dari Si Raja Batak juga menikahi puteri dari marga Purba Siboro yang menetap di Sagala. Selanjutnya, Ypes memberitakan dalam notanya bahwa pada zaman dahulu di Cinendang tanah Pakpak pernah berdiri tiga kerajaan kecil bersaudara, salah satunya diperintah oleh marga Purba Tondang. Ibukotanya berada di Panisihan dekat Pakiraman. Demikian juga di Belagen tanah Pakpak, Ypes melaporkan bahwa ada seorang Raja Lela bernama Tiar dari marga Kaloko, panglimanya bernama Pusama bermarga Purba.

Perkembangan Marga Purba
Pada awalnya marga Purba tidak mengenal cabang marga seperti yang berlaku saat ini, kemunculan sejumlah cabang marga Purba terjadi pasca adanya migrasi dari . Adapun cabang marga Purba Simalungun yaitu Tua, Tambak, Sigumondrong, Silangit, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Siboro, Girsang, Pakpak, Tambun Saribu, Tondang, Tanjung, Sihala, dan Manorsa. Lahirnya Purba Tambak diawali dari Kerajaan Silou yang pada awalnya berdiri di Asahan di sekitar hulu sungai Silou di Bandar Pasir Mandogei (nama sungai Silou di Asahan berasal dari Kerajaan Silou). Kerajaan ini didirikan oleh Panglima Indrawarman seorang keturunan Minangkabau yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Jambi bersama rombongannya tentara Hindu Jawa dari Kerajaan Singosari (Mulyana, 2006: 18). Untuk mengingatkan asalnya dari Jambi, hingga saat ini di Simalungun masih ditemukan kampung bernama Bah Jambi, Pagar Jambi, dan Mariah Jambi. Dalam cerita rakyat Simalungun dikenal juga tokoh bergelar Panglima Bungkuk yang juga berasal dari Jambi, tokoh ini kemungkinan besar adalah sosok yang sama dengan Indrawarman (patung Panglima Bungkuk hingga kini masih bisa disaksikan di daerah Tanoh Jawa, Simalungun). Indrawarman menyingkir ke pedalaman Simalungun akibat enggan tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan memilih bergabung dengan penduduk setempat yaitu suku Simalungun dan bersama-sama mendirikan Kerajaan Silou yang tunduk pada Kerajaan Nagur. Pada tahun 1350 tentara Majapahit dipimpin Adityawarman kembali mengadakan ekspedisi ke pulau Sumatera datang untuk menghukum Indrawarman, perang pun meletus antara Silou dan Majapahit, Indrawarman tewas dalam pertempuran. Keturunannya yang selamat melarikan diri ke Haranggaol yang diikuti perpindahan massal golongan marga Purba, di tempat pelarian ini mereka kemudian membangun kembali Kerajaan Silou. Saudaranya yang lain ada yang sampai ke dusun Raja Nagur di Raya Kaheian, di tempat ini mereka mendirikan sebuah kerajaan baru di sekitar hulu sungai Ular dan sungai Padang.

Raja Silou memiliki beberapa orang putera, salah seorang di antaranya membentuk perkampungan di Tambak Bawang yang pada masa itu penuh dengan rawa-rawa. Di tempat ini, ia membuat sebuah kolam dan menamakannya Tambak Bawang artinya kolam terbuat dari rawa-rawa. Sejak itu marganya lebih dikenal dengan sebutan Purba Tambak Bawang, ia menikah dengan puteri Karo dari Sukanalu dan memperoleh lima orang anak. Putera sulungnya bergelar Ompung Nengel yang memiliki gangguan pendengaran, putera kedua adalah seorang yang sakti, sepeninggalnya sosoknya dikeramatkan (sinumbah). Adik mereka yaitu Nai Horsik, Si Boru Hasaktian (pemilik pemandian keramat yang ada di Tambak Bawang), dan putera bungsu pergi ke Sukanalu ke kampung pamannya, keturunannyalah Tarigan Tambak yang ada di Sukanalu dan Kebayaken. Ompung Nengel merupakan leluhur Tarigan Tambak yang ada di Tambak Bawang dan Bawang, sepeninggal ayahnya ia meneruskan jabatan sebagai kepala kampung (pangulu) Tambak Bawang. Sedang adiknya Nai Horsik pergi ke timur dan sampai di Silou Buntu, ia menikah dengan puteri Raja Nagur dari klan Damanik dan melahirkan putera bernama Jigou.

Gambar 1: Raja Dolog Silou, Tuan Tanjarmahei Purba Tambak

Dalam naskah kuno Partingkian Bandar Hanopan peninggalan Kerajaan Dolog Silou yang disimpan oleh Tuan Bandar Hanopan, dikisahkan bahwa Tuan Sindar Lela bertemu dengan Puteri Hijau di aliran Sungai Petani dekat pohon tualang di sekitar Deli Tua. Sindar Lela memiliki keahlian berburu dan juga pemancing yang handal sehingga ia digelari dengan Pangultopultop, hal inilah yang menginspirasi lahirnya simbol Purba Tambak yaitu ultop (sumpit) dan bubu (alat penangkap ikan); keturunanya disebut Purba Tambak Tualang. Pertemuan Puteri Hijau dengan Sindar Lela terjadi pada waktu Aceh menyerang Haru. Keduanya menjalin hubungan saudara, Sindar Lela kemudian membawa Puteri Hijau ke Sinembah untuk mencari perlindungan, namun Datuk Sinembah keberatan. Dari sini, mereka pergi ke Haru. Sultan Haru rela membantu asalkan Puteri Hijau bersedia menjadi permaisurinya. Mendengar Puteri Hijau berada di Haru, Sultan Aceh mengirim armada untuk menyerang Haru sekaligus membawa Puteri Hijau kembali ke Aceh. Setelah berhasil menghancurkan Haru, Puteri Hijau diboyong ke Aceh, sultan lalu membujuknya agar rela menjadi isterinya, keinginan ini diterima oleh Puteri Hijau namun dengan syarat Sultan Aceh segera memberikan legitimasi kepada saudaranya Sindar Lela menjadi raja di Kerajaan Silou.

Setelah ditabalkan menjadi raja, Sindar Lela kembali ke Simalungun dan mendirikan kampung Silou Bolag. Ia menikah dengan puteri Raja Nagur bernama Ruttingan Omas dan melahirkan dua orang putera, yang sulung bernama Tuan Tariti dan yang bungsu bernama Tuan Timbangan Raja. Anak yang sulung menggantikan ayahnya sebagai raja di Silou Bolag, sementara yang bungsu pindah ke Silou Dunia dan menjadi Raja Goraha Silou. Sindar Lela juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua yang disebut Puang Toba. Tuan Timbangan Raja menikah dengan Bunga Ncolei puteri Penghulu Pintu Banua dari Barus Jahe dan melahirkan dua orang putera dan seorang puteri. Salah seorang puteranya kemudian mendirikan kerajaan dekat jurang di tanah Raja Marubun di tepi Bah Karei berbatas dengan Rih Sigom dan Sibaganding dekat Bangun Purba, keturunannya kemudian bergelar Purba Tambak Lombang. Tuan Timbangan Raja juga menikah dengan puteri puteri Raja Nagur dari Parti Malayu klan Damanik dan hanya melahirkan seorang putera. Pada masa terjadinya konflik antara Silou dengan Aceh karena perebutan Gajah Putih, Silou mengalami kekalahan. Sebagai tebusan, pasukan Aceh memboyong Raja Marubun, permaisuri Tuan Silou Dunia, dan dua orang anaknya, salah satunya seorang wanita. Sedang dua puteranya yang lain berhasil menyelamatkan diri, keduanya bergelar Raja Goraha Silou dan Raja Anggianggi. Setelah berada di Aceh, putera Tuan Silou Dunia mampu merebut hati Sultan Aceh sehingga dijadikan menantu lalu didudukkan sebagai penguasa di Tarumun, Aceh Singkil. Raja Dolog Silou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak dalam bukunya "Sejarah Keturunan Silou" menyebutkan bahwa Tuan Rajomin Purba Tambak bergelar Nai Horsik putera Tuan Bedar Maralam juga menikah dengan puteri Sibayak Barus Jahe. Di mana acara pernikahan mereka diadakan di kampung Barubei, pada waktu itu hadir Pangulu Tanjung Muda, Tambak Bawang, Purba Tua, Partibi Raja, Huta Saing, dan Purba Sinombah. Selain dengan puteri Sibayak Barus Jahe, Tuan Rajomin juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua Toba, saudara perempuan dari Raminta sebagai isteri.

 Gambar 2: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak bersama para penasehatnya

Namun belakangan, pihak Barus juga turut menikahi puteri Purba Tambak. Dua orang puteri Tuan Lurni bernama Panak Boru Tobin dan seorang lagi disebut Bou dijadikan isteri oleh Milasi Barus, Penghulu Tanjung Muda. Dari Panak Boru Tobin lahir tiga orang anak laki-laki bernama Sakka Barus, Tombaga Barus, Kudakaro Barus, dan seorang perempuan bernama Tapiorei beru Barus yang kemudian kawin dengan Tuan Duria Purba Silangit, Penghulu Gunung Mariah dan melahirkan putera mereka bernama Tuan Samperaja Purba Silangit. Saudarinya yang lain adalah Tuan Dormagaja, memiliki enam orang anak, pertama bernama Tapiara kawin dengan Laut Sipayung, anak mereka bernama Garain, kedua Tamin kawin dengan Tombaga Barus, anak mereka bernama Martika Barus. Ketiga Hamura kawin dengan Andim Sipayung, anak mereka bernama Morgailam Sipayung, Keempat Loin kawin dengan Jimat Sipayung, anak mereka bernama Kawan Sipayung. Kelima Rabini kawin dengan Ramauli Barus dan keenam bernama Arbun kawin dengan Taris Barus. Selanjutnya puteri Tuan Dorahim bernama Panak Boru Bungalou kawin dengan Sakka Barus, diperoleh anak laki-laki bernama Jotar Barus, dan tiga anak perempuan bernama Dingin, Renep, dan Langges.



Tuan Tanjarmahei memiliki tiga puluh orang anak dari dua orang isteri, pertama boru Saragih Simarmata dari Purba Saribu dan kedua bernama Bungalain boru Saragih Garingging puteri Raja Raya. Salah seorang puteranya bernama Tuan Huala memiliki lima orang isteri, dari isteri keempat bernama Ragi boru Saragih melahirkan tiga orang puteri bernama Rainggan kawin dengan Tandang Sipayung, Tarmulia kawin dengan Bolong Barus, dan Parpulungan kawin dengan Banci Sinulingga. Sedang dari isteri kelima bernama Ikim boru Saragih lahir seorang puteri bernama Ramaidah yang kawin dengan Tolap Barus. Puteri Tuan Tanjarmahei bernama Panak Boru Linggainim kawin dengan Bintala Barus dan memperoleh 3 orang anak laki-laki bernama Rajanimbang kawin dengan Tiomina boru Tarigan Tua, Nokoh kawin dengan Tamin boru Purba, dan Ingatbona kawin dengan Maria boru Bangun. Dari hasil pernikahan Rajanimbang dengan Tiomina boru Tarigan Tua lahir Dr. Ir. Takal Barus.

Gambar 3: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak

Selain di tanah Simalungun dan Karo, marga Tambak juga ditemukan di daerah Padang Lawas dan Kota Pinang. menurut Nalom Siahaan B.A dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Batak menerangkan bahwa marga Tambak merupakan penduduk asli di Padang Lawas, akibat kehadiran marga Harahap mereka terdesak dan pindah ke Kota Pinang. Bila berkunjung ke Padang Lawas dan Mandailing, kita akan menemukan sejumlah perkampungan yang mengabadikan marga Purba seperti Bangun Purba, Purba Bangun, Tanjung Purba, Purba Sinomba, Purba Tua, Purba Lama, dan Purba Baru, apakah perkampungan ini ada kaitannya dengan keberadaan Purba Tambak di tempat ini, barangkali perlu penelitian lebih lanjut. Marga Tambak inilah yang ditemui oleh Batara Sinomba dan puteri Lenggani dari Pagaruyung. Dari kedua orang inilah cikal bakal lahirnya Kesultanan Kota Pinang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Asahan. Pada tahun 2005 penulis pernah bertemu dengan salah seorang penyandang marga Tambak di Padang Lawas sewaktu berkunjung ke kampung halaman ipar penulis di Dusun Sipaho Desa Janji Matogu, Kec. Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara sekaligus mengunjungi komplek situs Candi Portibi. Keberadaan marga Tambak di Padang Lawas, mengingatkan penulis pada Kerajaan Panai yang pernah berdiri di lembah sungai Panai dan Barumun yang hancur oleh serangan Kerajaan Chola pada tahun 1025 Masehi. Kerajaan Panai merupakan kerajaan besar sebagai bukti kejayaan masa silam penduduk suku Batak di Sumatera Utara. Marga Tambak besar dugaan berawal dari kerajaan ini, akibat serangan Kerajaan Chola rakyatnya tercerai berai, sebagian ada yang pergi mengungsi ke Pagaruyung, Labuhan Batu, dan Asahan.

Gambar 4: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak (kanan) bersama dengan Raja Siantar, Tuan Sawadim Damanik (kiri)

Purba Sidasuha merupakan saudara Purba Tambak, marga ini berasal dari Suha Na Bolag sebuah kampung dekat Tiga Runggu yang didirikan oleh Raja Silou. Menurut salah satu versi, pada zaman dahulu Raja Silou yang tinggal di Silou Buntu memiliki dua orang putera dan seorang puteri, anak bungsunya sangat rajin bekerja ke ladang dan juga menyadap enau, berbeda dengan saudaranya yang sulung lebih gemar berkelana, berjudi, dan berniaga. Sedang saudara perempuan mereka pergi mengikuti suaminya di Dolog Hasian masuk Kecamatan Raya sekarang (pendapat lain mengatakan tinggal di Malasori, Dolog Masihol). Pada suatu hari, putera bungsu Raja Silou sangat kecewa dengan abangnya karena menyantap habis makanan dan juga tuak yang disadapnya. Dia lalu menegur abangnya atas perbuatan yang dia lakukan, namun abangnya tidak mempedulikannya justru menghinanya dengan ucapan: "suhasuhani bagod in do na suman inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!” (Artinya: sisa tuak itu yang layak engkau minum selaku suruhan di istana ini). Karena merasa terhina, dia lalu memukul abangnya, akibatnya terjadilah perkelahian di antara mereka. Namun karena abangnya lebih kuat, dia lalu memutuskan pergi dari Silou Buntu menuju ke tempat saudara perempuannya di Dolog Hasian (Malasori?). Sesampainya di Dolog Hasian dia menceritakan semua kejadian yang dia alami kepada saudara perempuannya dan mengatakan bahwa dia sedang diburu oleh abangnya untuk dibunuh. Demi menyelamatkan nyawa saudara laki-lakinya, dia menyuruhnya agar bersembunyi di bawah “palakka pangulgasan” (tempat merendam benang tenunan), saudara perempuannya ini lalu duduk di atasnya sambil bertenun. Akhirnya rombongan abangnya tiba di Dolog Hasian dan menanyakan perihal adiknya, saudara perempuannya ini menunjukkan arah yang berbeda, sehingga selamatlah saudara laki-lakinya itu dari pengejaran abangnya. Atas jasa saudara perempuannya ini, dia bersumpah akan selalu mengingatnya hingga keturunannya mendatang dan akan menyayangi mereka demikian juga anak perempuan mereka (panogolan).

J. Tideman dalam bukunya "Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra", dia mengisahkan bahwa pada zaman dahulu Tuhan Suha Na Bolag memiliki dua orang anak, yang sulung bekerja sebagai petani, sedang yang bungsu setiap pagi pergi menyadap enau untuk dijadikan tuak. Sepulang menyadap enau, dia kemudian pergi berburu. Akibat sering pulang terlambat, abangnya selalu menyantap habis makanan dan juga tuak dan hanya meninggalkan sisa-sisa (tebateba) untuk adiknya. Hal ini menimbulkan kemarahan adiknya, dia lalu memukul abangnya lalu pergi meninggalkan rumah dan bersembunyi di hutan. Akibat perlakuan tidak adil dari abangnya, dia lalu memutuskan meninggalkan Suha Na Bolag selamanya, namun sebelum dia pergi, dia teringat dengan kitab sihir Parpaneian yang dimiliki ayahnya yang terbuat dari kulit kayu alim warisan keluarga turun temurun. Dengan mempelajari kitab tersebut, manusia mampu mengetahui kapan saat yang baik dan buruk dalam melakukan sebuah tindakan. Dia lalu mengambil kitab tersebut dan membawanya menuju ke arah timur hingga tiba di kampung Dusun Raja Nagur, kampung ini sekarang terletak di sekitar Pamatang Panei. Di tempat ini, dia menikah dengan putri kepala kampung bermarga Damanik. Untuk menutupi jejaknya, dia kemudian mengganti marganya menjadi Purba Suha atau Sidasuha (sebagian berpendapat namanya adalah Tanjarum Purba Sidasuha). Dia semakin dikenal secara luas oleh masyarakat setelah kematian ayah tirinya yang menjabat sebagai kepala kampung.

 Gambar 5: Tuan Anggi Dolog Silou, Tuan Rajabulan Purba Tambak bersama dengan keluarganya

Dia mencoba memperluas wilayah dengan menaklukkan Dusun Sapala Tuhan, kemudian berkembang desas-desus di tengah masyarakat bahwa dia memiliki kekuatan gaib yang bersumber dari kitab Pustaha Panei Bolon, orang menduga dia berhasil melakukan segala hal berkat bantuan kitab tersebut. Untuk memperkuat kedudukannya, dia kemudian pergi ke Kerajaan Siantar untuk mempersunting puteri raja Siantar marga Damanik. Berkat bantuan mertuanya Raja Siantar, Sidasuha diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Saragih Sipoldas. Kisahnya berawal saat diadakan pertemuan dengan para Raja Marompat di Dolog Saribu yang dihadiri Raja Tanoh Jawa, Silou, dan Sipoldas. Di hadapan mereka, Raja Siantar mengatakan bahwa menantunya memiliki sebuah kitab sakti bernama Pustaha Panei Na Bolon, kitab tersebut dapat dibuka dalam ruangan gelap karena tulisan yang tersurat dalam kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga (panei) yang mampu bersuara dan meramalkan segala sesuatu yang akan terjadi. Mendengar kisah yang disampaikan Raja Siantar itu, Raja Onggou Saragih sama sekali tidak percaya, dengan ucapan takabur dia mengatakan: "Anggo tongon do adong ai, age huborei harajaonhu on bani".  Untuk membuktikan ucapannya, Raja Siantar lalu menyuruh Sidasuha agar masuk ke dalam balai untuk memperlihatkan kitab tersebut. Agar kitab tersebut dapat dibuka, Sidasuha menyuruh agar semua pintu dan jendela ditutup, dia lalu membukanya dengan perlahan.

Semua yang hadir sangat terkejut ketika seekor naga keluar sambil memancarkan cahaya yang gemerlapan sembari berkata: "Ahu do na manatang tanoh on, anggo ulungku sanggah dompak hapoltakan margoling do ahu. Mardugur ma tanoh on, ai ma na ihatahon manisia lalou. Sahali waluh taun margoling do ahu, mardugur ma homa lalou". Di tengah naga itu mengeluarkan suara, Raja Onggou berseru sembari membenarkan ucapan naga itu, dia mengatakan sejak delapan tahun terakhir telah terjadi gempa sebanyak dua kali. Melihat kesaktian dan kebenaran dari kitab Pustaha Panei Na Bolon tersebut Raja Onggou, akhirnya menyesali kesombongannya dan dengan sikap penuh tanggungjawab dia pun memenuhi janjinya menyerahkan kekuasaannya kepada Sidasuha. Pada saat itu juga mereka bersepakat merajakan Sidasuha dan memintanya duduk di atas singgasana Raja Onggou, namun Sidasuha menolaknya. Dia memilih dinobatkan di atas Pustaha Panei Na Bolon karena itulah kerajaannya dinamakan Panei. Terdengarlah berita ke segala penjuru bahwa Kerajaan Sipoldas sudah beralih menjadi Kerajaan Panei. Jabatan Raja Onggou turun menjadi Parbapaan yang tunduk dibawah Kerajaan Panei, keturunannya kemudian menjadi pihak menantu (anak boru) dari Raja Panei.

Raja Onggou memberikan kuasa kepada Sidasuha agar memilih tempat sebagai pusat pemerintahannya, ada empat lokasi yang ditunjukkan oleh Raja Onggou yaitu Pamatang Panei, Nagori Bosar, Silahuan, dan Baris Tongah. Sidasuha kemudian memilih Pamatang Panei karena menurutnya sangat strategis untuk jadi pusat pemerintahan. Para penguasa Panei ketika dikukuhkan sebagai raja wajib duduk di atas Pustaha Panei Bolon sebagai syarat untuk sah menjadi Raja Panei. Pada zaman Belanda, di lingkungan istana Kerajaan Panei dikukuhkan tiga jabatan yang berfungsi sebagai Dewan Kerajaan, yaitu:
1. Orang Kaya dari marga Purba Girsang dan diwakili oleh Tuan Dolog Batu Nanggar, salah seorang Parbapaan yang dulu menjadi vazal Panei.
2. Jagoraha atau panglima pasukan, jabatan ini dipegang oleh seorang dari marga Purba Tambun Saribu yang diwakili oleh Tuan Simarimbun Parbapaan Panei.
3. Tuan Suhi dari marga Purba Sidadolog yang diwakili oleh Tuan Sinaman Parbapaan Panei.

Raja pertama Panei menurunkan seorang putra yang pincang bernama Marsitajuri, salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain. Dalam kondisi pincang, Marsitajuri mampu menunggang kuda dan menjadi panglima dalam setiap peperangan, sejak itu dia dikenal dengan julukan Parhuda Sitajur. Dia menaklukkan berbagai kampung termasuk Dusun Siantar, Urung Sidadolog, dan Dusun Sapala Tuhan (sekarang Panei Hulu), dan membangun sejumlah kampung baru di sekitarnya. Pada masa pemerintahannya, perluasan wilayah Kerajaan Panei terus dilakukan, pihak lawan sangat takut padanya. Berkat kesaktian kudanya yang dapat menghilang di tengah peperangan, pihak lawan kerap menggelarinya dengan "Hantu Panei" yaitu roh yang jahat. Sampai sekarang orang masih mengingat sumpah bahwa Hantu Panei adalah hantu yang paling jahat. Pada generasi berikutnya, salah seorang keturunan Purba Sidasuha yang berdiam di sebuah pegunungan membentuk cabang baru dengan sebutan Purba Sidadolog, daerah awal penyebaran marga ini bermula dari Sinaman, keturunannya kemudian menyebar dan mendirikan sejumlah perkampungan seperti Bangun Panei, Urung Panei, dan Urung Sidadolog. Akibat terjadi perselisihan di antara keturunannya, muncul pecahan baru yaitu Purba Sidagambir. Dia sehari-hari bekerja sebagai petani gambir, mendirikan kampung Rajaihuta, kemudian keturunannya mendirikan kampung baru bernama Dolog Huluan. 

Keturunan Purba Tambak yang lahir dari puteri Saragih Simarmata pindah ke Cingkes dan menamakan diri Purba Sigumondrong. Dari Cingkes inilah keturunannya pergi merantau ke berbagai tempat. Saat ini keturunan Purba Sigumonrong menyebar luas di sejumlah daerah di Kabupaten Simalungun dan tanah Karo (Tarigan Gerneng) mulai dari Cingkes, Bawang, Saribu Dolog, Lokkung, Raya Panribuan, Sondi Raya, Mappu, Sinondang, Merek Raya, Raya Tongah, Bah Hapal, dan Nagori Dolog. Dari sini keturunannya menyebar lagi ke kawasan di sekitarnya seperti Sambosar Raya, Marubun Lokkung, dan Togur. Adapun Purba Sigumondrong yang berdiam di Marubun Lokkung dan Togur sekitarnya merupakan para perantau dari kampung Lokkung di Raya yang sengaja datang ke tempat itu untuk membuka perladangan. Sejarah kehadiran Purba Sigumondrong ke Raya diawali dari perjalanan Tuan Pining Sori Munthe yang mengadakan ekspedisi perjalanan dengan menunggang seekor kerbau Si Nangga Lutu dari Garingging. Dalam perjalanannya, dia  melewati Cingkes, dari sinilah salah seorang keturunan Purba Sigumondrong ikut serta bersama rombongan Tuan Pining Sori menuju Raya Simbolon.

Menurut cerita lisan di Simalungun, leluhur Purba Silangit berasal dari Dolog Tinggi Raja. Pada zaman dahulu kawasan Dolog Tinggi Raja dikuasai oleh Purba Silangit, konon terbentuknya cagar alam Dolog Tinggi Raja diyakini akibat dari tragedi bencana banjir yang menimpa wilayah kekuasaan Raja Purba Silangi. Masyarakat setempat masyarakat setempat meyakini usai tragedi inilah menjadi awal mula munculnya massa air panas dan kawah putih di wilayah ini. Keturunannya pun berhamburan meninggalkan Dolog Tinggi Raja, ada yang pindah ke Raya, Toras, Langit Sinombah, dan Purba Sinombah. Dari Toras keturunannya kemudian pindah lagi ke Panribuan, lalu dari Langit Sinombah menyebar ke Saran Padang. Kemudian dari Panribuan keturunannya membentuk perkampungan baru di Gunung Mariah yang kini masuk wilayah Deli Serdang terus ke Bangun Sinombah, Bandar Sinombah hingga ke Bah Gerger di Lubuk Pakam. Dari kampung Toras, Panribuan, Saran Padang, dan Langit Sinombah. Dari sini mereka menyebar ke tanah Karo, sebagian lagi bergerak ke Deli Serdang menduduki daerah Gunung Mariah, Bangun Sinombah, dan Bandar Sinombah hingga ke Bah Gerger di Lubuk Pakam. Dari Gunung Mariah, keturunannya pindah lagi ke tanah Karo. Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa Purba Sigulang Batu konon lahir dari salah seorang keturunan Purba Silangit yang pergi berkelana ke Humbang. Adapun leluhur Purba Tondang dan Purba Tambun Saribu adalah dua marga bersaudara, leluhur mereka berawal dari kampung Hinalang Nabolag. Dari sini keturunannya terpecah, salah seorang pergi ke Sibarabara dan menjadi Purba Tondang, sedang seorang lagi menuju Silombu (tempat ini kini sudah berubah menjadi area perladangan) melahirkan Purba Tambun Saribu. Dari Sibarabara, keturunan Purba Tondang membentuk perkampungan di Hitei Tanoh (Huta Tanoh sekarang) di Kecamatan Purba. Keturunannya kemudian memperluas wilayah lagi hingga sampai Hinalang dan Purba Hinalang, marga ini merupakan penduduk pribumi di Hinalang yang menyambut kehadiran Purba Pakpak yang datang dari Pamatang Purba. Dari Hinalang ada yang pindah ke Rahut Bosi terus ke tanah Karo dan beralih menjadi Tarigan Tondang dan Tarigan Tendang. Sementara keturunan Purba Tambun Saribu, dari Silombu menyebar ke Binangara dan Haranggaol di Kecamatan Haranggaol Horisan, keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tambun. Setiap tahun seluruh keturunan Purba Tambun Saribu baik di Simalungun maupun tanah Karo mengadakan pertemuan tahunan yang bertempat di Haranggaol dan tugu marga ini sudah didirikan di Binangara.

Cabang marga Purba lainnya yaitu Purba Tua. Eksistensi marga ini ditandai dengan adanya kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silimakuta yang kemudian terbagi menjadi Purba Tua Bolag dan Purba Tua Etek. Dari Purba Tua, keturunannya menyebar ke Rahut Bosi, Cingkes, Tambak Bawang, sebagian pindah ke tanah Karo dan bermukim di Juhar menyandang marga Tarigan Tua. Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih menjadi Tarigan Sibero, peristiwa ini terjadi sekitar 500 tahun yang lalu. Dari marga ini muncul Purba Tanjung di mana keturunannya banyak mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol. Namun, ada juga yang menduga leluhur mereka bermula dari Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya mendirikan kampung di sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba, sehingga dinamakan Purba Tanjung. Selain itu, ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bermarga Tanjung berasal dari Minangkabau, yang datang ke daerah Sokkur, Raya Kaheian bersama orang Cina sebagai pekerja bangunan. Dia lalu menikah dengan seorang puteri Damanik Malayu dan disahkan menjadi Purba Tanjung. Keduanya dikaruniai lima orang anak yang bermargakan Purba Tanjung. Setelah beberapa lama berada di Sokkur, timbul kerinduannya pada kampung halamannya. Dengan berjalan kaki dia pulang kembali ke Minangkabau meninggalkan isteri dan anaknya, hingga akhir hayatnya dia tidak pernah kembali ke Sokkur. Tulang belulang isterinya disemayamkan pada peti batu dan hingga kini masih tetap diperhatikan oleh keturunannya. Bila merujuk versi Toba, Purba Tanjung dinyatakan berasal dari garis keturunan Marsahan Omas (Bercawan Emas) keturunan Purba Parhorbo. Purba Parhorbo memiliki tiga orang anak, masing-masing bernama Parhodahoda, Marsahan Omas, dan Tuan Manorsa. Konon Marsahaan Omas sering melakukan ritual "maranggir" (mandi menggunakan jeruk purut) dengan menggunakan cawan emas di sekitar kampung Nagori Kecamatan Purba. Dia memiliki tiga orang putera, yaitu Tuan Siborna, Nahoda Raja, dan Namora Soaloon. Dari Nahoda Raja lahir Raja Omo yang merupakan leluhur Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.

Adapun leluhur Purba Pakpak merupakan seorang pemburu yang datang dari tanah Pakpak, keturunan marga Cibero. Karena mengejar seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong yang tengah dilanda musim paceklik sehingga rakyat Simalobong dengan sukarela memanggilnya raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong, karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut. Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak. Mengenai Purba Pakpak, pengetua adat marga Cibero dengan tegas mengatakan bahwa Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba yang merupakan nenek moyang pertama Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara bernama Batu, putera Batu bernama Buah atau Suksuk Langit yang juga digelari Pengelter yang pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero. Mereka ini merupakan generasi keduapuluh dari Raja Ghaib, generasi awal marga Cibero. Sedang leluhur Girsang yang pertama kali pindah ke Simalungun adalah generasi kesepuluh, hingga saat ini keturunan Raja Gaib sudah mencapai tigapuluh lima generasi. Di antara keturunan Purba Pakpak ada yang membelah diri menjadi Purba Sihala dan mendiami daerah Purba Hinalang, sebagian keturunannya pindah ke Dolog Silou dan menjadi Tarigan Purba Cikala, mereka mendiami daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog Silou.

Gambar 6: Raja Purba XII, Tuan Rahalim Purba Pakpak

Sebagian keturunan Purba Pakpak dan Purba Girsang, ada yang meyakini bahwa Pangultopultop dan Datu Parulas adalah figur yang sama dan sosok Datu Parulas juga dikenal di kalangan marga Nainggolan, namun ada versi berbeda tentang kisah kehidupannya. Menurut keyakinan Purba Pakpak, setelah Pangultopultop mendirikan Kerajaan Purba dan memiliki seorang putera sebagai penerus tahta, dia kemudian pergi menyeberang ke Pulau Samosir. Di Samosir, dia memasuki wilayah kekuasaan Tuan Mulani Huta marga Sagala. Di tempat ini, dia membantu membunuh babi hutan dan burung buas yang konon berkepala tujuh bernama Manukmanuk Patiaraja yang sangat meresahkan masyarakat setempat. Dengan kesaktiannya, dia berhasil membasmi babi hutan dan burung buas berkepala tujuh tersebut. Atas jasanya, Tuan Mulani Huta lalu menyerahkan puterinya bernama Nai Asang Pagar kepada Pangultopultop untuk dijadikan isteri, dari hasil perkawinannya melahirkan tiga orang putera yang kemudian membawakan marga Siboro. Pengembaraannya tidak berhenti sampai di sini, Pangultopultop kemudian pergi ke daerah Harian Nainggolan, dia menikahi salah seorang puteri Nainggolan. Di saat isterinya mengandung, dia kemudian kembali pulang ke Simalungun. Tidak lama kemudian isterinyapun melahirkan, karena Pangultopultop dianggap tidak bertanggungjawab, maka anak yang dilahirkan itu diberikan marga sesuai dengan marga ibunya yaitu Nainggolan Lumban Raja. Setelah beranjak dewasa, puteranya ini lalu bertanya tentang asal muasal ayahnya, karena rasa ingin tahunya yang sangat besar dia kemudian menerbangkan sebuah lesung dengan menggunakan ilmu bernama Sipahabang Losung, tanpa disadari lesung itu jatuh di Purba Saribu dekat Haranggaol. Dari situlah dia mengetahui kalau ayahnya berasal dari Simalungun, lesung tersebut masih bisa disaksikan hingga hari ini di Purba Saribu. Pihak Nainggolan menyebut Pangultopultop ini dengan nama Datu Parulas. Di masa tuanya, jejak pengembaraan Datu Parulas ditemukan di sekitar daerah Perdagangan, adapun Keramat Kubah Perdagangan oleh keturunannya diyakini sebagai tempat persemayaman terakhir Datu Parulas baik oleh pihak Nainggolan maupun Purba Girsang dan juga Purba Pakpak.

 Gambar 7: Raja Purba XII Tuan Rahalim Purba Pakpak didampingi para penasehatnya

Gambar 8: Rumah Bolon Kerajaan Purba

Gambar 9: Balei Bolon Kerajaan Purba 

Sementara untuk marga Girsang, ada tiga pendapat yang berkembang tentang asal marga ini, pertama sebagian penyandang marga ini meyakini leluhur mereka berasal dari Lehu keturunan marga Cibero, kedua ada yang menyatakan keturunan Purba Sigulang Batu dari Humbang, ketiga ada yang mengaku berasal dari Sitampurung di Siborongborong keturunan marga Sihombing Lumban Toruan. Komunitas Girsang yang tinggal di daerah Silimakuta umumnya meyakini asal leluhur mereka datang dari Lehu. Posisi Girsang di Lehu adalah sebagai menantu dari marga Manik, sejarahnya diawali ketika si Girsang mengembara hingga akhirnya sampai ke Lehu, dia kemudian diangkat menjadi menantu oleh Raja Mandida Manik salah seorang penguasa di Suak Pegagan tanah Pakpak. Dari hasil investigasi penulis beberapa tahun yang lalu, di mana penulis mewawancarai salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Dia tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, kediamannya merupakan tanah pemberian Raja Mandida Manik, yang dalam istilah Pakpak disebut rading beru.

Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya ada dua orang, yaitu si Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan kesepuluh dari Raja Ghaib leluhur pertama marga Cibero. J. Tideman menerangkan bahwa leluhur Girsang berasal dari tanah Pakpak, suatu hari ia mengejar seekor rusa ke timur yang ditembaknya di Lehu; rusa tersebut dikejar oleh anjingnya sampai ke Dolog Tanduk Banua (Sipisopiso). Di tempat ini mereka kehilangan jejak, si Girsang melihat seekor kerbau putih (horbou jagat), sehingga dia menduga sedang berada di suatu perkampungan. Untuk memenuhi rasa penasarannya, dia bersama anjingnya lalu mendaki Dolog Tanduk Banua, namun karena sepanjang hari mereka tidak makan dan minum, mereka lapar dan haus sehingga si Girsang duduk di bawah pohon dan meminum beberapa tetes embun yang jatuh dari daun, dia lalu bangkit berdiri. Anjingnya berjalan dengan menjulurkan lidahnya, si Girsang kemudian membantu hewan ini memetik cendawan merah dan memberikan kepadanya untuk dimakan, namun ternyata buah itu mengadung racun. Setelah dia memberikan cendawan putih, maka hewan itu kembali kuat seperti sebelumnya. Si Girsang mulai mengetahui bahwa cendawan merah itu mengandung racun, sementara cendawan putih bisa digunakan sebagai obat penawar.

Dari puncak gunung dia melihat sebuah kampung yang luas, tempat pemukiman marga Sinaga yang bernama Naga Mariah. Dia memasuki perkampungan itu dan salah seorang penduduk bersedia menerima si Girsang untuk menetap di rumahnya. Pada saat itu kampung Naga Mariah sedang terancam oleh serbuan musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, mereka bermalam di dekat Dolog Singgalang. Mereka mengambil air dari lereng Dolog Singgalang, kini disebut Paya Siantar. Melihat kondisi ini, Tuan Naga Mariah lantas merasa sangat terancam, setelah mendengar berita ini, si Girsang lalu datang menemuinya. Dia mengajukan diri kepada Tuan Naga Mariah akan menghancurkan semua musuhnya. Tuan Naga Mariah berkata, “Jika engkau berhasil menghancurkan mereka, maka saya akan menyerahkan puteri saya untuk engkau jadikan sebagai isteri”. Kemudian si Girsang memohon kepada Tuan Naga Mariah agar memerintahkan penduduknya mengumpulkan sebanyak mungkin duri, baik duri bambu, jeruk, rotan, pandan maupun tanaman lainnya. Si Girsang lalu memetik cendawan merah, merendamnya dalam air dan menaburkan duri ke dalamnya. Duri beracun tersebut lalu ditaburkannya di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh pihak musuh, demikian juga air beracun dimasukkannya ke dalam Paya Siantar.


Gambar 10:  Tuan Dumaraja alias Pa Moraidup Purba Girsang, Raja Silima Huta pertama. Sebelumnya ia adalah Tuan Naga Saribu dan saudaranya Pa Ngasami menjadi Tuan Siturituri. Raja Silima Huta merupakan raja untuk golongan Tarigan Girsang/Gersang, Tarigan Sahing, dan Tarigan Ijuk.

Setelah para musuh bergerak menuju Naga Mariah, mereka terjebak dalam duri dan keracunan karena meminum air dari Paya Siantar, akibatnya mereka semua mati terbunuh. Si Girsang kemudian pergi menemui Tuan Naga Mariah dan berkata: ”Ada seribu lawan mati bergelimpangan di gunung itu”, sehingga gunung tersebut dinamakan Dolog Singgalang dan tempat itu disebut Saribu Dolog. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian mengangkatnya sebagai menantu, upacara pernikahan mereka dirayakan layaknya pernikahan seorang raja. Karena si Girsang belum memiliki rumah, untuk sementara dia tinggal di Rumah Bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Tuan Naga Mariah. Akibat peristiwa ini, dia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan terkenal sebagai dukun sakti dan ahli nujum yang memahami seni mencampur racun sehingga orang menyebutnya Datu Parulas. Setelah wafatnya Tuan Naga Mariah, tampuk kekuasaan beralih kepadanya, tidak lama kemudian dia mendirikan kampung Naga Saribu di sekitar lokasi di mana para musuh dari Siantar itu mati dan menjadikannya sebagai ibukota Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Naga Mariah. Sejak terjadinya suksesi kepemimpinan ini, masyarakat setempat bermarga Sinaga, akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan berafiliasi dengan marga Peranginangin Bangun.

Dari isteri pertamanya Datu Parulas memperoleh empat orang putra, namun mereka belum bisa disebut sebagai putra raja, karena ayahnya belum menjadi raja. Mereka menjadi leluhur Tuan Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, dan Mardingding. Setelah itu dia masih dikarunia dua orang putra, yang sulung membuka kampung Jandi Malasang, kemudian pindah ke Bage, di tempat ini dia membangun pasar dan balai yang mandiri. Si Bungsu mengikuti Datu Parulas dan menjadi penggantinya. Pada masa penjajahan Belanda, sementara Tuan Saribu Dolog hingga tahun 1930-an tetap membangkang pada Tuan Naga Saribu karena menganggap dirinya lebih berhak menjadi Raja Si Lima Huta. Keturunan Girsang membelah diri menjadi beberapa cabang yaitu Girsang Rumah Bolon, Nagodang, Parhara, dan Rumah Parik. Sementara yang pindah ke tanah Karo membentuk dua kelompok yaitu Tarigan Girsang dan Tarigan Gersang. Sebagian keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang kemudian menjadi Girsang Silangit.

Demikianlah sejarah singkat lahirnya komunitas marga Purba di Simalungun yang mampu penulis utarakan, semoga di kemudian hari penulis mendapatkan tambahan informasi untuk melengkapi dan merampungkan tulisan ini. Penulisan sejarah ini dilatarbelakangi oleh keinginan kuat penulis untuk membuat sebuah buku sejarah Purba Simalungun untuk disebarluaskan kepada seluruh keturunan marga Purba agar dapat menjadi pedoman bagi kalangan marga Purba yang hidup di zaman sekarang hingga anak cucu mendatang. 

Daftar Pustaka: 
1. Purba Tambak, T.B.A. 1967. Sejarah Keturunan Silou. Pematang Siantar: Percetakan HKBP
2. Purba Tambak, T.B.A & Purba, Jintahalim. 1967. Naskah Silsilah Purba Tambak. Pematang Siantar 
3. Purba Tambak, Herman. 2008. Kerajaan Silou (Historiae Politia), Edisi Kedua. Pematang Siantar 
4. Purba, MD, Letkol. 1970. Pustaha Panei Bolon. Pematang Siantar 
5. Purba, Kenan, D & Purba, J.D. 1995. Sejarah Simalungun. Jakarta: Bina Budaya Simalungun Parsadaanni Purba Pakpak Boru Pakon Panogolan
6. Tideman, J. 1922. Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra. Leiden: van Doesburg
7. Ypes, W.K.H. 1932. Bijdrage tot de kennis van stamverwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba-en Dairi-Bataks. Leiden: Adatrechtstichting  
8. Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara
9. Hutagalung, W.M. 1926. Pustaha Batak, Tarombo Dohot Turiturianni Bangso Batak. Pangururan: Tulus Jaya.
10. Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu & Sons
Share:

Thursday, March 13, 2014

Nagur Kerajaan Tertua di Pulau Sumatera

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pengantar
Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom) yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian (sesuai keterangan yang diperolehnya dari naskah kuno Nagur, naskah ini terbakar tahun 1958 pada masa pemberontakan PRRI gelombang kedua). Terbentuknya kerajaan ini diawali sejak kehadiran seorang tokoh kesatrya dari India bersama para pengikutnya, mereka berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari sekitar dataran tinggi Chota Nagpur sebelah timur India meliputi negara bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya tersebut dengan Darayad Damadik, gelar lainnya adalah Narama. Dia adalah seorang penganut Hindu Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Bahkan gelar yang disandangnya diambil dari nama Dewa Narayan yang dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan "Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang". Di Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup). Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur, burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui" sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisang unsim jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.

Gambar 1: Peta negara India, dataran tinggi Chota Nagpur yang terletak di sebelah timur India merupakan tempat kedudukan bangsa Munda yang menjadi asal Darayad Damanik.

Tuan Subirman Damanik menceritakan bahwa sang Darayad Damadik meninggalkan India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi, Darayad Damadik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka pun pergi meninggalkan India, dengan menaiki sebuah kapal besar mereka mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir Selat Malaka, mereka lalu mendaratkan kapal mereka di daerah Pagurawan (Pargurouan) masuk Kabupaten Batubara sekarang. Dari tempat ini, dia beserta rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog - Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja - Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga), Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih). Setelah beberapa lama berdiam di Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Darayad Damadik. Dari sini diketahui bahwa Darayad Damadik merupakan perintis jalan (si rottos dalan) bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Darayad Damadik juga memiliki kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok memelihara gajah, kerbau, dan anjing.

Darayad Damadik mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah "dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu. Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu, sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma (Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal, seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.

Catatan Tentang Nagur
Nama Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India. Kerajaan ini berdiri ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi huta, nagori, dan urung. Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan pamatang. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak (annals) Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai penggantinya. Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai Bah Bolon dekat Kota Perdagangan. Sebagaimana hasil penelitian Sutan Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin: Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal dagang mereka. Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman Belanda. Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah, sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan (situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).

Gambar 2: Penulis saat berada di desa Nagur Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, letaknya tepat di bibir pantai timur Sumatera Utara.

Seorang nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama Nakus yang mengacu pada Nagur. Keterangan lainnya juga datang dari Marco Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun 1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di Pidie (Aceh) sekarang. Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke 13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa Sriwijaya. Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak. Sementara itu, Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”. Dia mengatakan di bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech, penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta kemudian menjualnya untuk memperoleh uang. Lain daripada itu, Tomé Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis pada tahun 1512-1515. Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak tanah, belerang, kapas, dan rotan. Selain itu, Sumatera juga memiliki banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera adalah ibukota dari Pasai. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan). Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu dari Raja Aru.

Gambar 3: Salah satu surat kabar pada zaman Belanda yang memberitakan tentang Nagur dan kerajaan Simalungun lainnya.

Selanjutnya Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun 1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang. Diteruskan oleh Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563 kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh negeri yang pernah dia jelajahi. Demikian juga pada saat Augustin de Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah sekitar Aceh dan semenanjung Malaya. Dia menyebut sebuah penduduk pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu. Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam. Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara. Dari kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.

Informasi tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang berada di Aceh. Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun 1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai). Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri (南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato. Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil. Bahasa dan busana yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide, barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.

Sedangkan menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah pegunungan. Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras dengan jumlah memadai. Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan. Rambut mereka yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang. Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah. Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah, mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian sangat jarang terjadi. Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang, selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri tembikar, dan lain sebagainya. Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng Cakra Donya.

Dalam buku Yingya Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah beracun. Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan dendamnya. Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur, akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah. Nelayan ini kemudian menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412. Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua. Akibat kematian Raja Tua, kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan diri ke pegunungan. Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.



Gambar 4-7: Situs megalithik Batu Gajah, sebuah batu yang dibentuk menyerupai gajah sebanyak 2 buah, peninggalan agama Buddha ini telah diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.

Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra. Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu. Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya. Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan. Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak. Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua. Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.

Gambar 8: Situs Batu Hatak, sebuah patung yang dibentuk menyerupai katak. Berada di lokasi yang sama dengan situs Batu Gajah di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.


Penulis mengakui tidak banyak orang yang mengetahui kerajaan ini, hal ini terjadi akibat kurangnya publikasi dan upaya penelusurannya tidak komperehensif dan berlangsung secara berkesinambungan. Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah pedalaman Simalungun kemudian meluas ke pesisir Sumatera Timur, mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan. Bukti luasnya wilayah Nagur ditandai dengan adanya sejumlah tempat yang identik dengan bahasa Simalungun dan nama Nagur sendiri juga turut diabadikan untuk meneguhkan keberadaan daerah itu adalah bagian dari Nagur. Di tanah Karo, hingga saat ini masih bisa ditemukan sebuah kampung bernama Perjuman Nagur yang pada zaman dahulu dijadikan lokasi perladangan. Kampung kecil ini sekarang masuk desa Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, tanah Karo. Masih di kecamatan yang sama ada juga kampung bernama Bah Turak dan Bah Gorih yang kini beralih menjadi Beturah dan Bagerih, juga Liang Dahar, Liang Hajoran, dan Nagori Jahei. Di tanah Pakpak tepatnya di Kecamatan Si Empat Nempu ada sebuah kampung bernama Buntu Raja, kampung yang senama dengan itu juga terdapat di desa Sitanggor Kecamatan Muara Tapanuli Utara. Di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepat di bibir pantai Bedagai ada sebuah kampung bernama Nagur. Barangkali pada zaman dahulu tempat ini pernah menjadi dermaga dan pusat perdagangan Nagur. Di tanah Simalungun sendiri masih bisa disaksikan ada kampung Nagur Usang, Nagur Bayu, Nagur Panei, Nagur Raja (kini berubah jadi Naga Raja), Nagur Laksa, Nagur Panribuan, Mariah Nagur, Nagur Dolog, dan Nagur Bolag. Di Tiga Runggu dan Tiga Dolog juga terdapat sebuah kampung bernama Parhutaan Nagur, di Tiga Dolok lokasinya agak jauh masuk ke pedalaman. Ada yang menduga kedua tempat ini pernah menjadi pusat pemerintahan Nagur. Di provinsi Riau ditemukan banyak nama tempat yang berlatar "pamatang" yang berarti badan atau ibukota, ini menjadi salah satu indikator yang membuktikan betapa luasnya pengaruh Nagur di zaman dahulu. Ada Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul.

Gambar 9-12: Makam Raja-Raja Nagur dan keturunannya yang diperlihatkan oleh Tuan Subirman Damanik disaksikan tim Komunitas Jejak Simalungun.

Kemajuan dan Perkembangan Nagur
Sebagai sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di sebelah timur. Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur (pamatang), para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Sungai Bah Bolon yang berada di hilir daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu, dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di Mariah Nagur. Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur, pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur, kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima (puanglima) dan hulubalang (parsaholat), dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).

Pada seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud menyampaikan makalahnya di hadapan para tokoh ulama dan sejarawan lainnya seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Ali Hasjmy, Dr. Ruslan Abdul Gani, Tengku Luckman Sinar, SH (budayawan Melayu), Muhammad Said (pendiri Harian Waspada), Dr. Lance Castles, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Prof. Dr. K. Das Gupta, Prof. Dr. Wan Hussein Azmy, Prof. A. Madjid Ibrahim, Abu Hassan Sham, MA, Drs. UU Hamidy, Drs. Zainuddin Mard, Timur Jailani, MA, Tengku Abdullah Ujung Rimba, Zainal Arifin Sregar, BSc, dan Prof. Ismail Hussein. Dia menceritakan secara singkat tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai. Untuk membuktikan keberadaan Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu. Dia juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.

Pada masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi ular tikar (balun bigou/bidei) untuk dijadikan permadani yang dilatih agar bisa terbang dan  membawa dua orang di punggungnya. Ukuran ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter. Bukti adanya pengaruh budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar, Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang, Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar. Dalam Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya (pamatang) memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut "layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari perak. Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada di Tolbak Pargambirian.

Pada zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung, jelutung, merbau, rambung merah (balata), dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja (tualang) sebagai sarang lebah madu (huramah). Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat (bonbon) yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut hotihoti juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin. Tempat penyimpanan obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau lubang tulang hewan dan bambu (abalabal), setelah di tutup rapat bagian luar ditempeli sarang madu. Adapun getah rambung merah biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu. Getah rambung merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah damar dimasak dicampur dengan air perasan serai (sanggesangge) dan air perasan buah jarak (dulang) yang sebelumnya ditumbuk halus. Setelah getah cair dapat digunakan sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga sihat (lempengan seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat gagang pisau dan obat muntaber). Komoditi alam ini kemudian diangkut melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga pelabuhan.

Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan (pangaldungan) bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur. Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal, namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama. Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat "Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat antara rakyat dengan para pemimpinnya. Di bawah kekuasaan Raja Nagur, rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin, kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera. Raja Nagur juga menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa berjumlah 1.000 orang untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah Ambalotu. Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja). Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol. Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu Jawa di Simanabun, Silou Kahean.

Dalam pustaha Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik, Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik, dan puteri Anggaraini boru Damanik. Dalam Pustaha Parmongmong Bandar Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora (Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur. Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja Nagur. Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan, Simaringga, Usang, dan Bayu. Kemudian keturunan Damanik yang mendiami pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong, Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Pada masa terjadinya pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi sekitar tahun 1200 Masehi. Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal mula leluhur mereka Si Raja Batak. Dari hasil ekskavasi dan penggalian tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar 600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral. Hasil temuan ini sudah diseminarkan di Universitas Negeri Medan (UNIMED) tanggal 9 Januari 2015 lalu dengan tema "Telaah Mitos dan Sejarah Asal Usul Orang Batak", tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawai, Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si, dan Guru Besar Antropologi UNIMED Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak.

Bangun dan Runtuhnya Nagur
Pada abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit dan peperangan juga kian marak. Para penguasa-penguasa baru ini sangat berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk. Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi. Seperti yang direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah (1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi, kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur, kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya banyak yang memerdekakan diri. Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha. Pada prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun (sior ipuh). Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan, mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat, seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur. Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di tempat ini. Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram. Demikian juga Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas, Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para musuh Nagur.

Untuk menstabilkan kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai, kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12). Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei, Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo, sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi, Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik & Jaramen Damanik, 1976 : 11).

Gambar 13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan Franswell Fabo Saragih Sumbayak dari tim Komunitas Jejak Simalungun. Situs Nagur banyak yang hilang dan hancur akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan.

Pada tahun 1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan (Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas (Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan. Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang, Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati (panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.

Kerajaan Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak, harimau, dan burung tuldik.

Gambar 14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun, Kota Pamatang Siantar

Setelah berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama, pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari Nagur di Simalungun.

Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.

J. Tideman dalam bukunya Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra hal. 52-53, dia mengisahkan tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan catur antara Tuan Batangiou dan Tuan Silou Malaha dari Nagur. Keduanya sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12 orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari, permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat Siantar.

Tuan Batangiou kemudian berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian, akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras (sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”. Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo Sipoldas Panei.

Bukti Arkeologis Tentang Nagur
Pada saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean, Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik yang dimulai sejak zaman Belanda hingga masa kemerdekaan.

Gambar 16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa.

Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damadik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama Batang Tahuran. Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan. Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu dipindahkan ke dalam Batang Tahuran berukuran + 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk (luluan). Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam Batang Tahuran Batu (peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu dibungkus dengan kulit kayu gaharu (alim) oleh saudari ayahnya (amboru) untuk dimasukkan ke dalam goa kering (Liang Nakorah) di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat (horja bolon) yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19 Masehi.

Gambar 17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter.

Di Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran pinarmombang pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat. Ukiran bagian bawah adalah jombut uou melambangkan burung merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman dahulu menjadi benteng pertahanan (hubuan) Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun Sibiangsa, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang (horbangan) yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu tersebut terdapat sejumlah peluru umbalang (sejenis alat pelontar yang diayun).

Kemudian kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924, surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai KSDA Sumatera Utara II.

Relik-relik peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei) arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk (patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar. Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda, perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun, sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya Kabupaten Simalungun.

Daftar Pustaka:
Battuta, Ibnu. 1957. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. 1976. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar
Damanik, Jahutar. 1977. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan.
Dunn, Rose E. 1995. Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Groeneveldt, 2009. W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hasymy, A. 1981. Sejarah dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Kumpulan Prasaran Pada Seminar Di Aceh). Medan: PT. Alma'arif.
Mills, J.V.G. 1970. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press.
Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS.
Mulyana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKIS.
Parlindungan, M.O. 2007. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS.
Pinto, F.M. 1692. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook.
Purba, M.D, Letkol. 1986. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan.
Purba Tambak, T.B.A. 1984. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: Percetakan HKBP.
Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa.
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company
Vlekke, Bernard H. M. 1943. Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Share:
Saya Masrul Purba Dasuha, S.Pd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Video of Day

Blogroll

Flag Counter

Join Us Here

Blog Stats

Categories

Find Us On Facebook