tag:blogger.com,1999:blog-78959795372111541182024-03-05T17:57:57.066+07:00Halibitongan - Masrul Purba SidasuhaTotik Mansiathon Diri Marombou Bani SimbueiAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.comBlogger19125tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-79944490393828482502017-01-03T23:35:00.000+07:002017-01-04T06:05:44.475+07:00Sistem Perkawinan Simalungun Tempo Dulu<div style="text-align: justify;">
<b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Kerajaan Silou berdiri sekitar abad 13, rajanya bermarga Purba Tambak menjemput isteri puteri Raja Nagur marga Damanik Rampogos. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Kerajaan Batangiou berdiri sekitar abad 12, rajanya bermarga Sinaga mengambil isteri puteri Raja Nagur marga Damanik Rampogos. Setelah Nagur mengalami kemunduran, Batangiou menjemput isteri dari Kerajaan Bandar marga Damanik Bariba. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3. Kerajaan Siantar berdiri sekitar abad 14, rajanya bermarga Damanik Bariba menjemput isteri puteri Tuan Silampuyang marga Saragih Sidabuhit (Sidauruk). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4. Kerajaan Tanoh Jawa berdiri sekitar abad 14, rajanya bermarga Sinaga Dadihoyong menjemput isteri puteri Raja Bandar marga Damanik Bariba. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
5. Kerajaan Panei berdiri sekitar abad 14, rajanya bermarga Purba Sidasuha menjemput isteri puteri Raja Siantar marga Damanik Bariba. Sebelumnya leluhur Purba Dasuha yaitu Tuan Suha Bolag menikah dengan puteri Raja Nagur marga Damanik. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
6. Kerajaan Dolog Silou berdiri sekitar abad 17 rajanya bermarga Purba Tambak menjemput isteri puteri Raja Raya marga Saragih Garingging. Sebelum menjadi kerajaan, leluhur Dolog Silou yaitu Tuan Timbangan Raja pada awalnya menikah dengan puteri Penghulu Pintu Banua boru Barus dan juga puteri Raja Nagur dari Parti Malayu marga Damanik Malayu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
7. Kerajaan Raya berdiri sekitar abad 15, rajanya bermarga Saragih Garingging mengambil isteri puteri Raja Panei/Tuan Bajalinggei/Guru Raya boru Purba Sidasuha. Sebelum menjadi kerajaan, leluhur Saragih Garingging yaitu Tuan Sipining Sori pada awalnya menikah dengan puteri Raja Silou marga Purba Tambak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
8. Kerajaan Padang berdiri sekitar abad 17, rajanya bermarga Saragih Sidasalak menjemput isteri puteri Raja Silou marga Purba Tambak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
9. Kerajaan Purba berdiri sekitar abad 16, rajanya bermarga Purba Pakpak menjemput isteri puteri Raja Siantar dan Raja Sidamanik marga Damanik Bariba. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
10. Kerajaan Silima Huta berdiri sekitar abad 17, rajanya bermarga Purba Girsang menjemput isteri puteri Raja Raya marga Saragih Garingging dan Tongging marga Munthe. Sebelum menjadi kerajaan, leluhur Purba Girsang yaitu Datu Parulas/Pangultopultop pada awalnya menikah dengan puteri Tuan Naga Mariah marga Sinaga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
11. Kerajaan Sidamanik berdiri sekitar abad 18, rajanya bermarga Damanik Bariba menjemput isteri puteri Tuan Silampuyang marga Saragih Sidauruk (Sidabuhit). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
12. Partuanon Bajalinggei berdiri sekitar abad 17, rajanya bermarga Purba Sidasuha menjemput isteri puteri Tuan Nanggar Raja (Naga Raja sekarang) marga Damanik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
13. Partuanon Dolog Batu Nanggar berdiri sekitar abad 18, rajanya bermarga Purba Girsang menjemput isteri puteri Raja Siantar marga Damanik Bariba.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
14. Partuanon Aji Sinombah berdiri sekitar abad 14, rajanya bermarga Munthe menjemput isteri puteri Raja Silou marga Purba Tambak, kemudian puteri Raja Purba marga Purba Pakpak. Sebelum menjadi kerajaan, leluhur Munthe pada awalnya menikah dengan puteri Raja Silahi Sabungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu kerajaan luar yang tertarik menjemput isteri dari Simalungun, antara lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Sultan Deli ketiga yaitu Tuanku Panglima Paderap (1698-1728) menikah dengan puteri Raja Silou marga Purba Tambak yang bergelar Puan Sampali. Dari hasil pernikahan ini melahirkan Tuanku Usman Johan Alamsyah Kejeruan Junjungan pendiri Kesultanan Serdang tahun 1723. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Sultan Asahan kelima yaitu Sultan Dewasyah (1765-1805) menikah dengan puteri Raja Tanoh Jawa marga Sinaga, namun tidak memiliki keturunan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3. Sultan Asahan kedelapan yaitu Sultan Muhammad Husinsyah (1813-1859) dengan Telaha puteri Raja Buntu Panei. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4. Tengku Tan Abdurrahman (Tan Deraman) putera Radin Inu (Raja Pulau Brayan) Medan menikah dengan Wan Timah puteri Raja Dolog Silou marga Purba Tambak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
5. Tengku Pangeran Muhammad Yasin (Mat Yasin) menikah dengan Puang Zainab saudari Datuk Tanjung Marawa marga Saragih Sidasalak dan melahirkan seorang puteri bernama Tengku Ngah Ramlah yang menikah dengan Tengku Bendahara Muhammad Nur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
6. Sultan Deli kesembilan yaitu Tengku Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924) menikah dengan puteri Simalungun marga Purba yang bergelar Puan Kecik. Sultan Makmun Al-Rasyid merupakan pendiri Mesjid Raya Al-Mashun Medan tanggal 21 Agustus 1906. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
7. Sultan Serdang kelima yaitu Tengku Sulaiman Syariful Alamsyah (1879-1946) menikahi dua orang puteri Simalungun, pertama puteri Tuan Bah Perak yang bernama Encik Kurnia boru Purba Pakpak dan dari Raya bergelar Encik Raya boru Purba. Dari hasil pernikahan dengan Encik Kurnia melahirkan dua orang anak yaitu Tengku Puteri Nazry dan Tengku Rajih Anwar (putera mahkota) yang menggantikan ayahnya sebagai Sultan Serdang. Sedang dari hasil pernikahan dengan Encik Raya melahirkan Tengku Zahry dan Tengku Syahrial.
Demikian sekilas sistem perkawinan di Simalungun pada zaman dahulu sewaktu masih eksisnya kerajaan. Demi menjaga keaslian keturunan dan lestarinya budaya Simalungun, orang Simalungun pada zaman dahulu menikah dengan sesama Simalungun. Hal itu terus berlangsung hingga meletusnya Revolusi Sosial 3 Maret 1946.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-36728361295017718772017-01-03T23:19:00.000+07:002017-01-03T23:36:59.446+07:00Ringkasan Sejarah Pernikahan suku Karo dan Simalungun<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Oleh: Masrul Purba Dasuha </b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1. Tuan Timbangan Raja Purba Tambak yang didudukkan sebagai penguasa di Silou Dunia dan merangkap sebagai panglima perang <i>(Raja Goraha)</i> Kerajaan Silou menikah dengan puteri Penghulu Pintu Banua (saudara dari Sibayak Jambur Lige) bernama Bunga Ncolei dari klan Karokaro Barus. Sejak masa pemerintahan Tuan Bedar Maralam, Kerajaan Dolog Silou Dunia yang pada masa itu beristana di Dolog Marlawan, Silou Kaheian menjenguk permaisuri ke Kerajaan Raya. Pada masa berikutnya Karokaro Barus beralih menjadi <i>anak boru</i> dari Purba Tambak dan kalangan Tarigan Tambak yang berdiam di perbatasan daerah Simalungun-Karo tetap menjadikan Karokaro Barus sebagai kalimbubu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2. Sebelumnya salah seorang keturunan Purba Tambak yang berdiam di Tambak Bawang ada yang menikah dengan salah seorang puteri Karo dari Suka Nalu dan memperoleh lima orang anak. Putera sulungnya bergelar Ompung Nengel yang memiliki gangguan pendengaran dan putera kedua adalah seorang yang sakti, sepeninggalnya sosoknya dikeramatkan <i>(sinumbah)</i>. Adik mereka yaitu Nai Horsik, Si Boru Hasaktian (pemilik pemandian keramat yang ada di Tambak Bawang), dan putera bungsu pergi ke Sukanalu ke kampung pamannya, keturunannyalah Tarigan Tambak yang ada di Sukanalu dan Kebayaken. Ompung Nengel merupakan leluhur Tarigan Tambak yang ada di Tambak Bawang dan Bawang, Kecamatan Dolog Silou. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">3. Marga Munthe dari Tongging dan Aji Sinombah (Ajinembah sekarang) selama beberapa generasi mengambil isteri puteri Raja Silou (Purba Tambak). Setelah Kerajaan Silou mengalami kemunduran pihak Ajinembah kemudian mengambil isteri dari Kerajaan Purba baik puteri raja <i>(panak boru)</i> di Pamatang Purba maupun dari Partuanon Purba Hinalang, dan Parbapaan Hinalang. Pining Sori (Munthe Tongging dan Ajinembah menyebutnya Si Raja Sori) leluhur Raja Raya merupakan keponakan <i>(panogolan)</i> dari Raja Silou (Purba Tambak). Ia pindah ke Raya Simbolon akibat terjadi konflik keluarga di Ajinembah, bersama dengan 6 orang pembantunya ia pindah ke Kerajaan Silou yang diperintah pamannya. Dalam perjalanannya menuju Raya Simbolon, dia bersama rombongannya sempat singgah dan menetap di kampung Garingging, kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai Tingkos (Cingkes), salah seorang keturunan marga Purba Sigumondrong bergabung dalam rombongan mereka. Dari Tingkos mereka kemudian melintasi Purba Tua lalu sampai di Hinalang, salah seorang keturunan marga Sitopu tertarik mengikuti rombongan mereka. Dari sinilah awal kisah adanya Purba Sigumondrong dan Sitopu di Raya. Sesampainya di Raya Simbolon, Pining Sori sudah menemukan komunitas Saragih Sumbayak yang menjadi penguasa di Raya Tongah dan di Sipoldas dan Silampuyang juga sudah ada kelompok Saragih Sipoldas dan Saragih Sidabuhit yang merupakan leluhur Saragih Sidauruk.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">4. Munthe dari Ajinembah merupakan <i>tondong</i> (Karo: kalimbubu) dari leluhur Karokaro Barus, Karokaro Sitepu, dan Karokaro Purba, sedangkan Munthe dari Tongging adalah <i>tondong</i> dari Purba Girsang di Si Lima Huta, hal inilah yang mendasari adanya tanah Purba Girsang di Tongging dan sekitar Si Pitu Huta Kecamatan Merek. Keturunan Purba Girsang yang menikah dengan boru Munthe dari Ajinembah disebut-sebut adalah manusia bunian yang sakti. Dari sinilah awal kisah lahirnya legenda Tarigan keturunan umang di tanah Karo yang sebenarnya hanya merujuk pada keturunan Purba Girsang/Tarigan Girsang/Tarigan Gersang.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">5. Tondong pertama leluhur Munthe adalah marga Silalahi, Raja Silahisabungan memberikan tanah kepada Munthe di daerah Si Pitu Huta untuk tempat tinggal. Setelah berdirinya Urung Ajinembah, marga Munthe beralih mengambil isteri dari Kerajaan Silou (Purba Tambak),.kemudian disusul puteri Raja Purba, Tuan Hinalang, dan Purba Hinalang (Purba Pakpak) seperti yang saya uraikan di atas. Marga Munthe merupakan leluhur marga Sigalingging dan Sitanggang, di Simalungun keturunan Sigalingging menjadi Saragih Garingging. Sedang dari keturunan Sitanggang muncul Saragih Manihuruk, di tanah Karo jadi Ginting Manik. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">6. Beberapa orang keturunan Purba Pakpak dari Parbapaan Hinalang mengambil isteri dari klan Karokaro Sinulingga dan Karokaro Sitepu dari Sukanalu. Keturunan Purba Pakpak dari Hinalang ini pada zaman dahulu sering berniaga kerbau ke Sukanalu dan daerah Karo yang lain. Ketika mereka menikahi puteri Sinulingga dan Sitepu, saudara lelaki mereka ikut menyertai dan hal itu diwajibkan dalam adat Simalungun, di mana setiap wanita yang dinikahi oleh kaum pria Simalungun wajib mengikutsertakan saudara prianya untuk mendampinginya di kampung suaminya. Kehadiran kedua marga ini diikuti oleh Karokaro Barus yang sengaja datang untuk mencari kehidupan baru di Hinalang, agar dapat menetap di Simalungun mereka kemudian menyatu dengan marga Sitepu. Dari sinilah awal kisah adanya marga Lingga, Sitopu, dan Barus di Simalungun yang berawal dari kampung Hinalang di Kecamatan Purba. Pada zaman dahulu, ketiga marga ini berinduk pada marga Sinaga, namun pasca revolusi sosial tahun 1946 ketiga marga ini memisahkan diri dari Sinaga dan menjadi marga yang mandiri. Marga Lingga dan Sitopu tetap menjadi Simalungun, sedang marga Barus belakangan ini banyak yang kembali menjadi suku Karo.</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-80374955796455834062016-11-04T23:41:00.004+07:002017-01-01T23:49:31.392+07:00Hikayat Tuan Barotbot dan Si Malangu<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">(Sebuah Folklore Dari Simalungun Hataran)</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Oleh: Masrul Purba Dasuha</b></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada zaman dahulu berdiamlah suatu kelompok marga Damanik Barotbot di lingkungan Kerajaan Bandar, mereka mendiami suatu tempat bernama Taran Manik. Mereka merupakan penduduk awal sebelum kehadiran marga Damanik Bariba dari Kerajaan Siantar dan sisa-sisa keturunan Nagur. Eksistensi mereka terdesak setelah kehadiran Tuan Bonas Mahata Damanik putera Tuan Na Martuah Damanik, Raja Siantar yang mendirikan Kerajaan Bandar. Selama ini hubungan antara mereka berjalan baik dan harmonis, rakyat Barotbot patuh dan tunduk terhadap kekuasaan Raja Bandar, namun belakangan muncul pemimpin baru di tengah-tengah mereka yang sangat mendambakan kekuasaan yang dikenal dengan julukan Tuan Barotbot. Untuk menarik simpati rakyatnya, ia lalu mengusung propaganda "Damanik Rampogos adalah penduduk asli lebih berhak sebagai penguasa daripada pendatang" dan menghasut mereka agar pro kepadanya dan sama-sama melakukan makar mengkudeta Raja Bandar. Gerakan ini akhirnya kian mendapat dukungan penuh dari rakyatnya, akan tetapi konspirasi ini belum tercium oleh pihak kerajaan. Meski mereka sama-sama dari golongan marga Damanik, namun hal itu tidak menyurutkan langkah Tuan Barotbot untuk merencanakan pengkhianatan, dia bersama rakyatnya tetap tidak rela tanahnya dikuasai pihak lain. Untuk memuluskan langkahnya, ia berniat membunuh Raja Bandar. Bersama rekan-rekannya, rencana makar pun dirancang, yaitu dengan mengadakan perjamuan kepada Raja Bandar. Ia lalu menyuruh anggotanya untuk menyampaikan pesan kepada raja tentang acara perjamuan, tanpa ada kecurigaan dengan senang hati Raja Bandar menyetujui niat baik dari Tuan Barotbot. Pada perjamuan itu, Tuan Barotbot akan membubuhkan racun pada makanan yang akan disantap raja, di benaknya bila raja mati maka kekuasaan akan dengan mudah ia peroleh.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Segala persiapan untuk melangsungkan acara dilakukan dengan sungguh-sungguh berikut tipu daya untuk membunuh Raja Bandar. Tuan Barotbot memanggil seorang tukang daging (parjuhut) dan melakukan kesepakatan rahasia dengannya. Di atas jembatan Bah Pamujian, tidak begitu jauh dari istana raja (rumah bolon), Tuan Barotbot menyuruh Parjuhut agar menaburkan racun ke dalam makanan yang akan disantap raja. Ia berkata: <i>"Tirtiri ma holi sibiangsa on hubagas panganonni rajatta ai..! sapah na ipalit ma holi baen tandani"</i>. Racun pembunuh itu bernama Sibiangsa, sejenis racun yang sangat berbahaya dan mematikan yang biasa digunakan untuk meleburkan tanah. Tanpa mereka sadari ternyata percakapan mereka didengar oleh seorang pria bermarga Saragih yang berada di bawah jembatan tersebut. Pria ini mengidap penyakit kulit yang disebut purupuruon, kala itu ia sedang membersihkan tubuhnya di sungai Bah Pamujian. Oleh penduduk setempat, pria ini digelari Si Malangu yang berarti orang yang berbau tidak sedap. Karena penyakit yang diidapnya, ia selalu dihardik dan dicerca oleh penduduk dan dianggap manusia yang tidak berharga. Setelah selesai membersihkan diri, Si Malangu lalu memberanikan diri pergi menuju istana untuk menemui Raja Bandar dan menceritakan niat jahat dari Tuan Barotbot.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sesampainya di halaman istana, Si Malangu langsung dihalau oleh para pengawal istana, kehadirannya menimbulkan kemarahan mereka, namun mereka tidak sampai memukulnya. Si Malangu tetap tidak menyerah, ia terus saja memohon agar diperkenankan bertemu dengan raja. Para pengawal lalu bertanya padanya: <i>“Lahou mangaha do ho hujon o Malangu? Hambus ko hunjon, ulang dohor-dohor ho hu rumah bolon on!"</i>. Si Malangu menjawab: <i>"Lahou manjuppahi rajatta do au lo ambia"</i>. Para pengawal tersebut tetap saja melarang dan menghalaunya dan berkata: "<i>Babahmin ma, lahou manjuppahi raja nim, ise gakni ho ase pag ho manjuppahi raja? Ulang be buei hatamu ijin, hambus ma ho hunjon Malangu!... Sedo ijon iananmu, ulang soppat hutoppaskon holi babahmin"</i>. Si Malangu tetap bersikeras dan tidak mau mengindahkan larangan mereka. Mendengar keributan di luar, sang raja lantas memanggil salah seorang pengawal untuk memberitahukan keadaan yang terjadi, pengawal lalu berkata: <i>"Amba Janami, dong si Malangu i balui. Nini gan lahou pajuppah pakon Janami, dong gan na porlu lahou sahapkononni"</i>. Raja pun menjawab: <i>"Anggo sonai suruh ma ia hubagas"</i>, pengawal tersebut akhirnya memperkenankan Si Malangu untuk masuk. dengan menundukkan tubuhnya perlahan Si Malangu menaiki tangga istana menuju ke hadapan sang raja sembari bersimpuh. <i>"Aha do nai na mambaen ho ase roh kujon ale Malangu?"</i> tanya raja. <i>"Amba ale janami 3x... lang janami... lang"</i>, sahut Si Malangu. Raja kembali bertanya: <i>“Patugah ma ale Malangu! Ulang pala mabiar ho. Aha do nai na lahou patugahonmu bakku?"</i>. Dengan diliputi rasa takut, ia terdiam sejenak dan termangu-mangu sambil bersimpuh sembari berkata: <i>"Amba ale janami 3x..., sonon ge ale Janami, sanggah itoruhni hitei ai au paliaskon akkulakku, hutangar Tuan Barotbot lahou pamanganhon Janami pakon Sibiangsa"</i>. Mendengar ucapan Si Malangu, sang raja sangat terkejut namun ia tidak panik karena ia menganggap itu hanya omong kosong Si Malangu saja. Sang raja lalu berkata:<i> "Ai ra dong na pag mambaen sonai bakku lo ambia...? Seng tongon ai ambia"</i>. Si malangu kembali meyakinkan sang raja dan berkata: "<i>Amba ale Janami 3 x, tongon do ai ale Janami, tongon do ai.... ale Janami”</i>. Ia menjelaskan: <i>"Sapah na ipalit ma holi tandani panganon na inahi sibiangsa ai, ale Janami"</i>. Raja pun mulai yakin meski sangat terkejut, akan tetapi ia berusaha untuk tidak panik. "<i>Tupa ma bai tugahtugahmai o Malangu, anggo sonai mulak ma ho!"</i>, ujar raja kepada si Malangu.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Si Malangu dengan menunduk mengundurkan diri dari hadapan Raja Bandar. Karena kuatir akan keselamatannya, ia lalu pergi menjauh ke dalam hutan. Sang raja lalu bertitah agar penjagaan di istana lebih diperketat, para hulubalang pun turun memeriksa kesiapan dari para pengawal dan prajurit bagian pengamanan. Bersama dengan para pembesar kerajaan (Harajaan), yaitu Tuan Nagodang, Tuan Rumah Suah, dan Tuan Kahaha serta para Parbapaan Bandar yaitu Tuan Bandar Sahkuda, Tuan Mariah Bandar, Tuan Naga Bandar, dan Tuan Bandar Tongah. Sang raja lalu menceritakan kisah yang didengarnya dari Si Malangu mengenai rencana jahat dari Tuan Barotbot. Mereka sangat terkejut dan sama sekali tak menyangka Tuan Barotbot berani melakukan itu. Mereka lalu menganjurkan agar sang raja tetap saja mengikuti jamuan makan yang ditawarkannya untuk membuktikan kebenaran cerita dari Si Malangu. Raja pun menyetujuinya dan meminta mereka agar berwaspada akan berbagai kemungkinan ancaman yang akan terjadi. Waktu perjamuan makan pun sudah dekat,</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan Barotbot bersama para pengawalnya dari kampung barotbot bergegas menuju ke istana Raja Bandar yang berjarak sekitar 15 km dari kediaman mereka. Sembari menanti kehadiran Tuan Barotbot, di istana sudah berkumpul para pembesar kerajaan, mulai dari Harajaan, Raja Goraha, Parbapaan, Partuanon, Pangulu, Guru Huta, Puanglima, Parsaholat, Gamot, dan keluarga kerajaan seperti puang bolon, panak boru, dan para dayang-dayang. Kerumunan rakyat bandar memadati halaman istana raja bandar untuk menyaksikan acara tersebut. Tidak lama kemudian, Tuan Barotbot pun tiba bersama pasukannya, pihak kerajaan lalu menyambut kedatangan mereka seperti biasa. Acara perjamuan pun siap untuk dilaksanakan, penjagaan dan kewaspadaan para pengawal istana juga sudah disiagakan. Berbagai jenis makanan dan minuman sudah tersaji, tukang daging yang bertugas menyiapkan makanan yang mengandung racun sibiangsa itu juga sudah menempatkannya di meja raja.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kini waktunya untuk menikmati hidangan, Raja Bandar bersama Tuan Barotbot duduk satu meja, Tuan Barotbot lalu mempersilakan raja agar mulai mencicipi makanan sembari memutar meja agar piring yang mengandung makanan beracun tersebut berhenti di depan Raja Bandar. tidak mau kalah dengan Tuan Barotbot, raja yang sudah mengetahui niat jahatnya berusaha menghindari piring makanan yang mengandung racun tersebut. Ia bisa mengenalinya dengan tanda yang ditaruh di bawah piring. Demikian juga Tuan Barotbot, ia berusaha mengelak saat makanan itu berhenti di depannya. Demikianlah berulang-ulang makanan yang mengandung racun Sibiangsa itu selalu saja berhenti di depan Tuan Barotbot. Demi menjaga rasa malu dan takut kedoknya terungkap, makanan beracun terpaksa harus disantapnya. Racun tersebut seketika langsung bereaksi dalam tubuh Tuan Barotbot. Ia lalu mohon diri kepada sang raja hendak kembali ke kampung Barotbot. Dengan perasaan penuh rasa malu dan kecewa berat karena rencana busuknya gagal, Tuan Barotbot bersama pasukannya kembali tanpa hasil. Racun yang mestinya dimakan raja, justru malah dimakannya sendiri. Senjata pembunuh yang dibuatnya justru membunuh dirinya sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Keadaan itulah yang menimpa tuan barotbot. Di tengah perjalanan, tubuhnya pun mulai sempoyongan, di tengah jalan racun itu dimuntahkannya, tanah tempat muntahan tersebut meledak dan membentuk lubang besar. Dalam kondisi demikian, ia tetap berusaha melanjutkan perjalanan, hingga mendekati kediamannya ia kembali memuntahkan racun itu dan kembali membentuk lubang besar. Tidak lama kemudian, ia pun terjerembab jatuh dari kudanya ke dalam lubang tempat muntahan tadi dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Para pengawalnya tidak mampu berbuat apa-apa atas kematian pemimpin mereka, mereka hanya bisa bersedih dan menyesali tindakan mereka yang terlalu gegabah sehingga akhirnya merenggut nyawa satu-satunya pemimpin mereka.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tidak lama kemudian, kabar kematian Tuan Barotbot terdengar sampai ke telinga Raja Bandar. Dengan penuh rasa syukur, sang raja mengucapkan rasa syukur kepada para dewa karena sudah melindunginya dari para pengkhianat. Para pembesar dan keluarga kerajaan juga sangat bahagia atas keselamatan raja mereka. Raja lalu menyuruh para pengawalnya agar membawa Si Malangu menghadapnya, untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah membongkar rencana busuk dari Tuan Barotbot. <i>"Anggo nang podas ipatugah ko bakku tahitahini Tuan Barotbot ai domma matei au ambia"</i>, ucap raja bandar kepada Si Malangu. Atas jasanya, raja lalu mengangkatnya sebagai pejabat kerajaan yang baru bergelar Tuan Si Malangu yang posisinya langsung di bawah raja. Berkat kejadian ini statusnya pun terangkat, karirnya pun menanjak dengan cepat. Kehidupannya perlahan membaik dan penyakitnya disembuhkan oleh tabib kerajaan. Sejak itu, ia tidak lagi jadi cemoohan masyarakat, tetapi jadi sosok yang disegani. Raja kemudian bersama dengan para pembesar kerajaan berembuk membahas tindakan pengkhianatan yang telah dilakukan Tuan Barotbot, hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada rakyat Barotbot, sebab gerakan pengkhianatan ini mendapat dukungan dari rakyatnya. Raja Bandar yang masih menyimpan kemarahan, lalu memutuskan untuk menghukum mati mereka semua. Tuan Nagodang menolak keputusan tersebut, karena dinilai tidak berperikemanusiaan. Ia lalu menyarankan agar rakyat Barotbot dikurung dalam sebuah kandang besar bersama dengan kerbau liar. Hukuman itu dianggap lebih tepat, dalam kandang itu mereka akan beradu dengan sekumpulan kerbau, mereka akan berjuang untuk tetap hidup. Bagi yang mampu menyelamatkan diri akan hidup dan bagi yang tak mampu akan mati. Bagi mereka yang hidup dibiarkan bebas, Raja Bandar pun menyetujui hukuman tersebut.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Ia memerintahkan kepada panglima kerajaan agar mengatur rencana pelaksanaan hukuman. Sejumlah pasukan berkuda kemudian bergegas menuju kampung Barotbot, kandang berukuran besar pun dibuat. Dengan disaksikan Raja Bandar, rakyat Barotbot lalu diarak masuk ke dalamnya. Di dalam kandang tersebut mereka saling beradu dengan sekumpulan kerbau liar. Satu persatu rakyat Barotbot mati terbunuh oleh keganasan kerbau-kerbau tersebut, sebagian ada yang berhasil selamat lalu melarikan diri. Setelah itu pemukiman rakyat Barotbot pun dibumihanguskan. Melihat peristiwa itu, Raja Bandar merasa puas, kemarahannya mulai reda. Ia bersama para pembesar lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana. Kampung Taran Manik kini sudah tidak ada lagi dan sudah berubah jadi area perladangan, tidak jauh dari tempat ini terdapat kampung bernama Pamorhatan. Mereka yang selamat dari hukuman berpencar ke berbagai tempat dan terus menyimpan dendam terhadap Raja Bandar karena telah membunuh keluarga dan saudara mereka. Dendam ini terus menerus melekat hingga anak cucu mereka. Hingga meletusnya Revolusi Sosial 3 Maret 1946, di antara keturunan rakyat Barotbot ini ada beberapa orang yang ikut terlibat aksi pembunuhan dan penculikan keluarga Raja Bandar. Menurut mereka pada saat itulah waktu yang tepat untuk membalaskan dendam leluhur mereka. Salah seorang keturunan mereka bernama Bahrum Damanik pernah menjadi Walikota Tanjung Balai (1975-1980), sementara dari keturunan Si Malangu ada yang pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Utara dan juga anggota DPRD Simalungun.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Narasumber:</b></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan Kaliasan Damanik Bariba putera Tuan Satia Bisara Damanik Bariba (Nagodang Bandar).</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-59053149273217040392016-03-10T06:15:00.003+07:002016-11-20T16:21:27.355+07:00Bahasa Simalungun Dalam Tinjauan Linguistik<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/17-04-2014-tjbl-012-56df0d92569373cd1811f96a.jpg?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/17-04-2014-tjbl-012-56df0d92569373cd1811f96a.jpg?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="f" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</span></strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">(Telah Diterbitkan di Majalah Sauhur Edisi II Tahun 2007)</span></strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pendahuluan</span></strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bicara
mengenai Bahasa Simalungun, maka terlebih dahulu kita mengulas
bagaimana sejarah masuknya nenek moyang penutur bahasa Austronesia
ribuan tahuan lalu ke nusantara khususnya ke Sumatera Utara. Bahasa
Austronesia adalah rumpun bahasa yang terbilang sudah cukup tua dan
sangat luas penyebarannya di dunia, kemunculannya diperkirakan sekitar
6.000-10.000 tahun lalu. Kebanyakan bahasa-bahasa Austronesia tidak
mempunyai sejarah panjang dalam bentuk tertulis, sehingga upaya untuk
merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal, yaitu sampai pada
Proto-Austronesia sangat sulit. Prasasti tertua dalam bahasa
Cham, yaitu Prasasti Dong Yen Chau yang diperkirakan dibuat pada abad
ke-4 Masehi, sekaligus merupakan bukti tertulis tertua pula bagi
rumpun bahasa Austronesia. Robert Blust, seorang pakar ilmu linguistik
telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa
dari rumpun Austronesia misalnya kosakata proto Bahasa Austronesia yang
berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam. Seorang pakar
linguistik lainnya bernama Spir juga telah menyusun kronologi penyebaran
Bahasa Austronesia dari tahun ke tahun. Ada beragam pendapat mengenai
tanah air Bangsa Austronesia ini, para cendekiawan mencoba menyelidiki dari dua sisi yaitu melalui bukti arkeologi dan ilmu genetika. Secara penelaahan genetika memberikan hasil
yang bertentangan, sejumlah peneliti menemukan bukti bahwa tanah air
Bangsa Austronesia Purba berada di benua Asia (Melton dkk, 1998).
Sedangkan para peneliti lainnya merujuk pada kajian linguistik menyatakan bangsa
Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan, dengan alasan di Taiwan
ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun
bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari
sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28)
menemukan hal ini ketika ia menulis:</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<em><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">“...
Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya
dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam
rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya.
Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja
bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa
Austronesia secara kesuluruhan".</span></em></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/austronesiantaiwan-56e03abc327a61ec2a7535bc.png?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/austronesiantaiwan-56e03abc327a61ec2a7535bc.png?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="q" /></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> <em>Gambar 1: Peta penyebaran bahasa Austronesia di Taiwan sebelum kehadiran orang-orang Tionghoa.</em></span></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Setidaknya
sejak Spir (1968), para ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari
penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan
keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang
kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari
cabang-cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari
perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit
perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman
dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun
bahasa Austronesia. Sedangkan hasil penggalian arkeologi menunjukkkan
bahwa bangsa Austronesia sudah bermukim di Taiwan sekitar 8.000 tahun
yang lalu. Dari pulau ini mereka bermigrasi ke Filipina, Indonesia
kemudian Madagaskar dan ke seluruh Samudera Pasifik. Para ahli sejarah
menyarankan migrasi ini bermula sekitar 6.000 tahun yang lalu. Hasil
penelitian mutakhir para ahli semakin memantapkan dugaan adanya dua arus
migrasi besar ke nusantara yang menjadi cikal bakal leluhur langsung
bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Austroasia yang tiba pada 4.300-4.100
tahun lalu dan kedua, bangsa Austronesia yang datang pada kisaran 4.000
tahun lalu. Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry
Truman Simanjuntak, mengatakan, Austroasia dan Austronesia awalnya
berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa
ini berasal dari Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya
terpecah menjadi dua, yaitu Austroasia digunakan di sekitar Asia
Tenggara Daratan dan Austronesia yang digunakan di wilayah kepulauan
mulai dari Taiwan, Filipina, Samudera Pasifik, Madagaskar hingga Pulau
Paskah.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/austronesiasebar-56e03b33559773871e1e819a.jpg?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/austronesiasebar-56e03b33559773871e1e819a.jpg?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="s" /></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<em><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/grayaustronesian-56e03d90527a61011b9275c7.png?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/grayaustronesian-56e03d90527a61011b9275c7.png?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="a" /></span></em></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<em><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Gambar 2-4: Rute penyebaran bangsa dan bahasa Austronesia beserta tahunnya.</span></em></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dari
hasil pengkajian bahasa yang dilakukan oleh penulis, dalam bahasa
Simalungun sendiri ditemukan terdapat dua golongan bahasa baik
Austroasia maupun Austronesia. Adapun leluhur langsung yang menurunkan
bangsa dan bahasa Simalungun yang datang dari Taiwan, penulis menduga
yaitu dari suku Amis dan Atayal yang bermigrasi ke Sumatera Utara
sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka masuk melalui pantai timur Sumatera,
awalnya mereka menetap di pesisir mendesak bangsa Austroasia yang lebih
dulu datang pada 300-100 tahun sebelumnya, sebelum kehadiran Bangsa
Austronesia, suku Simalungun pada awalnya menuturkan Bahasa Austroasia.
Namun penulis belum mampu menyebutkan secara spesifik suku apakah dari
golongan Bangsa Austroasia yang datang ke Simalungun, selain datang dari
Taiwan, ada juga penutur Bahasa Austroasia yang datang langsung dari
daratan asia yaitu dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, hal ini
diketahui dari adanya kemiripan kosa kata antara rumpun bahasa Mon-Khmer
seperti bahasa Mon, Khmer, Thai, Palaung, Shan, dan Khasi dengan bahasa
Simalungun, keempat bahasa ini dituturkan di negara Myanmar, Kamboja,
Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, India, dan Cina. Dari sejumlah daerah
inilah para penutur Bahasa Austroasia berlayar ke nusantara khususnya
Sumatera Utara. Namun pasca masuknya Bangsa Austronesia dari Taiwan
perlahan kedudukan Bahasa Austroasia tergantikan akibat dominasi dari
Bahasa Austronesia.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/10/austro-asiatic-tree-56e087502323bd1a2659ae01.jpg?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/10/austro-asiatic-tree-56e087502323bd1a2659ae01.jpg?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="d" /></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<em><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Gambar 5: Skema pembagian rumpun bahasa Austroasia.</span></em></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bahasa Simalungun</span></strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Secara
linguistik bahasa Simalungun digolongkan ke dalam salah satu sub bahasa
Batak, Petrus Voorhoeve (1955: 88) memposisikan bahasa Simalungun
berada pada rumpun tengah di antara rumpun selatan (Toba, Mandailing,
Angkola) dan utara (Pakpak, Karo, Alas). Namun menurut Adelaar (1981:
55), bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari rumpun
selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola
sebelum ketiga bahasa tersebut terbentuk. Dari ungkapan Adelaar ini
menyiratkan bahwa bahasa Simalungun telah berwujud sebelum lahirnya
ketiga bahasa rumpun selatan lainnya yang kemudian berpisah dan
membentuk rumpun tersendiri. Geoff Wollams dalam penelitiannya tentang
bahasa Karo menemukan bahwa dari 207 kosa kata dasar yang ia bandingkan
antara bahasa Karo dan bahasa Simalungun ternyata dalam kedua bahasa tersebut terdapat kesamaan sebesar 80%.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/10/wn-batakrumpunbahasa-56e07679c1afbd1427043ebb.png?v=600&t=o" data-mce-style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" src="https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/10/wn-batakrumpunbahasa-56e07679c1afbd1427043ebb.png?v=600&t=o" style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;" title="x" /></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<em><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Gambar 6: Skema pembagian bahasa Batak menurut Adelaar (1981: 55)</span></em></div>
<div data-mce-style="text-align: center;" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bahasa
Simalungun menjadi media tutur bagi masyarakat pribumi yang mendiami
tanah Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar,
Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, namun pada zaman
dahulu wilayah penyebaran Bahasa Simalungun meluas sampai ke Langkat,
Medan, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Hal ini diketahui dari
banyaknya nama tempat yang menggunakan bahasa Simalungun di sepanjang
pesisir timur mulai dari Langkat hingga Labuhan Batu. Luasnya penyebaran
Bahasa Simalungun tidak terlepas dari perjalanan sejarah suku
Simalungun itu sendiri, di mana mereka telah melalui berbagai fase dalam
menapaki lintasan sejarah. Kebesaran suku Simalungun diawali pada masa
Kerajaan Nagur yang pada masa kejayaannya menguasai sebagian besar
daerah di pesisir Sumatera Timur mulai dari Aceh hingga sungai Rokan.
Namun seiring berjalannya waktu terjadi pasang surut kekuasaan, Kerajaan
Nagur mengalami berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar
sehingga perlahan Nagur mengalami kemunduran dan daerah-daerah koloninya
banyak dicaplok oleh sejumlah dinasti baru seperti Haru, Perlak, Pasai,
Aceh, Johor, dan Siak.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bila
ditinjau dari bentuknya, Bahasa Simalungun telah mengalami beberapa
fase dalam pembentukannya, mulai dari Bahasa Simalungun kuno (Proto
Simalungun), Simalungun pertengahan (Middle Simalungun), dan Simalungun
baru (Neo Simalungun). Bahasa Simalungun masih banyak mewarisi
bentuk-bentuk asli dari Bahasa Austronesia kuno, diantaranya adanya
vokal rangkap (diftong) "ui', ou, dan ei" dan memiliki anak surat
(diakritik) tersendiri dalam bentuk verbal, masing-masing bernama
hatulungan /ou/, hatalingan /ei/, dan hatuluyan /ui/, hal ini akan
penulis jelaskan satu persatu secara rinci. Eksistensi vokal rangkap ini
semakin memperkaya ragam vokal bahasa Simalungun menjadi 8 bentuk yaitu
/a, i, u, e, o, ui, ou, ei/. Pada saat ini terdapat banyak keragaman
dialek dalam Bahasa Simalungun dan pada beberapa lokasi ada
kecenderungan upaya pengaburan bentuk-bentuk asli warisan Bahasa
Austronesia kuno tersebut terutama di kawasan Simalungun Atas dan
Simalungun Horisan. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/ dan /ei/
ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, dan
Alas di Aceh Tenggara serta bahasa Keluet di Aceh Selatan dan fonem /ui/
selain dalam Bahasa Simalungun dikenal juga dalam Bahasa Alas.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata <em>“horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou,</em> <em>dilou”</em>. Kemudian fonem /ei/ pada kata <em>“lobei, hitei, bogei, dogei, atei,</em> <em>buei”</em>. Sementara fonem /ui/ terdapat pada kata <em>“tondui, langui, apui, sungui, babui, tului, ampodui, surui,</em> <em>haluhui”</em>. Dalam bahasa Alas di Aceh Tenggara, bentuk kata berdiftong tersebut dapat dilihat dari kata-kata berikut <em>“endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui,</em> <em>apui”</em>. Demikian juga pada bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, seperti pada kata <em>“kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei,</em> <em>mbuei”</em>. Sedangkan dalam bahasa Karo diwakili oleh kosa kata berikut <em>“dilau, belau, sapau, rimau, ayau, namau, payau, matai, berai, isai, keina, benai,</em> <em>lumai”</em>.
Namun pola penggunaan diftong ini hanya berlaku di wilayah Karo yang
berbatasan dengan Simalungun dan Melayu, tidak meluas hingga ke wilayah
Karo lainnya seperti pada dialek Gunung dan juga Kabanjahe. Hal ini
terjadi akibat adanya kontak secara berkesinambungan dan berlangsung
lama dengan suku Simalungun di perbatasan dan Melayu di Deli Serdang dan
Langkat.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bila
dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain seperti bahasa
Toba, Mandailing, Angkola, dan Pakpak; fonem /ou/ ini biasa berbunyi /o/
seperti pada kosa kata berikut <em>“horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko,</em> <em>dilo”</em>; /ei/ berbunyi /e/ tampak pada kosa kata <em>“hite, bege, dege,</em> <em>ateate”</em>; sedangkan diftong /ui/ akan berbunyi /i/ seperti kata <em>“tondi, langi, api, babi, suri,</em> <em>halihi”</em>. Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata <em>“daroh, babah, roh, dilah, soh,</em> <em>gogoh”</em>;
fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir
ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan juga Keluet; namun
tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola -- ketiganya sama
sekali tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka
kata <em>“babah”</em> akan berbunyi <em>"baba"</em>, <em>“roh”</em> akan berbunyi <em>“ro”</em>, <em>“dilah”</em> akan berbunyi <em>“dila”</em>, dan <em>“gogoh”</em> akan berbunyi <em>“gogo”</em>.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Keragaman
fonem lainnya yang tidak ditemukan dalam Bahasa Batak lainnya adalah
/d/, /g/, dan /b/, ketiga fonem ini menjadi penutup dalam sebuah kata.
Ahli bahasa Belanda Dr. Petrus Voorhoeve (1955: 88) pernah mengulas
tentang fonem penutup /d/, /g/, dan /b/ ini, ia merasa terkesima karena
bahasa Simalungun satu-satunya etnis Batak yang mengenal bentuk fonem
seperti ini. Menurut Voorhoeve, fonem ini erat hubungannya dengan bahasa
Sanskerta. Pola penggunaannya tidak mengalami perubahan baik dalam
bentuk lisan (oral) maupun tulisan (verbal). Fonem /d/ tampak pada kata <em>“bod, saud, towod, agad, sogod, bagod, sarad, alud”.</em> Sedang fonem akhir /g/ diwakili oleh kata <em>“dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag,</em> <em>ulog”</em>. Sementara fonem akhir /b/ muncul pada kata <em>“dob, rongkob, dorab, tayub, langkob,</em> <em>sab”</em>.
Kosa kata yang sama ditemukan juga pada bahasa Pakpak dan Karo, namun
fonem penutup /d/ mengalami perubahan menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/,
di mana kata <em>“bod”</em> berubah menjadi <em>“bon/ben”</em>, <em>“saud”</em> menjadi <em>“sahun”</em>, <em>“towod”</em> menjadi <em>“tiwen”</em>, <em>“sogod”</em> menjadi <em>“cegen”</em>, <em>“sarad”</em> menjadi <em>“saran”</em>, dan <em>“alud”</em> menjadi <em>“alun”</em>. Kemudian kata <em>“dolog”</em> menjadi “<em>deleng”</em>, <em>“pusog”</em> menjadi <em>“puseng”</em>, <em>“balog”</em> menjadi <em>“baleng”</em>, <em>“lanog”</em> menjadi <em>“laneng</em>”, <em>“borgog”</em> menjadi <em>“bergeng”</em>, <em>“bolag”</em> menjadi <em>“belang”</em>, dan <em>“pag”</em> menjadi <em>“pang”</em>. Sementara untuk fonem /b/ penulis belum dapat menentukan bentuk perubahannya.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
bahasa etnis Batak lainnya seperti Toba, Mandailing, dan Angkola fonem
/d/ akan berbunyi /t/ seperti tampak pada kosa kata berikut <em>bod–bot, saud–saut, tuod–tot, agad–agat, sogod–sogot, bagod–bagot, sarad–sarat,</em> <em>alud–arut</em>; /g/ akan berbunyi /k/ seperti <em>dolog–dolok, balog–balok, lanog–lanok, bolag–bolak, ulog–ulo</em>k;
sedang untuk fonem /b/ penulis juga belum dapat menentukan bentuk
perubahannya. Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis
mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang
dianggap bermasalah pada sejumlah bahasa, tidak hanya pada bahasa
nusantara, namun berlaku pula pada bahasa di belahan bumi Eropa. Karena
fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses
netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem
/t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul pada
posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena
saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Hal
ini mengundang pertanyaan mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan
gejala tersebut?</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam
bahasa Simalungun ternyata terdapat cukup banyak kosa kata yang bukan
produk hasil kreasi nenek moyang suku Simalungun. Kosa kata itu umumnya
diadopsi dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini tentu
tidak pernah disadari oleh para penutur bahasa Simalungun, mereka
umumnya merasa semua kosa kata yang mereka tuturkan adalah warisan
langsung dari nenek moyang mereka. Adapun kata serapan dari bahasa
Sanskerta, di antaranya digunakan untuk penyebutan nama-nama dewa
seperti <em>“bisnu, sori, hala, borma”</em> yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata <em>“whisnu, sri, kala, brahma”</em>. Demikian juga untuk menyebut gugusan bintang dengan <em>“mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, mena”</em> yang bentuk aslinya dalam bahasa Sanskertanya adalah <em>“mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, mina”</em>. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti <em>“ditia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, samisara”</em> dalam bahasa sanskerta berbunyi <em>“aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, syanaiscara”</em>. Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin <em>(deisa na waluh)</em> seperti <em>“purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna”</em> yang merupakan perubahan bentuk dari kata <em>“purva, pastjima, uthara, daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana”</em>.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tidak
hanya itu, untuk kosa kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga
banyak yang diserap dan mengalami perubahan seperti kata <em>"boniaga"</em> yang berasal dari kata <em>"vanijya"</em>, <em>"naibata"</em> dari kata <em>"devata"</em>, <em>"purba"</em> dari kata <em>"purva"</em>, <em>"porsaya"</em> dari kata <em>"pratyaya"</em>, <em>"dousa"</em> dari kata <em>"dosha"</em>, <em>"bangsa"</em> dari kata <em>"wamsa"</em>, <em>"susian"</em> dari kata <em>"sisya"</em>, <em>"horja"</em> dari kata <em>"karya"</em>, <em>"arga"</em> dari kata <em>"argha"</em>, <em>"halani"</em> dari kata <em>"karana"</em>, <em>"rupa"</em> dari kata <em>"rupa"</em>, <em>"ugama"</em> dari kata <em>"agama"</em>, <em>"nagori"</em> dari kata <em>"nagari"</em>, <em>"basa"</em> dari kata <em>"waca"</em>, <em>"balei"</em> dari kata <em>"walaya</em>", <em>"banua"</em> dari kata <em>"wanua"</em>, <em>"barita"</em> dari kata <em>"wrtta"</em>, <em>"nanggurdaha</em>" dari kata <em>"garuda"</em>, <em>"gajah"</em> dari kata <em>"gaja"</em>, <em>"husapi"</em> dari kata <em>"kacchapi"</em>, <em>"huta"</em> dari kata <em>"kuta"</em>, dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata <em>"pingkir"</em> yang diserap dari kata <em>"fikr"</em>, <em>"adat"</em> dari kata <em>"adat"</em>, <em>"dunia"</em> dari kata <em>"dunya"</em>, <em>"uhum"</em> dari kata <em>"hukm"</em>, <em>"sibolis"</em> dari kata <em>"iblis</em>". Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata <em>"saluar"</em> yang berasal dari kata <em>"shalwar"</em>, <em>"sarunei"</em> yang berasal dari kata <em>"surnai"</em>, <em>"pinggan"</em> yang berasal dari kata <em>"pinggan"</em>. Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata <em>"bodil"</em> yang diserap dari kata <em>"badil</em>", <em>"sohei"</em> dari kata Tamil <em>"cukkai"</em>, <em>"mandihei"</em> dari kata Tamil <em>"komattikai"</em>.
Penulis belum dapat menentukan secara definitif bagaimana proses
penyerapan kosa kata ini terjadi, apakah memang langsung diserap dari
bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang
memang pernah mengadakan kontak langsung dengan keempat bahasa asing
tersebut.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dialek Bahasa Simalungun</span></strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam
perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat
terjadinya perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena
ini akhirnya membentuk pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun
yang ditandai dengan kemunculan sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun
seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, dan Sin
Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun
hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir
(Horisan), dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek
tersebut, para peneliti bahasa cenderung memilih dialek Sin Raya yang
dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam mengkaji Bahasa
Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang
berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada
awalnya adalah sama, namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman
bahasa induknya sehingga perlahan mengalami pergeseran, ditambah
derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar wilayah Simalungun
juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa Simalungun.
Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di
sepanjang daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan
Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian,
Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat kerapnya mengadakan interaksi
dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir dan
sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan
bahasa Toba.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Di
Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa
Simalungun yang digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba.
Berbeda halnya dengan masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan
Dolog Silou, Silimakuta, Gunung Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota
Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur Bahasa Karo, maka
dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan.
Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah
Jahei-jahei seperti di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar
Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu
Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun yang mayoritas
beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan
suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial,
keagamaan, dan juga perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu
menyerap ke dalam bahasa Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat
Simalungun yang menetap di antara komunitas suku Jawa seperti di
Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog,
dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah Simalungun
yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan
budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi
secara berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun
semakin memberikan peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki
berbagai tempat di tanah Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan
identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun sangat besar dan sulit untuk
dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang berubah
bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Penutup</span></strong><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dari
uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki
sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati
demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa
adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan
dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba,
Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat
disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan
bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara.
Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada
rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau
mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Daftar Pustaka:</span></strong><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India: The Christian Literature Society. 1978</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981 </span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-39968405280938099342016-01-28T05:39:00.004+07:002016-03-03T23:36:35.037+07:00Kerbau dan Babi dalam Perspektif Budaya Batak<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/imagesh-56ca57c3c0afbdb107bb233c.jpeg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/imagesh-56ca57c3c0afbdb107bb233c.jpeg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Pendahuluan</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Babi
adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan
dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya
tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya
kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial
Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke
tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah
menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di
hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman
dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah
Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena
mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikuti terbiasa
mengkonsumsi binatang ini tersebut sehingga belakangan menjadi
kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau
Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual
Batak, terbukti babi sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan
komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di
komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog
Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan
bagi para pengunjung.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Selama
ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah
populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam
cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam,
kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan
tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada
suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan
bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah
ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur
Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa
juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah
Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur
Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya
bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli
Tua.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Demikian
juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki
seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi
melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke
Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan
Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang
peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki
seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan
marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor
harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun,
mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak
jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala
tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba
khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang
mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya
Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Dari
uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi
tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang
kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah
Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku
Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi
mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari
sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Kita
tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal
dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari
pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak
di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah
suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan
budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara
etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan
dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung
hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi
renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama
ratusan tahun.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Sejarah Kerbau</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Kerbau
(bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae
dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen
tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di
Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut
antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan,
Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu
menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian
di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi
kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di
situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di
bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat
memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki
berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg
dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat
rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian
pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar
dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan
memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara
kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat
bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas
mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga
subspesies yaitu :</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.<br />2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.<br />3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Dapat
dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting
dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data
ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis
hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu.
Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi
manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup
menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi
tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian
bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi.
Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara
berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan
kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya
kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera
Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun
pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan
pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus,
India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir
(800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Kerbau
Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun
termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya
lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung
ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk
sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah
lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot
sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama
sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang
pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan),
untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan
pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan
hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya
seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan
kurban pada upacara adat.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Secara
khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun
melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini
sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya
dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di
Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang
tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan
kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik
berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah
sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan
bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik
yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh
Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Bagi
masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau
menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan
sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang
ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau
pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan
profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan
megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan
(wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga
melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung
megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen
kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di
Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun
terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala
kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli.
Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran,
keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat
(Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo
juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang
terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan
pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin
(timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru
mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo.
Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari
serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya
dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah
adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang
menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga
keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk
kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai
kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta
besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal
ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu
jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk.,1997:5,12).</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Konsep
ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak
terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan
lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan
seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan
tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban
yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi.
Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana
kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan
tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan
pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat,
menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang
di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk
kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan
prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai
seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan,
kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat
Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi
(menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur
sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan
pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum
disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut <em>borotan</em>,
serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih
dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar
juhut (Simatupang, 2005:63–65).</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Demikian
halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap
leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain
sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar
(Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar
juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut
papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Selain
itu, kerbau memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai binatang yang
membantu untuk mengolah sawah, penghasil susu, penghasil daging,
penghasil pupuk, sebagai tabungan jangka panjang, sebagai bahan tekstil
(industri), dan terakhir kerbau berfungsi sebagai alat transportasi.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Peranan
kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan
sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa
prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian
dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes
bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum
pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam
Ferdinandus,1990:426). Penanaman padi dengan sistem perladangan
diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500
SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia
(Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi
dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam
(Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa
situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang
diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti
batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs
Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak,
beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412).
Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat
perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat
yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada
jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan
untuk membantu kegiatan pertaniannya.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Mengenai
perkembangan pertanian, sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha abad ke
XI–XIV Masehi, kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya,
kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin
berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan
adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya
tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian
masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana
yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu
(Susilowati,2003:49).</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br />Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan
bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di
Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 --
12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya
kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang
diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak
banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis
Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup
banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan
kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Sejarah Babi</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Pendapat
umum menyatakan bahwa bangsa babi merupakan hewan yang paling awal
dijinakkan, bukan kucing ataupun anjing. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya penemuan lukisan dan ukiran babi yang berumur lebih dari 25.000
tahun yang lalu. Asal-usul ternak babi yang dikenal sekarang adalah
keturunan dari dua jenis babi liar; Sus Vittatus dari India timur, Asia
Tenggara, China dan Sus Scrofa dari Eropa yang didomestikasi pada 4900
tahum SM. Hingga kini masih ditemukan 2 (dua ) spesies babi liar ini
hidup bergerombol dan membentuk kelompok besar di hutan Eropa dan India
Timur. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah ada 25 sub spesies Sus
Scrofa yang diketahui, dan perkembangannya telah beradaptasi dengan
lingkungan lokal. Babi lokal (indigenous) diberbagai daerah tropis
sekarang ini sulit dijumpai karena pada umumnya telah mengalami grading
up dengan babi ras atau breed eksotik yang berasal dari Ingris, Amerika
dan Skandinavia; karena babi ras ini ternyata lebih cocok untuk daerah
tropis.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Adapun
jenis babi yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari babi lokal
maupun babi yang didatangkan dari mancanegara (import). Babi asli
Indonesia adalah babi hutan yang masih banyak berkeliaran di
hutan-hutan. Babi yang sekarang ada di Indonesia adalah keturunan babi
hutan dengan ciri khas umumnya; liar, warna hitam dan dipelihara secara
ekstensif, bebas berkeliaran di sekitar perkampungan. Bangsa babi asli
Indonesia adalah babi Bali, babi Karawang, babi Sumba dan babi Nias.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>1. Babi Bali</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-bali-56ca3501ae7e614e1d9c149d.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-bali-56ca3501ae7e614e1d9c149d.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:<br /> <br />- Warna hitam dan bulu agak kasar<br />- Bentuk tubuh dan kepala kecil<br />- Punggung lentik<br />- Perut hampir menyusur tanah<br />- Kaki pendek<br />- Cungurnya relative pendek<br />- Telinga kecil dan berdiri tegak</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>2. Babi Karawang</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-karawang-56ca3536ae7e61291e9c1493.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-karawang-56ca3536ae7e61291e9c1493.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:<br /> <br />- Kepala kecil<br />- Telinga kecil dan berdiri tegak<br />- Tulang belakang lemah dan agak panjang<br />- Perut hampir menyusur ke tanah<br />- Kaki pendek<br />- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>3. Babi Sumba</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/sumba-56ca3578979373a80e3430e4.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/sumba-56ca3578979373a80e3430e4.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:<br /> <br />- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )<br />- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan<br />- Badan sedang pendek namun dalam<br />- Bentuk kepala lonjong<br />- Moncong lancip<br />- Telinga kecil berdiri</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>4. Babi Nias</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-nias-56ca35ac137f61cc2067bebf.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-nias-56ca35ac137f61cc2067bebf.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
- Badan sedang<br />- Kepala lebih pendek dari babi sumba<br />- Telinga kecil dan berdiri tegak<br />- Mulut runcing<br />- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu<br />- Warna putih atau belang hitam</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Babi Impor</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Pada
saat ini ada beberapa babi impor yang didatangkan dari Luar negeri dan
telah berkembang di Indonesia yaitu Babi VDL (Veredeld Duits
Landvarken), Babi Yorkshire dikenal dengan nama Large White, Babi
Tamworth, Babi Saddle Back , Babi Landrace dan Babi Duroc.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>1. VDL (Veredeld Duits Landvarken)</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/vdl-56ca3607ae7e61db1d9c1498.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/vdl-56ca3607ae7e61db1d9c1498.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:<br /> <br />- Kepala besar agak panjang<br />- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala<br />- Badan besar<br />- Daging banyak</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>2. Babi Yorkshire (Large White)</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/yorkshire-56ca36a8979373110f3430dd.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/yorkshire-56ca36a8979373110f3430dd.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri-ciri:<br /> <br />- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam<br />- Telinga tegak<br />- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk<br />- Badan besar panjang dalam dan halus<br />- Efisiensi penggunaan pakan tinggi<br />- Pertumbuhan cepat<br />- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>3. Babi Tamworth</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-tamworth-56ca36cd979373a70e3430e3.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/babi-tamworth-56ca36cd979373a70e3430e3.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<em>Babi Tamworth adalah babi penghasil daging bermutu tinggi yang berasal dari Inggris (kota Tamworth).</em></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri – ciri:<br /> <br />- Warna merah tua atau kecoklatan<br />- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing<br />- Moncong agak panjang lurus<br />- Telinga tegak dan sedang,<br />- Tulang belakang kuat<br />- Tubuh besar<br />- Kaki sedikit panjang</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>4. Babi Saddleback</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/sadle-back-56ca371309b0bdd21f9ddb8b.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/sadle-back-56ca371309b0bdd21f9ddb8b.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri – ciri:<br /> <br />- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki<br />- Kepala sedang dan halus<br />- Telinga tegak<br />- Rahang rata<br />- Punggung berbentuk busur</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>5. Babi Landrace</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/landrace-56ca3748979373190f3430de.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/landrace-56ca3748979373190f3430de.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri – ciri:<br /> <br />- Warna putih dan bulu halus<br />- Tubuh panjang<br />- Telinganya terkulai rebah ke depan<br />- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>6. Babi Duroc </strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<img alt="" data-mce-src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/duroc-56ca3781137f61132167beb9.jpg?v=600&t=o" src="http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/22/duroc-56ca3781137f61132167beb9.jpg?v=600&t=o" title="" /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Ciri – ciri:<br /> <br />- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya<br />- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Tinjauan Medis</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Penelitian
medis banyak menggunakan babi, karena secara anatomi dan fisiologi
(fungsi) mirip hingga 90 persen dengan manusia, walaupun sistemnya
berbeda. Babi adalah pemakan segala (omnivora) seperti manusia di mana
ukuran dan fungsi jantung, ginjal dan pankreas babi mirip manusia. Di
alam liar, babi termasuk hewan pemakan bangkai. Mereka akan memakan apa
saja termasuk juga kotoran, makanan busuk, bangkai, dan bahkan mereka
memakan tumor atau daging lebih yang berasal dari babi lainnya. Sistem
pencernaan babi memang agak mengesankan, tetapi tidak selalu dapat
menyaring zat-zat beracun dari semua yang mereka makan. Sistem
pencernaan babi mampu menyelesaikan proses mencerna makanan hanya dalam
waktu 4 jam, sehingga racun yang mereka makan akan disimpan di dalam
lemak. Racun tersebut mungkin tidak berbahaya bagi babi, tetapi bagi
kami, itu hal yang berbeda. Berdasarkan penyelidikan sebuah Consumer
Reports, dari 200 sampel daging babi mentah, 69 persen telah
terkontaminasi, mengandung bakteri berbahaya seperti Yersinia
Enteroclitica yang dapat menyebabkan penyakit serius. Ground pork bahkan
lebih buruk, mengandung kontaminan lain seperti Ractopamine [1] yang
merupakan obat terlarang yang dicekal di China dan Eropa. Menurut
laporan tersebut, "Kami menemukan Salmonella, Staphylococcus Aureus,
atau Listeria Amonocytogenes, yang merupakan penyebab utama dari
penyakit bawaan makanan [2], dalam 3 sampai 7 persen sampel. Dan 11
persen mengandung Enterococcus, yang menunjukkan adanya kontaminasi
tinja dan dapat menyebabkan masalah seperti infeksi saluran kemih."<br /> <br />
Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular
langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang
dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta
terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya
telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi
perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak
akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran
manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga
tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi
kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan
sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya
yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama
jika dibiarkan.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Lemak
punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang
lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yang lemak
punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap
semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah
mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah
tidak layak dikonsumsi. Daging babi karena banyak mengandung lemak,
meskipun empuk dan terlihat begitu lezat, namun sangat sulit dicerna.
Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada
urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina
pectoris), dan radang pada sendi-sendi. Penelitian ilmiah modern di dua
negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina, dan Swedia
(mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan
penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini
di negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis,
terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara
Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam,
persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini
dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang
Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.<br /> <br /> Babi
banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya,
sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus
Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak
akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan
60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka
dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat
virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat
menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong
dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun
2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing
yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu
mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi
makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan
menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan
setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding
usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan
dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Dan
ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan
pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya. Hal
ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di
daerah yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit "cacing
pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui
konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh
manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /> Jumlah
cacing pita bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 -
10 meter", dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya
melalui BAB (buang air besar). DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD,
seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical
Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology
and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine,
Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang
bisa dijangkiti dari babi, di antaranya:</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
-Anthrax<br />-Ascaris suum<br />-Botulism<br />-Brucella suis<br />-Cryptosporidiosis<br />-Entamoeba polecki<br />-Erysipelothrix shusiopathiae<br />-Flavobacterium group IIb-like bacteria<br />-Influenza<br />-Leptospirosis<br />-Pasteurella aerogenes<br />-Pasteurella multocida<br />-Pigbel<br />-Rabies<br />-Salmonella cholerae-suis<br />-Salmonellosis<br />-Sarcosporidiosis<br />-Scabies<br />-Streptococcus dysgalactiae (group L)<br />-Streptococcus milleri<br />-Streptococcus suis type 2 (group R)<br />-Swine vesicular disease<br />-Taenia solium<br />-Trichinella spiralis<br />-Yersinia enterocolitica<br />-Yersinia pseudotuberculosis</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<strong>Daftar Pustaka:</strong></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Gunadi.
Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi
Ekonomi. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi
Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2000</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Hasanuddin,
Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati. Ornamen (Ragam Hias) Rumah
Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera
Utara. 1997</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Marsden, William. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Sipayung,
Hernauli dan Lingga, Andreas. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional
Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. 1994</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Sukendar,
Haris. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam:
Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Wiradnyana,
Somba, dan Nani. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di
Sebagian Wilayah Indonesia. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. 2005</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-77541432724183005132015-12-23T05:59:00.003+07:002016-11-26T13:53:05.912+07:00Afdeeling Simeloengoen En Karolanden<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif; text-align: start;"><b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd </b></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;">Pada zaman dahulu suku Simalungun disebut dengan Batak Hataran dan di Asahan terdapat kelompok Batak Pardembanan yang pada awalnya bagian dari Batak Hataran. Simalungun pada awalnya merujuk nama suatu daerah bukan nama suku, pada waktu Kontrolir Toba P.A.L.E Van Dijk menjelajahi tanah Simalungun pada tahun 1890 mengatakan bahwa Siantar (Bandar dan Sidamanik), Tanah Jawa (Bosar Maligas dan Girsang Sipangan Bolon), dan Tanjung Kasou adalah daerah yang dikenal orang Toba dengan nama Simalungun. </span></span><span style="font-family: times, 'times new roman', serif;">Lalu Tanjung Kasou dipisahkan Belanda dari Simalungun dan dimasukkan ke Batubara. Menurut Van Dijk kebijakan ini diambil karena Tanjung Kasou dianggap daerah Melayu, meskipun penduduknya adalah orang Simalungun namun budaya dan bahasa yang mereka gunakan lebih condong kepada Melayu daripada budaya Simalungun dan juga sudah menganut agama Islam. Sementara Dolog (Silou), Purba, Panei, dan Silima Huta, masing-masing berdiri sendiri, namun belakangan oleh pihak Belanda dinamakan dengan daerah Batak Timur. Ketika </span><span style="text-align: start;">Controleur Deli, J.A.M van Cats Baron de Raet pada 28 Desember 1866 melakukan ekspedisi ke Simalungun, daerah ini masih disebut Timoerlanden (Tanah Timur) (Tideman, 1922:211-213). </span><span style="font-family: times, 'times new roman', serif;">Di Simalungun terkenal sebuah peribahasa yang berbunyi: </span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;"><i>Sin Raya Sini Purba </i></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif; text-align: start;"><i>Sin Dolog Sini Panei </i></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif; text-align: start;"><i>Na ija Pe Lang Mubah </i></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif; text-align: start;"><i>Asal Marholongni Atei </i></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;">Daerah Siantar (Bandar dan Sidamanik), Tanoh Jawa, dan Tanjung Kasou tidak disebutkan dalam peribahasa tersebut. Namun demikian, semuanya baik Raya, Purba, Dolog, Panei, Siantar, Tanoh Jawa, dan Tanjung Kasou bahkan hingga Deli, Serdang, Batubara, dan Asahan penduduknya adalah orang Batak Hataran dan sebagian dari daerah di Asahan terkenal dengan pusat pengembangan budaya sirih (demban) dan juga praktik perdukunan melalui perantaraan sirih sehingga disebut dengan Batak Pardembanan. William Marsden dalam bukunya "History of Sumatera" yang diterbitkan tahun 1783 juga menyinggung nama Raya, ia menyebutnya "Riap". Ketika John Anderson utusan Gubernur Inggris W.E. Philips di Penang mengunjungi pesisir Sumatera Timur pada tahun 1823, ia menemukan komunitas Batak Hataran di daerah Batubara yang berasal dari Simalungun (Anderson menyebutnya Semilongan). Selain itu, Anderson juga melihat penduduk yang mendiami daerah Padang (Tebing Tinggi, Tebing Syahbandar, dan Bandar Khalifah sekarang) adalah orang Batak Hataran yang berjumlah sebanyak 3000 jiwa. Demikian juga ketika ia berada di daerah Bedagai (Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin, dan Sei Rampah sekarang) juga terdapat orang Batak Hataran yang jumlahnya sebanyak 2000 jiwa. Pada misi yang sama, sewaktu Anderson menjelajahi daerah Serdang, ia bertemu dengan Raja Dolog (kemungkinan Tuan Taring Purba Tambak) yang berumur kira-kira 33 tahun yang berkulit putih dan bertubuh tegap yang sedang mengadakan percakapan dengan Sultan Serdang Tengku Thafsinar Basyarsah yang berumur kira-kira 32 tahun bersama dengan Ulubalang Raja Siantar dan Datuk Tanjung Marawa. Mereka bertemu di Kampung Besar ibukota Kesultanan Serdang, dari pengamatan Anderson di Kampung Besar sangat banyak orang Batak Hataran yang berasal dari Dolog (Silou). Dia mendeskripsikan ciri-ciri orang Batak Hataran bertubuh tegap, cakap, berkulit cerah, berwajah bulat dan bibirnya lebih tipis dari orang Melayu. Kisah perjalanan John Anderson ini dimuat dalam bukunya berjudul "Mission to the East Coast of Sumatera".</span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;">Pada tahun 1904, Belanda mencaplok tanah Simalungun dan Karo menjadi bagian dari "De Residentie van Ooskust van Sumatra" (Provinsi Pantai Timur Sumatra) yang beribukota di Medan. Melalui Staatsblad No. 531 tahun 1906, nama Simalungun dikukuhkan sebagai nama resmi untuk Afdeeling Simeloengoen en Karolanden dipimpin oleh controleur C.J Westenberg yang beribukota di Saribu Dolog kemudian berpindah ke Pematang Siantar. Sebelumnya, daerah Simalungun dan Karo ini disebut dalam laporan-laporan Belanda dengan istilah "Zelfstandige Bataklanden" (Batak Berdiri Sendiri/Batak Merdeka) karena dianggap bagian wilayah Bataklanden tapi tidak termasuk "De Residentie van Bataklanden" yang kemudian bernama "De Residentie van Tapanoeli". Adapun wilayah Afdeeling Simeloengoen en Karolanden sebenarnya terbatas pada Simalungun Atas dan Karo Gugung, kawasan Simalungun Bawah dan Karo Jahe telah telah terlebih dahulu menjadi bagian dari "De Residentie van Ooskust van Sumatra". Sebagian Simalungun Bawah dianggap bagian dari Sultan Asahan dan juga Sultan Serdang. Demikian juga dengan Karo Jahe dianggap bagian dari Sultan Langkat dan selebihnya bagian dari Sultan Deli dan Sultan Serdang. C.J. Westenberg sendiri menentang pemekaran ini karena menurutnya, Karo dan Simalungun secara tradisional tak mungkin dipisahkan karena sebagian marga Karo yaitu Tarigan memiliki tanah ulayat di Simalungun, bila Simalungun dipisah dari Karo, di mana lagi tanah marga Tarigan, katanya. </span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;">Dia terus mengkritik pemerintahnya. Akhirnya, Westenberg dipromosikan menjadi Residen Tapanuli. Belum setahun menjadi gubernur, seperti Multatuli yang juga tak tahan atas perlakuan pemerintahnya, Westenberg mengundurkan diri dan kembali ke Den Haag membawa anak-anak dan istrinya. Afdeeling Simeloengoen en Karolanden kemudian dimekarkan lagi menjadi Onderafdeeling Simeloengoen meliputi Tanoh Jawa, Panei, Raya, dan Siantar yang berkedudukan di Saribu Dolog dan Onderafdeeling Karolanden mencakup Dolog Silou, Purba, Silimakuta, Lingga, Barus Jahe, Suka, Sarinembah, dan Kutabuluh yang berpusat di Kaban Jahe. Terbentuknya Onderafdeeling Simelongoen dan Onderafdeeling Karolanden merupakan buah dari penandatangan perjanjian pendek (korte verklaring) antara pihak kolonial dan para raja Simalungun dan sibayak Karo pada tahun 1907 yang secara sadar mengaku takluk dan tunduk pada kekuasan Belanda. Kesepakatan ini akhirnya memberikan otoritas penuh kepada pihak kolonial untuk membagi wilayah taklukannya secara politis tanpa pernah mempertimbangkan batas-batas kekuasaan dan hak-hak adat dari masing-masing kerajaan yang mereka taklukkan. Pasca penandatangan Korte Verklaring inilah Raja Maroppat dipecah oleh pihak kolonial menjadi Raja Marpitu dengan mengangkat status tiga partuanon yang dulunya di bawah kekuasaan Raja Dolog Silou, yaitu Raya, Purba, dan Silimakuta menjadi setara dengan kerajaan induknya. Terjadilah perubahan secara drastis dalam sistem pemerintahan, yang awalnya kerajaan berdaulat berubah menjadi swapraja (landschap) yang membawahi sejumlah distrik. Dengan adanya perubahan ini, maka peranan Harajaan (dewan kerajaan) di lingkungan kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun sudah tidak berfungsi lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap. </span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJgIvdpq7oy1Tf4YFLMyeBq5QPhGnA2VB5m5w8srgvKuqKTHG8puIjonygcx2ITeE0qr33rYtcDv74Gfqy-rIBSL04o9Bsg8A-qq8LFfcF_TWdPkVRPq2S6S_ziBtVakHD7KR4EQrl0I/s1600/12987058_975214389265315_4888407519844280451_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><img border="0" height="190" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJgIvdpq7oy1Tf4YFLMyeBq5QPhGnA2VB5m5w8srgvKuqKTHG8puIjonygcx2ITeE0qr33rYtcDv74Gfqy-rIBSL04o9Bsg8A-qq8LFfcF_TWdPkVRPq2S6S_ziBtVakHD7KR4EQrl0I/s320/12987058_975214389265315_4888407519844280451_n.jpg" width="320" /></span></a></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="text-align: start;"><br /></span>
<span style="text-align: start;">Meski 3 kerajaan Simalungun dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Karolanden yaitu Dolog Silou, Purba, dan Silimakuta (Nagasaribu & Siturituri) namun secara kultur ketiga kerajaan ini tetap mengusung kultur Simalungun karena dari awal mereka adalah lembaga yang berperan dalam menjaga dan melestarikan keutuhan budaya Simalungun kecuali di tingkat Perbapaan yang berada di sekitar perbatasan Simalungun-Karo khususnya di lingkungan Kerajaan Dolog Silou dan Silimakuta sudah sejak lama tergerus dengan budaya Karo seperti Partuanon Saribu Jandi, Rakut Besi, Panribuan, dan terakhir Urung Silou yang beribukota di Cingkes. Sementara Perbapaan lainnya seperti Siturituri, Dolog Panribuan, Mardingding (Silimakuta); Bandar Hanopan, Sinasih, Nagori Dolog, Sibakkudu, Marubun Lokkung, dan Dolog Mariring (Dolog Silou) tetap menggelorakan budaya Simalungun. Dalam interaksi sosial, ketiga kerajaan ini juga tetap lebih banyak bergantung dan berinteraksi dengan kerajaan Simalungun lainnya yang berada di bawah naungan Onderafdeeling Simeloengoen (Siantar, Panei, Raya, Tanoh Jawa) baik dalam acara adat, kegiatan musyawarah (harungguan/karapatan), dan pemilihan permaisuri (puang bolon) karena sejak semula mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahlkan dibalut dalam satu konsep budaya dan saling menguatkan satu sama lain mulai dari Nagur, Batangiou, Silou, hingga terpecah menjadi Raja Maroppat Hataran kemudian jadi Raja Marpitu. Faktanya, Raja Silimakuta tetap mengambil permaisuri dari Kerajaan Raya (Saragih Garingging) dan juga dari Tongging (Munthe), demikian juga Kerajaan Dolog Silou tetap menjadikan puteri Raja Raya sebagai permaisuri, meski pada awalnya leluhur Raja Dolog Silou yaitu Tuan Timbangan Raja (Tuan Silou Dunia) sempat menjadikan puteri Sibayak Pintu Banua bagian dari Barus Jahe sebagai permaisuri, namun keturunan selanjutnya mulai dari Tuan Bedar Maralam, Tuan Rajomin, Tuan Moraijou, Tuan Taring, Tuan Lurni, Tuan Tanjarmahei, Tuan Ragaim dan puteranya Tuan Bandar Alam Purba Tambak sudah menjalin kekerabatan yang lebih erat dengan pihak Raya. Sementara itu Raja Purba (Purba Pakpak) memilih puteri Tuan Sidamanik dan puteri Raja Siantar (Damanik Bariba) sebagai permaisuri, demikian juga Kerajaan Panei (Purba Sidasuha) sama-sama mengambil permaisuri dari Kerajaan Siantar dan juga puteri Tuan Marihat (Damanik Bariba). Selanjutnya Kerajaan Siantar malah lebih memilih mengambil puteri Tuan Silampuyang dan juga puteri Tuan Sipoldas (Saragih Sidauruk). Diteruskan oleh Raja Raya yang menjadikan puteri Raja Panei dan juga puteri seorang Guru Bolon (Purba Sidasuha) sebagai permaisuri. Sedangkan Raja Tanoh Jawa sendiri mengambil permaisuri yaitu puteri dari Kerajaan Siantar dan Bandar.</span></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-29803605607863596762015-10-28T04:29:00.006+07:002016-12-27T04:15:09.503+07:00Partingkian Bandar Hanopan (6)<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<br />
“Anggo lang be in bongkot, nadilou ma parbagot so minum, paruma so
mangan”, nini Harajaan Silou. Ase nadilou ma parbagot so minum, paruma
so mangan, ase nalulu ma gan paruma so mangan, parbagot so minum; bonar
ni uhurni, dihatahon ma gan marsousou, sada dayok, dua angkal boras, dua
amas batuni. “lang humani bongkot”, nini Rayat Sibolonan.<br />
Ase napindo ma gan bonar bani Nagodang ompa Anakboru Huta; dihatahon
Anakboru Huta ma ompa Pamogang, ase na palu gonrang, nisousou dua tumba
boras, sada dayok, onom amas batuni. Nada humani bongkot.<br />
Ase napindo ma use uhum bani Tuan Nabolon. “Manangar ma gamot gonup
ompa anak raja barang ulubalang ni Raja Silou Bolak bani hatangkin. Ase
mapoltik suhulni pue dijamah paruma, ase mapoltik suhulni agadi digolom
parbagot; onggo harani bonang sagogoh gonup ma utang dua puluh ompat; in
pe dibaen domma manangar ulubalang ni Raja Silou Bolak do ase das nansa
in; ambit lang da dop manangar Raja Silou Bolak, hansa ma namine tolu
amas ibaen lang be bongkot sousou.” Ase tertawa ma halak na mabue.
“Sonin ma tongon”, nini halak na mabue.<br />
Ase ditogu Rayat Sibolonan ma hu rumah Harajaan Silou, mangihut ma
gamot gonupan. Ase diamparhon Rayat Sibolonan ma gan ape di rumah ompa
ampik-ampik hundulan ni Harajaan Silou. Ase disalin Rayat Sibolonan ma
Harajaan Silou, dibere gotong, dibore hiou, dibore pamonting, dibore
baju. Ase dibunuh Rayat Sibolonan ma hambing sada, babuy sada parualuhon
pangambangini bani Harajaan Silou, diborehon ma omas sapulu onom
ringgit bani Tuan Nabolon, diborehon Tuan Nabolon ma bani Harajaan sini
Silou.<br />
“Lang da sah sonin, Tuan Nabolon”, nini Harajaan Silou. “Ase pe
hatangku di Tanoh Silou on, binaen ni Rayat Sibolonan do,” nini Harajaan
sini Silou.<br />
“Sonaha ma in nani manguda, ianggo lang be ham ra mangalohon omas na
sapulu onom ini, pala-palani namine ham marholong ni ate, alohon ham do
namin omas on,” nini Rayat Sibolonan. “Rayat Sibolonan!” nini Tuan
Nabolon, “Ageni lang ialohon manguda, ulang marlohe uhurmu, marsahap
hanami lobe ampa Nagodang,” nini Tuan Nabolon.<br />
“Ase sonaha ma ninta lo hita gamot Nagor Laksa on, naikkon hita ma
lah goran ni manguda”, nini Tuan Nabolon dompak Nagodang. “Ia nanaikhon
ma goranni tuhan, atap manise ma holi ulubalang ni Raja Silou Bolak.” Ia
manise Raja Silou, munsuhkon hita,” nini Tuan Nabolon.<br />
“Ia sonin sonaha ma bahen hita goranni tuhan, Tuan Nabolon?” nini
Nagodang. “Tuan Silou ma bahen hita, ninta gonup gamot Nagor Laksa on,
ulang sirang panriahta,” nini Tuan Nabolon. “Ia sonin, sonaha ma bahen
hita goranni tuhan, Tuan Nabolon?” nini Nagodang. “Tuan Silou ma bahen
hita goran ni Harajaan Silou,” nini gamot Nagor Laksa. “Ase Tuan Silou
ma tongon ninta alo amang na mabue.”<br />
Ase ditangar Raja Silou Bolag ma gan baritani, domma dinaikhon
goranni Harajaan Silou, Tuan Silou ma goranni. Suhun ma ualuh borngin,
mate ma Raja Silou Bolag.<br />
Itangar Tuan Silou mariah hata ni bodil di Gunung Silou. Ase hadudu
ma gan Tuan Silou humbani Nagor Laksa laho hu Gunung Silou, jumpah ma
gan bokas ni bala. “Lang pe sah hita hun suah in,” nini Tuan Silou
dompak si Juhar ompa si Birong ompa si Baresa, “ijon ma lah iankon
hita,” nini Tuan Silou.<br />
Ase roh ma gan munsuh ondi tampe ma gan bani hanopan, mangidah ma gan
si Birong, ase dilelehon si Birong ma gan, sor ditampul ma parsaholat
Raya namargoran si Arisma gan goranni; ase maporus ma gan si Arisma hu
suah mangalop Pan Dirman ompa Ompu ni Huala. Ase diatur ma gan bodil
sapulu dua, ase dibodil Pan Dirman ma gan si Birong, pinggol-pinggol pe
gan lang ra nahit, ipantom pe bani buringan, buringan pe bartong do
mardalan; isintak ma gan podang, podang pe lang tarsintak lohat dibagas
sarung. Lumpat ma use si Arisme hu suah.<br />
“Rajanami o-u! Ai ma huagak Tuan Silou, ia bodil pe lang ra bingkas,
buringan pe bartong do napantomkon, pisou pe lang tarsintak,” nini si
Arisma.<br />
“Ah holhol ni parsaholat on ma manggoluh,” nini Raja Raya.<br />
“Rajanami o-u! Sonaha pe nimuyu, pitu ma tilagah bani tontonku,” nini
si Arisma, “martomu ma Bah Bapil ompa Bah Baulian bani tontonku, domma
jadi gundur pusu-pusungku mangidah Tuan Silou”, nini si Arisma. Ase
mandorak ma gan Tuan Ompu ni Huala: “Bapa o-u! Na dop manaban do hita,
jadi ditaban halak, lang be hita mulak hu Raya. Roh ma si Parsilou Bolak
mangayak Pagar Jandi, lang be tarbolus”, nini Ompu ni Huala. “Sonaha
man dibotoh ham uhur?” nini dompak Raja Raya.<br />
“Ia sah Tuan Silou ia, aha tarulah dipangan; sebe na indahan”, nini
Raja Raya. Ase diugei ma gan sanggeni, dibuat ma gan sortali
simarhotang, golang puntu sada, harandam sada.<br />
“Sonin ma in alo Pan Dirman, pak do ham mamboba hatangku bani lae?” nini Raja Raya. “Pak do lani Rajanami”, nin Pan Dirman.<br />
“Ia pak do ham, boba ham ma bajutkon bani lae,” nini Raja Raya;
inahkon Raja Raya ma gan sortali ondi ompa golang puntu ondi ompa
harandam. “Ia hatangku bani bobaonmuyu,” nini Raja Raya: “Ulang diambat
ham, Tuan Silou, Raja Raya, sababni ialah Raja Raya pe Gunung Silou,
salah domma dipahoruskon Raja Rubun ompa Raja Dunia, nini Raja Raya.”<br />
Ase diboba Pan Dirman ma gan bajut ondi; ase diparhatahon Pan Dirman
ma Harajaan Tuan Silou: “Ulang diambat ham Raja Raya, ase dialah Raja
Raya pe Gunung Silou, namarhalani dipahoruskon Raja Silou Bolag do Raja
Rubun ompa Silou Dunia. Na ham bajutni Raja Raya on, pudun ualuh
borngin; ia hata ni pudun in, ia sihol do gan ham bani boru hun Raya, in
ma das dijin na satimbang badanni,” nini Pan Dirman; ia madear do
uhurmuyu, mardomu di Pagar Tongah ma bani pudun.”<br />
“Raja Raya ma hapeni na mambotoh ahu lang siat di Silou on”, nini
Tuan Silou. “Lopus ma Rajanta hu Raya, mulak ma ahu hu Nagor Laksa,”
nini Tuan Silou. Ase lopus ma bala ondi hu Raya.<br />
Ase suhun ma ualuh borngin, laho ma Tuan Silou hu Pagar Tongah,
jumpahsi ma di rumah ni Pai Bahe puang anakboru Raya, ididah Tuan Silou
ma anakboru ondi ompat puluh pinahe, dua do puang anakboru, sada humbani
Raya Simbolon, sada humbani Raya Bayu.<br />
Ase disuruh Raja Raya ma Harajaan Raya namargoran si Tomba ompa Pan
Dirman hu Pagar Tongah. “Sonaha ma hata bobaonnami rajanami?” nini Pan
Dirman.<br />
Ase dihatahon Pan Dirman ma hatani Raja Raya: “Tuan Silou e, adong
hatani Raja Raya: ia sihol do hita gan marinang bani puang anakboru,
tangkap ham ma gan di alaman bolag di panortoran,” nini Pan Dirman.<br />
Haru ma gan uhur ni Harajaan Silou; na ija ma on nani puang anakboru?
ninuhur ni Tuan Silou. Ase laho ma gan Tuan Silou hu pongkalan Homban.
“Aha do baenonta lani hu pongkalan on tor tangis-tangis?” nini Ompung ni
Pai Bahe. “Ase au tangis, lang hutandai puang anakboru Raya”, nini Tuan
Silou. “Ulang ham tangis, boi do hutuduhkon bamuyu”, nini ompung ni Pai
Bahe. “Ia lang be marpahean, ia ma puang anakboru Raya Simbolon sada,
puang anakboru Raya Bayu sada”, nini ompung ni Pai Bahe.<br />
Ase mulak ma gan Tuan Silou hu huta, jumpahsi manortor anakboru na
opat puluh, ia puang anakboru marilah ma gan di alaman bolag. Ase
ditangkap Tuan Silou ma gan puang anakboru haduasi, dihamunkon sada,
dikaoskon sada; diboba ma hu rumah ni ompung ni Pai Bahe.<br />
Ase tangis ma gan anakboru na opat puluh ondi ibaen lang sidea itangkap Tuan Silou.<br />
Ase das ma gan di rumah, diuge anakboru Raya ma gan tampahni, dibuat
ma hiou gatip, gotong batik sada, baju alamkari sada, pamonting sada,
sompa gan goranni, panalinni puang anakboru Raya. Ase diamparhon ma gan
ape pitu hali pitu lapis, ase dipahundul puang anakboru Raya ma gan Tuan
Silou bani ape pitu hali pitu lapis; hun siamun ni Tuan Silou ma Puang
anakboru Raya Bayu, humbani kaos ni Tuan Silou ma Puang Anakboru Raya
Simbolon.<br />
Ase diberehon anakboru Raya ma gan dembanni, sangkababah pe puang
anakboru ondi mamberehon demban bani Tuan Silou. Ase dibuat puang
anakboru Raya ma gan sarana ibaengi demban ma sarana ondi; diberehon
puang anakboru Raya ma sarana ondi bani si Juhar ompa si Birong ompa si
Baresa. Ase: nam amang, marpuran ham ulubalang ni Tuan Silou. Sonin ma i
amang: ulang be ham sirang ompa Tuan Silou, harani ham do hansa huidah
na rup hu suah, rup hu buntu, namantaruhkon Tuan Silou hu kahan hu
huluan; on ma bamuyu sabehu hiou sada be nasiam ulubalang ni Tuan
Silou,” nini puang anakboru Raya.<br />
Ase disuruh puang anakboru Raya ma gan si Baresa manolkas bodil, ase
laho ma si Baresa manolkas bodil hu alaman bolag. Ase: “marolop-olop ma
hita,” nini ompung ni Pai Bahe. Ase marumpasa ma gan ompung ni Pai Bahe,
ia umpasani: “Mapir ma batu gingging, rage batuni jala, mora ma hita
madingin, nin Ompung Naibata. Manumapak ma Boru Saniang Naga. Ase
marolop-olop, olophon hita ma alo amang na mabue!” Ase iolopkon na mabue
ma gan di rumah ni ompung ni Pai Bahe.<br />
Ase disuruh puang anakboru Raya ma mulak Pan Dirman hu Raya. “Sonaha
ma lani hata bobaonku?” nin Pan Dirman. “Ia hata bobaon: domma hanami
ditangkap Tuan Silou haduasi”, nini puang anakboru Raya. Ase laho ma gan
Pan Dirman hu Raya, ase disuhutkon Pan Dirman ma bani Raja Raya: “Domma
ditangkap Tuan Silou puang anakboru haduasi”, nini Pan Dirman. “Ia
sonin ma lo Pan Dirman, hatahon ma bani Harajaan Raya on gonupan dusun
Raya on,” nini Raja Raya.<br />
Ase himpun ma gan sin-Raya gonup diparayak Pan Dirman. “Ia domma
diparayak ho, alo Pan Dirman, sin-Raya on gonupan, laho ma ham mulak hu
Pagar Tongah, hatahon bani dakdanahin iboba hu Tanoh Raya on Tuan Silou
ia”, nini Raja Raya. Ihatahon Pan Dirman ma bani puang anakboru Raya,
ase diboba puang anakboru raya ma gan Tuan Silou hu Raya; das ma gan di
Raya Simbolon Tuan Silou, ase hundul ma gan Tuan Silou ompa puang
anakboru Raya di sampalan.<br />
Ase: “Das ma di sampalan ai Tuan Silou,” nini Pan Dirman, “Rajanami!”
“Ase sadiha lani bueini nasilawe ia alo Pan Dirman?” “Ualuh puluh
Rajanami! Dija ma rumah bani rumah ni Tuan Silou?” nini Pan Dirman. “Di
rumah bolon, sikaos laho hu bagas.”<br />
Ase dialopi ma Tuan Silou hubani sampalan: “Tuan Silou! Laho ma hita
hu rumah,” nini Pan Dirman. Ase das ma di rumah Tuan Silou, ase lang da
dong namarhatahonsi, das pe gan ompat borngin ase disise gamot gan Tuan
Silou.<br />
Ia panise ni Pan Dirman: “O Tuan Silou! Adong hatani Raja Raya
hataonkonku bamuyu,” nini Pan Dirman. “Pan Dirman, sonaha ma hataonkon
bangku?” nini Tuan Silou.<br />
“Ia hatani Raja Raya: Na sibar ja do gan Tuan Silou sihol di Tanoh
Raya on?” nini Pan Dirman. “Gonup do au sihol, alo Pan Dirman, bani
Tanoh Raya on,” nini Tuan Silou. “Ia gonup do Tuan Silou sihol bani
Tanoh Raya on, iborehon ma bangku sada batu Pandapatan ia,” nini Raja
Raya.<br />
Dihatahon Pan Dirman ma bani Tuan Silou, lang be gan tarparhatahon
Pan Dirman Tuan Silou ompat borngin. “O Rajanami!” nini Pan Dirman,
“ompat borngin ma lang tarparhatahon au Tuan Silou,” nini Pan Dirman.<br />
“Ase lulu ham ma lo Pan Dirman Tuan Silou. Aha do gan turi-turianni
ase lang tarparhatahon Tuan Silou?” nini Raja Raya. Ilulu Pan Dirman ma
gan Tuan Silou.<br />
“Ibaen nape dong marpodah Ompung Naibata,” nini Tuan Silou. “Madear
do naberehon sada,” nini Ompung Naibata. Ase diberehon Tuan Silou ma gan
bani Raja Raya.<br />
Ase disuruh Raja Raya ma Pan Dirman mangaturhon mambuat unte ompa
manggiling bau-bauan. “Domma lani,” nini Pan Dirman. “Ia domma, aturhon
ma jolma on gonupan, gonrang, sarune, parmunsak, bodil mangiringhon
hanami laho maranggir ompa lae ompa dakdanahin”, nini Raja Raya.<br />
Ase naaturhon ma gan laho hu bah Tuan Silou, odor ma gan Tuan Silou
ompa puang anakboru Raya ompa Raja Raya ompa Puang Bolon Raya; gorop
hata ni bodil ma gan, dorang hata ni gonrang, menet ni arah-arahan
diiringkon parmunsak laho hu bah. (Bersambung)Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-4035231995339642262015-10-28T04:29:00.001+07:002016-12-27T04:14:50.513+07:00Partingkian Bandar Hanopan (5)<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<br />
Ase diboba Rayat Sibolonan Dili ma gan Harajaan Silou hu rumah,
isalin Rayat Sibolonan Dili ampa Pamogang Dili Harajaan Silou na ompat
halak, ipajujungkon ma boras bani uluni “ulang mali tondi”, nini Rayat
Sihabolonan Dili Ampa Pamogang Dili, marhata bani Harajaan Silou. “Ia
dop ham holongan ate, Rayat Sihabolonan ampa Pamogang Dili, igalar ham
ma utang na dua puluh, taruhkon ham ma ahu mangadap hu bani Raja Dili.”<br />
“Nim ma in Tungku; pabunuhkon ahu do hape uhurmuyu, laho pabunuhkon
ahu hubani parsaholat Siantar ai.” “Sis, Batak”, isintak horis. Ase
sihol ma uhur ni sini Silou mamunuh Raja Dili; ase isintak halasan. Ase
roh ma Pamogang ampa Rayat Sihabolonan Dili: “Harajaan sini Silou! Ulang
ibunuh ham Raja Dili.” “Anggo sonin ma nimu, alo Pamogang ampa ham
Rayat Sihabolonan Dili, marulak ma au lobei hu Tanoh Batak.”<br />
Ase das ma ia di Tanoh Batak, ase mulak ma hu Raja Rubun. Ase
ditangar Raja Silou Bolag ma baritani das ma di Raja Rubun, ase disuruh
ma ulubalangni manggompangi di Sahang Barak, mamunuh Harajaan sini Silou
ase ulang lopus marayak Tuan Nabolon Silou hu Nagor Laksa.<br />
Ase lopus do hu Nagor Laksa Harajaan sini Silou martomuhon Tuan
Nabolon Silou. Ase domma martomu Harajaan sini Silou ompa Tuan Nabolon
Silou. Ase: “Sonin ma in, alo Pai Bosar, ase hatahon ma hatangku bani
Pai Marjilir”, nini Harajaan sini Silou. “Ase das ma manguda dijon alo
Pai Marjilir ompa ho alo Pai Bosar: sonaha ma riahta di Nagor Laksa on,
ase sada ma riahta?” nini Tuan Nabolon mandokkon Pai Marjilir ampa Pai
Bosar, “Sonaha ma nindia?” “Ia sada ma nimu, sada ma ninnami, Tuan
Nabolon”.<br />
Ase ditangar Raja Silou Bolag ma barita ni Haraan sini Silou das ma
di Nagor Laksa, ase dipanggil ma Nagodang Simbolon ompa Nagodang Malayu
mangarahkon parsaholat. Ase roh ma parsaholat ondi: “Aha do lani
Rajanami pamanggilonkon bannami?” “Ase alop handian ma babi parompatan
hu Nagur Laksa.” Ase kehe ma sidea ratus dua puluh mamboba buluh
panlomangan hu Nagor Laksa.<br />
Ase manise ma Harajaan sini Silou: “Sonaha handian na roh hun Silou
Bolag in ase mamboba buluh?” “Harajaan sini Silou! Adong gan babi ijon
bani patungon ompat nini Raja Silou.” “Ase babi ni ise ma patungon
dian?” nini Harajaan sini Silou. Ase mabiar ma Nagodang mangkatahonsi,
ase mulak ma hu Silou Nagodang ondi.<br />
Ase tangis ma Harajaan sini Silou di alaman, ase laho humani ma ia hu
parhobonan, di parhobonan pe tangis humani do Harajaan sini Silou ondi.
Ase manise ma Ompung Naibata: “Ase aha do tangisanmu hompu di
parhobonan in?” nini Ompung Naibata. “Sabapni ahu tangis, mabolag ma
tanoh namine husiar, ase dija pe lang be dong hapeni hasohanku nini
uhurhu”.<br />
“Ulang ham tangis hompu, anggo ra do ham mangihutkon podahku.” “Sonaha ma podahmu Ompung?”<br />
“Ulang ham mangomou bani hata, ulang ham mangomou bani padan, ase
marmunsuh pe ham magira, dabere pudun do lobe ase marmunsuh ham magira”,
nini Naibata ondi. “Ia lang da ham mangomou hompu, adong do magirah
tanoh hatijakanmu.”<br />
“Ia dong do tanoh hatijakanku, bere ham ma au ajimat bani hasomanku
sadokah au manggoluh.” “Ia sihol ma ham bani ajimat, ase laho ma ham hu
Sahang Nabolon, ia padanta martomu pangului mata ni ari.”<br />
Ase torang ma ari, ase laho ma Harajaan sini Silou ondi hu Sahang
Nabolon, ase jumpahsi ma parlanja ualuh halak sadalanan, anak Purba Tua.
“Laho hu ja do hita lani?” nini si Manruntabe. “Laho hu Raja Rubun do.”
“Ase marpuran hita lani.” “Lang be au marpuran, mabarah ayakanku.”<br />
Ase marsipisar ma ia mardalan, madohor ma Bah Ambalotu ase golap ma
ididah gonup nagori on, ase sangkolag nari man dididah nasiang, ase
dilintuni Harajaan Silou ma gan na masiang ondi, tong do masiang
sangkolag idah Harajaan Silou. Mulak pe ia hu pudi, tong do masiang
sangkolag idahHarajaan Silou. Diulakkon ma gan dilintuni Harajaan Silou,
suhun ma lima hali.<br />
Ase manilok ma gan Harajaan sini Silou ondi, ase iulakhon ma hu pudi,
ase diulakhon dikawahkon ase romban humani do dididah ampa silok ondi.
Ase diulakhon ma diporih ase bani silok ondi do dididah humani; ase
ditangkap ma silok ondi, ase marumbak ma gan Harajaan sini Silou ondi
ompa silok ondi ase mardopor ma gan taligorani dibaen ngalut dibogehon
Harajaan sini Silou ondi.<br />
Ase manise ma Ompung Naibata ondi: “Ase mahua ham ase modom hompu?”
“Ase adong huidah magerger, ase lang da tarbuat ahu Ompung!” “Aha ma ase
boi dibuat ham, nadadong boi hatamu bangku hompu.”<br />
“O alo Ompung, bani na i pudi pe marsogot hutanohkon do bani ase
ulang lupa na i pudi ni na i pudianku, ase ulang lupa martaringati ham
Ompung, Ompung Naibata.”<br />
“Ai sonin do hatamu hompu, ase ham do marsogot sudihon di Tanoh Silou
on. Ase kehe ma ham hompu.” Ase hundul ma gan Harajaan sini Silou. “Ase
jongjong ham ma lobe.”<br />
Ase didah ma pinggan pasu ase gerger ma dididah; ase ditangkap ma gan
na gerger ondi, ase lumpat ma hu siambilou, ase dikawahkon ma hu
siambilou, ase lumpat ma hu lobe-lobeni, ase tombob ma ia hu toruh. “Ase
mahua ham ase tombob hompu?” “Sabapni ahu tombob Ompung, adong huidah
magerger, lang tarbuat ahu.”<br />
“Ase lang tarbuat ham hompu, lape dong ahu parpodah bamu hompu.” “Sonaha ma lani podahmu Ompung Naibata?”<br />
“Ia podahku hompu, ase daanggir ma marsogot. Ia gorakni anggirmi: Ia
margorak ma humbani sihamun, monang ma hita marmunsuh. Ia margorak ma
humbani siambilou, alah ma hita marmunsuh. Ia margorak ma humbona, ase
monang ma hita marmunsuh. Ia margorak hampit ujung-ujung ase alah ma
hita marmunsuh.<br />
“Ase suhun ma padanta hompu: ase das ma bamu na hasilianku bani
hasomanmu, bani pagarmu, bani sihawalmu, bani sumbahonmu marsogot hompu,
ase martonah ham bani na i pudimu. Ia mulak ma ahu holi, ase hosahku ma
dididah ham, sorangku ma diboge ham, rupangku lang be dididah ham
hompu”, nini Ompung Naibata: “Ase jongjong ma gan hompu”.<br />
Ase jongjong ma Harajaan sini Silou ondi, ase ditangkap ma na
magerger ondi, ase domma dapotsi. Ase didilou ma di Juhar ompa si Baresa
ompa si Birong ompa na ualuh ondi sip-Purba Tua ondi. Ase roh ma gan
hasomanni ondi, ase lintun ma gan ia ase iihutkon hasomanni ondi ma.<br />
Ase das ma gan ia i Bah Ambalotu. “Buat ma, alo Juhar, bulung langge
ai, pindo alo Juhar unte ai bani Guru Baresa ompa hiou putih, ase pisat
unte in alo Juhar.” “Dop ma hupisat alo Harajaan sini Silou.” Ase
ianggir ma gan Pandapatan ni Harajaan sini Silou ondi. Ia domma gan
sidea maranggir, ase laho ma hu Raja Rubun.<br />
“Roh hunja ham ompung?” nini Pamogang Pamolaha. “Roh hun Nagor
Laksa.” “Marbanggal dope tuahku, dong pe mulak dope ham hujon, laho ma
hita hu rumah.”<br />
Das ma gan di rumah, ase dibore hiou, dibore gotong, dibore baju,
dibore pamonting, dibore raot takah tundun, ibuat ma gan hambing, dibuat
Pamogang Pamahala. Ase laho ma gan sidea hu bah maranggir, ase
dipasungkup Pamogang Pamahala ma gan sinjata mangiringkon sidea hu
paranggiran; mulak ma sidea hu rumah; ase das ma gan di rumah ase
mamohul ma gan sidea.<br />
Ase mulak ma gan Harajaan sini Silou hu Nagor Laksa. Ase marhata ma
Rayat Sibolonan bani Harajaan sini Silou: “Harajaan sini Silou! Marutang
ma gan ahu ratus dua puluh bani Raja Silou Bolag, halani bonang
sagogoh, ase ambungkon ham ma hatamu, Harajaan sini Silou, bani Tuan
Nabolon. Ia lang be holi bongkot hatamu in, marutang pe au, lang be
malungun uhurhu”, nini Rayat Sibolonan Silou.<br />
“Sonin ma in Tuan na Bolon Silou, onggo sonin do, ase tumu ma lobe
gamot Nagor Laksa on, ase diboge hatangku”, nini Harajaan Silou.<br />
Ia hatangku siburingan tolong do hansa”, nini Harajaan Silou. “Ia
madear uhur dian napahe hatangkin; ia lang malas uhur, naambungkon
hatangkin”, nini Harajaan Silou. “Ise ma lo amang na mabue na pak
marutang saratus dua puluh harani bonang sagogoh?” Nadong na ra
marbalos.<br />
“Sonaha ma in, alo Tuan Nabolon, domma hupindo hata hubani na mabue,
nadong na marbalos”, nini Harajaan sini Silou. “Sonaha ma in alo Tuan
Nabolon?” nini Harajaan sini Silou.<br />
“Ia lang be dong na ra marbalos, tuannami, hita sonaha ma pintor ni
uhurmuyu?” nini Rayat Sibolonan. “Ia pintor ni uhurhu namine nasousouhon
ma namin samah parinangon, sada dayok, saangkal boras, saamas batuni.”<br />
“Nada dong bongkot”, nini Rayat Sibolonan.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-55409250826347520782015-10-28T04:28:00.003+07:002016-12-27T04:14:39.675+07:00Partingkian Bandar Hanopan (4)<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<br />
In ma turi-turian ni sintua na lumpat hu Pane.<br />
“Urangkaya Madayung!” nini Raja Pane, “roh hujon Harajaan sini Silou,
atap aha do gan parayakon ni hu Pane on”, nini Raja Pane, “sahalaksi
huidah sadalanan.”<br />
“Sonaha ma tongon Harajaan sini Silou, aha do baenonmuyu na roh hu Pane on?” nini Urangkaya Madayung.<br />
“Ahu, ase roh ahu hu Pane on, domma ipahoruskon Raja Silou Bolak Raja Rubub”, nini Harajaan sini Silou.<br />
“Ianggo sonin ma tongon, balou ma sahalak ham sadalanan”, nini Raja
Pane. “Ulang ham sahalak-sahalak sadalanan, on ma hasomanmuyu, nini Raja
Panei; diborehon ma si Juhar, ia ma na lobeni Partanjabatu; ia
Partumbak Dolog na marmorgahon Girsang.<br />
Ase laho ma use Harajaan Silou hu Siantar. Ase diparhatahon Harajaan
Silou ma gan Urangkaya. Manise ma Raja Siantar: “Urangkaya, ise do in?”
nini Raja Siantar. “Harajaan Silou!” nini Urangkaya. “Sonaha in ase sada
ham sadalanan?” nini Raja Siantar. “Ia huidah sapari, songon panagalan
longa do huidah jolma mangirikhon ham Raja Silou; in gonup do arta raja
mangiringkon ham”, nini Raja Siantar.<br />
“Mulahsi sahalak au sadalanan, domma ipahoruskon Raja Silou Bolak
Raja Rubun, inang pe domma iboba Raja Asih, botouhu sada, anggingku
sada, in ma mulahsi sahalak au sadalanan”, nini Harajaan Silou.<br />
“Ia sonin ma tongon balou ma sahalak ham sadalanan”, nini Raja
Siantar. “Sonin pe ulang mali tondimuyu, nini Raja Siantar, “on ma
hasomanmuyu sada.” Diborehon Raja Siantar ma si Birong na marmorgahon
Sipahutar, ia ma na lobeni si Rahalam na marmorgahon Sipahutar di Tanoh
Dolog.<br />
Ase laho ma use Harajaan Silou hu Tanoh Jawa: “Aha do nani bahenon ni Harajaan Silou hu Tanoh Jawa on?” nin Raja Tanoh Jawa.<br />
“Ahu, ase roh ahu hu Tanoh Jawa on, domma ipahoruskon Raja Silou Bolak Raja Rubun”, nini Harajaan sin Silou.<br />
“Ia sonin ma tongon balou ma ham sahalak sadalanan; age sonin ulang
mali tondimuyu”, nini Raja Tanoh Jawa. “On ma bani hasomanmuyu”, nini.
Iborehon ma si Baresa namarmorgahon Tambunsari, in ma ase dong do gan
ompat sadalanan Harajaan Silou.<br />
Laho ma gan hu Dili marayak Puangta Dili. “Aha do nani parayakon ni Harajaan Silou hu Dili on?” nini Puangta Dili.<br />
Ase dilulu Pamogang ma gan Harajaan Silou: “Aha do parayakonmuyu sini
Silou hun Dili on?” nini Pamogang. “Ia parayakonhu hu Dili on: Domma
ipahoruskon Raja Silou Raja Rubun; domma iboba Raja Asih inang hu Asih,”
nini Harajaan Silou.<br />
Ase diborehon Puangta Dili ma gan hundulan ni Puangta Dili. Ase
diboba-boba Harajaan Silou ma ape ni Puangta Dili, hu bah pe diboba-boba
Harajaan Silou ma barang hu juma.<br />
“O Harajaan Silou! Mambahen judi ma ham use, Judi Tangtang Namur”,
nini Puangta Dili. Ase dibahen Harajaan Silou ma gan judi ondi, ia ma
gan Judi Tangtan Kahe. Adong ma ma gan tara dapot Harajaan Silou, ia
gam dipambolini hiou sinde; ia ma gan diparabit Harajaan Silou.<br />
Ai manise ma Puangta Dili: “Adong ma hape hioumu hiou sinde?” nini Puangta Dili dompak Harajaan Silou.<br />
“Dong ma Tuanku; dibahen domma isuruh ham au mambahen judi, dong
dapot au tara otikon, in ma ase dong pambolingku”, nini Harajaan Silou.<br />
“Boba ma apehon”, nini Puangta Dili. Ase diboba Harajaan Silou,
iambungkon ma bani ompa ape ondi hubagas paya, sidalian ni Harajaan
Silou ase ulang mamboba ape hundulan ni Puangta Dili.<br />
“Pasah-pasah ma ham Harajaan Silou”, nini Puangta Dili.<br />
“Tuanku, ulang ma ahu dibunuh ham, sedo in niutuskonku; porih ham age
hiouhon marapu ma bani hubang; ambit niutuskonku, lang be holong ateihu
sonin bayu ni hiouhin? Das lang be namin holong ateihu?” nini Harajaan
Silou.<br />
“Harajaan Silou e, onggo sonin ma hatamu, ulaki ma mambaen judi”.
“Siulaki ma tongon”, nini Harajaan Silou. Ase diulakkon Harajaan Silou
ma mambaen judi di Tanoh Dili.<br />
Ditangar Raja Silou Bolag adong do gan mambahen judi di Tanoh Dili,
ase disuruh Raja Silou Bolag ma Nagodang Malayu ompa Nagodang Simbolon,
marayak Raja Siantar.<br />
“Sonaha ma nani hata bobaonnami?” nini Nagodang Malayu ompa Nagodang
Simbolon. “Ia hata bobaon: “Ulang ma dua mata ni ari di Tanoh Silou on,
sonin ma hata bobaon.”<br />
Ase laho ma gan Nagodang Simbolon hu Siantar, ase diadap Nagodang
Simbolon ma gan Raja Siantar. “Aha do baritamuyu Nagodang Simbolon?”
nini Raja Siantar. “Adong hata ni Raja Silou Bolak: Ulang gan dua lian
sasangge, nini Raja Silou, i Tanoh Silou”.<br />
“Iak ma ningku Nagodang Simbolon, sadiha ma nani bala tagangonku?” nini Raja Siantar dompak Nagodang Simbolon.<br />
“Ia dong do gan namine boi dipaborhat ham, agendo pitu ratus.” “Onggo-onggo nansa in”, nini Raja Siantar.<br />
Ase dipaborhat Raja Siantar ma Raja Baringin laho hu Dili; das ma gan
di Dili Bala na pitu ratus ompa parsaholat ni Raja Siantar na
margorankon Parbaju Sigalunggung.<br />
Manise me Pamogang Dili: “Aha do nani ayakan ni sin Siantar in hu
Dili on?” nini Pamogang Dili. “Ia parayakonnami: Adong gan di Dili on
Harajaan Silou mambahen judi, Judi Tangtang Namur”, nini Gamot Siantar.
“Dong do tongon”, nini Pamogang Dili.<br />
Roh ma gan Raja Baringin hu parjudian Judi Tangtang Namur, ginolom ni
Harajaan Silou. “Marjudi au mangkela!” nini Raja Baringin dompak
Harajaan Silou.<br />
“Ulang hita marjudi lani”, nini Harajaan Silou. “Saamas ansogot,
saamas bodari tinjou ni ulubalangta, boi do hutarahon”, nini Harajaan
Silou. “Marjudi do ahu mangkela, sonin halak, sonin ahu.” Mintor
itangkap Raja Baringin ma porang, marjudi ma Raja Baringin, talu dua
puluh amas. Ase dilumpatkon Raja Baringin ma utangni ondi, laho ma ia hu
rumah.<br />
“Martondok ma lobe judi on alo amang, mangayaki ma ahu lobe”, nini
Harajaan Silou. Ase didilo Harajaan Silou ma si Birong ompa si Juhar
ompa si Baresa, ase odor ma gan sidea na ompat ondi. Das ma gan di
rumah: “Galari hita lani utangta ondi”, nini Harajaan Silou.<br />
“Sonin ma mangkela, eta ham ma hu toruh in”, nini Raja Baringin, “di
horbangan ai pe au manggalar”, nini Raja Baringin. Ase marbaju ma gan
Raja Baringin baju sarumpitpit; ase dipartomuhon Raja Baringin ma
Harajaan Silou.<br />
Ase ditangkap Harajaan Silou ma rinsung ni Raja Baringin. Ase manise
ma puanglima ni Raja Baringin parsaholat Parbaju Sigalunggung, ase kehe
ma bala na pitu ratus.<br />
“Paulak alo Raja Silou rinsung ni Raja Baringin in”, nini bala na
pitu ratus. “Nada au paulaksi ianggo lang digalar utangni bangku”, nini
Harajaan Silou. “Ianggo lang da ipaulak ho, ibunuh hanami ma ham”, nini
puanglima ni Raja Baringin.<br />
Ase roh ma gan Rayat Sibolonan Dili ompa Pamogang, mintor didahop
Rayat Sibolonan ma Harajaan Silou. “Ise do na mandahop au on, jolma
sonaha do in?” nini Harajaan Silou. “Jolma bonar do”, nini Rayat
Sibolonan Dili.<br />
Ase ditogu ma gan hu alaman bolag, tumpu ma gan gamot Dili hu alaman
bolag. Manise ma halak na mabue: “In ma Harajaan Silou ia?” nini halak
na mabue barang anakboru. “In ma”, nini Pamogang.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-78021449100360351112015-10-28T04:27:00.005+07:002016-12-27T04:14:22.877+07:00Partingkian Bandar Hanopan (3)<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<br />
Ase mulak ma use Raja Silou Dunia hu Silou Dunia. Ase tubuh ma gan
anakni dua anak dalahi, sada anak naboru, pinupus ni Puang Bolon Silou
Dunia, ase dong homani ma gan anak ni Raja Silou Dunia panogolan ni
Harajaan Parti Malayu, sadasi do sainang.<br />
Ase mangarah marmunsuh ma gan Raja Silou Bolak bani Raja Silou Dunia,
ase marhata ma gan gamot Silou Dunia bani Raja Rambe Nabolak, marhata
ma Raja Rambe Nabolak bani harajaan Jayu hu Sorbajadi.<br />
Ase borhat ma bala sahuling, manggual ma si Barotbot, manarune ma si
Metmet, borhat humani ma si Pisang Buil dihut humani ma Pametar Marabut.
Ase borhat ma Raja Silou Dunia laho mangalah Suha, martumpu ma gan raja
gonup barang Harajaan Jayu barang Harajaan Gunung-gunung, martomu ma
gan bani Sigurung-gurung.<br />
Manggorop ma hata ni bodil ompa arah-arahan. Borhat ma Raja Silou
Dunia, lang be sip hata ni bodil ompa gonrang arah-arahan das hu tanoh
Nagara rohsi das hubani Sigurung-gurung.<br />
Tumpu ma dibani Sigurung-gurung raja gonup ompa bala sahuling,
naporang ma Suha Bolak; mate ma si Pisang Buil, mate ma Raja Silou
Dunia, mate humani ma Sibayak Parbosi, mate humani ma Raja Hanopan, mate
ma siahpuluh puang lima ni na marporang ondi.<br />
Ditangar Raja Silou Bolak gan domma mate Raja Silou Dunia, ase
disuruh Raja Silou Bolak ma gan Nagodang Simbolon ampa Nagodang Malaya
marayak Urangkaya marompat hu Batu Bara. Mangarah ma Urangkaya marompat
hu Sibarou: “Horas hita ma gan Silou Dunia.” Naboba ma gan hu Silou
Bolak, ase natangkuhkon ma Tuan Poltak di Silou Dunia. Ase mambuat boru
ma gan hu Banua Holing na margorankon si Tabo, ia ma gan bani Puang Huta
Silou Dunia.<br />
Ase mamasuk huta ma gan anak ni Raja Silou Dunia panogolan ni Sibayak
Jambur Lige di tanoh Raja Rubun, na martapiankon Bah Kare,
namarsampalankon Rih Sigom, namartalunkon Sibaganding.<br />
Sonin ma nabasaia bona ni Raja Rubun.<br />
Ase adong ma gan ayam ni Raja Silou Bolak di atas Dolok Matondang;
ase ditangar Raja Asih ma gan baritani, Gajah Putih ayamni, Gajah Putih
di Dolok Matondang. Ase disuruh Raja Asih ma gan Pamogang Pamallaha
mangalop Gajah Putih hu Dolok Matondang, dotongoskan Raja Asih ma omas
satangan baju bani Raja Silou Bolak.<br />
“Ianggo lang dong roh hujon Raja Asih, nada dong tartogu Gajah Putih”, nini Raja Silou Bolak.<br />
Ase roh ma gan Raja Asih hu Huala Badage, ase dipaingkat Raja Asih ma Sabudagar Napitu mangalop Gajah Putih.<br />
Roh ma nini Raja Silou Bolak: “Nada dong na tartogu Gajah Putih;
ianggo sedo horsik nirutas bani tinali ni Gajah Putih, nadong ra
mardalan Gajah Putih”, nini Raja Silou Bolak.<br />
“Sonin do hapeni use hata ni Raja Silou Bolak, parpadunguini do hape”, nini Raja Asih.<br />
Ase lumpat ma Raja Silou Bolak hubani Nagor Laksa, ibaen dong ma
hubuan ni Raja Asih bani Simartontu. “Lang be dong Silou Bolak Raja
Silou”, nini puanglima ni Raja Asih namargoran Sipitujongkal Tonton.<br />
“Ia sonin ma, naroboh ma Nagor Laksa ia”, nini Raja Asih. Ase diroboh
bala sahuling ma Nagor Laksa, domma gan naabah lang gan nabotoh
rumbakni. Ase diatas Nagor Laksa ma gan Raja Silou Bolak ase naroboh
Nagor Laksa.<br />
Marsurae rumbakni ma gan bala sahuling: “Ia sonin porang ma hita
lah”, nini Puanglima Sipitujongkal Tonton. Ase diporang ma gan Nagur
Laksa; manombah ma Raja Silou, dibeorehon ma gan Raja Rubun bani tobus
hosani. Ase dihorus Raja Asih ma Raja Rubun.<br />
Dibobahon Raja Asih ma Puang Bolon Silou Dunia, sada anakni, sada
boruni, dua lumpat hu darat ase lang diboba Raja Asih; in ma ase adong
do Harajaon Silou di Asih, ia ma gan na marhuta di Tarumum, binoruhon ni
Raja Asih dibaen marsondik do Harajaon Silou mulahsi napambaenkon huta.<br />
Ia na lumpat ondi, sada hu Siparibuan, ia ma sianggian, ia ma nalobe ni Tuan Bangun namangultop-ultop hu tani Siparibuan.<br />
Ase roh ma gan Harajaan Silou hubani parpandean ni Pangulu
Siparibuan: “Aha do nani ayakan ni Harajaan Silou hujon”, nini Pangulu
Siparibuan. “Au, nialah ni Raja Asih do au ase roh hujon, domma ibobah
Raja Asih inang”, nini Harajaan Silou.<br />
“Ia sonin do laho ma ham lobei marlanja pining hu Tanoh Bangun”, nini Pangulu Siparibuan.<br />
“Marlanja pe madear, nadong do hasomanku?”, nini Harajaan Silou. “Adong do hasomanuyu”, nini Pangulu Siparibuan.<br />
Ase laho ma Harajaan Silou marlanja pining hu Tanoh Bangun lanjar
mangkahapi Bangun Buntu; ase borhat ma gan sampuluh dua humbani
Siparibuan hu huta Bangun Buntu.<br />
“Buhai alo amang namarari”, nini halak parlanja ondi. “Ise do in?”,
nini parari. “Ahu par Siparibuan”, nini parlanja ondi. Ase dibuhai ma
gan horbangan, bongkot ma gan parlanja ondi hu huta Bangun Buntu, landas
ma gan diomou, mate ma gan dua parsaholat Bangun Buntu na margorankon
si Guram-guram ompa Parbaju-baju Bosi; lumpat ma gan si Manjomput hu
Parapat Buntu, ia ma gan Parsaholat Sirampogos.<br />
Sibar sonin ma hansa dibotoh hanami sin Dolog turi-turianni Raja
Anggi-anggi, ia ma na lobeini Tuan Bangun, ale amang na mamasai e.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-50753896346693071032015-10-28T04:27:00.001+07:002016-12-27T04:14:07.497+07:00Partingkian Bandar Hanopan (2)<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<br />
Ase dimangmangkon ma gan mangmangni, mangmang mangindo tuah, mangindo
tunggung, mangindo mulia, mulia ni raja, ia pangindoanni ia ma gan Ular
Sinde, pangindoan tintin pinta-pinta. “Tintin pinta-pinta! Pintahon
bangku rayat ompa Nagodang adat ni raja. Tintin pinta-pinta, pintahon
bangku puang anak boru!”<br />
Ase roh ma gan hu Silou Bolak boru ni Raja Nagur na margorankon Puang
Runtingan Omas, ia ma gan na puang bolonkon di Silou Bolak. Ase tubuh
ma gan anak ni puang bolon dua anak dalahi, sintua ma na marhuta di
Silou Bolak, raja sianggian ma na marhuta di Silou Dunia, naik raja na
margorankon Timbangan Raja. Ia ma ga na mambuat boru, boru ni Si Bayak
Pintu Banua namargorankon Si Bunga Sole, ia ma gan puang bolon Silou
Dunia, na martuah mardohar na liot soding na basaia parrayat na
sahuling, ia ma gan na maranakboruhon si Pisang Buil, namarnagodangkon
Pametar Marabut, namarpanggualhon si Barotbot, namarpanarunehon si
Metmet nabasaia, ia ma gan niiringkon ni tumbak, bodil, parise, na so
ongga mandogei tanoh, niiringkon ni arah-arahan barang hu bah, hu juma
barang lahi hu runggu.<br />
Ase ditangar Sibayak Pintu Banua ma gan barita ni anak boru Raja
Silou Dunia parrayat na sahuling. Ase laho ma gan suruhan ni Raja Silou
Dunia, Nahoda Maharaja ompa si Pisang Buil ompa Pamogang hu Asih; das ma
gan di Asih.<br />
“Aha do baritamuyu gamot Silou Dunia na roh hun Asih on?” nini si
Motung. “Ia baritanami”, nini si Pisang Buil, “ditangar Sibayak Pintu
Banua gan bayak anak boru ni Raja Silou Dunia, sonai ma ahu namine, nini
Sibayak Pintu Banua; in ma hataonkonnami”, nini si Pisang Buil.
“Banggal huidah hatani Sibayak Pintu Banua, lang da boi au, nini Raja
Silou Dunia; in ma ase husuhutkon bani Raja Asih”, nini gamot Silou
Dunia.<br />
Ase disuruh Raja Asih ma si Bayur ompa si Motung hu Dili. “Aha do
baritamu na roh hun Asih in”, nini Raja Dili dompak si Motung.
“Narajahon ma gan Sibayak Pintu Banua, hita do gan marhata bani Hajuruan
Sinombah, Hajuruan Sinombah marhata bani Sibayak Parbosi, Sibayak
Parbosi marhata bani Raja Hanopan, Raja Hanopan marhata bani Sibayak
Juhar, gonup ma hita ditumbuk pudun siompat bulan; martumpu ma gan hita i
huta Dili.”<br />
Suhun ma ompat bulan, tumpu ma gan i Tanoh Dili ompa Raja Asih, ompa
Raja Silou Dunia. Ase digana Raja Asih ma batu anisan bani ni si Pisang
Buil hubani Sibayak Pintu Banua. Pulung ma gan anak ni raja di Pintu
Banua; ase iaturhon si Pisang Buil ma gan Barus Singiring marhayu, gonup
ma gan parhayu ondi, ia ma gan najadihon jadi jambur.<br />
Kehe ma Raja Asih ompa Raja Dili ompa Raja Silou Dunia niiringkon ni
arah-arahan na so ongga mandoge tanoh, humbani Pintu Banua laho hu Baru
Jahe. Das ma di Baru Jahe, hundul ma Raja Asih di ombal-ombal ni Baru
Jahe rup ompa Raja Dili, ase hundul humani ma Raja Silou Dunia di
ombal-ombal Baru Jahe, niiringkon ni arah-arahan, menet humani ma hatani
sarune ni si Metmet, manggual homani ma si Barotbot di ombal-ombal Baru
Jahe, naatur humani ma gan laho hu huta, ase das ma gan ganupan anak
raja.<br />
“Aha do nani tandangan Raja Asih hu Baru Jahe on?”<br />
“Ase ahu roh hujon, laho manrajahon Sibayak Pintu Banua. Sibayak Baru Jahe ma namin Sibayak Pintu Banua on.”<br />
“Anggo sonin do, nadong malo,” nini Pangulu Bolon.<br />
“Ia lang do malo sonin, Sibayak Jambur Lige ma ageni harajaon ni tondongkin”, nini Raja Silou Dunia.<br />
“Ia sonin do madear ma in, laho ma hita hu rumah”, nini Pangulu Bolon.<br />
Ase naaturhon ma use na mannahkon baru Jambur Lige. Ase dinahkon si
Pisang Buil ma gan batu Jambur Lige hu atas bungkulanni, Jambur Lige ma
goranni. Ase marolop-olop ma halak simbue ompakkon ni anak raja.
Manaburhon boras ma gan Puang Bolon Silou Dunia, boru ni Sibayak Pintu
Banua na margorankon si Bunga Sole.<br />
Sonin ma turi-turianni raja na duan sundut raja, pambotoh nami harajaon sin Dolog ale amang na sihol mamorih turi-turian. ***Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-8250331556972136312015-10-28T04:26:00.001+07:002016-12-27T04:13:48.392+07:00Partingkian Bandar Hanopan (1) <b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<i><br /></i>
<i>Text reconstructed from oral tradition:</i> <br />
<br />
Marbarung-barung ma nabasaia Pangultop-ultop di lambung ni tualang di
biding ni Bah Potani. Sanggah mangultop ia, ibogei ma sorani pangian ni
bah ai mardilo-dilo: “Honong ma abang,” nini. “Mabiar ahu,” nini, ai
lang pande marlanguy ia janah ma bagas unong ai. “Anggo ahu do manuruh
marhonong, aha do habiar?” nini. Marhonong ma tongon Pangultop-ultop.<br />
Jumpah ma ular ompa mariam, ai ma botouni puang anak boru Puang
Putori Ijou. “Sonaha do iorbat ho padang lalis in?” Ioarbat ma padang
lalis, jumpah ma Puang Putori Ijou, na madear sahalian.<br />
Lang tardohori si puang anak boru ai; dob ai mintor iboban ma gan hu
jambur huda. Disuhutkon ma bani Puangta Hajuruan Sinombah: “Adong tuanku
puang anak boru Puang Putori Ijou, lang tarsangap ahu”, nini
Pangultop-ultop.<br />
Ase disuruh tandil ma orang kaya ampa pamogang, mangihut ma bodil,
tumbak, podang, (parise?), gonrang, sarune, ogung, panganak, diporih ma
gan hu jambur huda, diboba ma gan hu huta. Lang humani tarsangap Puangta
Hajuruan Sinombah.<br />
Ditaruhkon ma hu Dili Tua. Das di Dili Tua boi ma gan disangap. Ase
diompoi Raja Dili ma puang anak boru Puang Putori Ijou. Mangihut ma ular
ampa mariam. Nabere nitak ma gan ular ondi. Ase na tolkas ma gan mariam
ondi, ponggol ma gan mariam ondi, ayap ma gan ujungni, madabuh hu
Suhanalu, in ma gan jadi sumbah-sumbahon ni Sibayak Suhanalu.<br />
Ase marsuhutan ma gan Nahoda Maharaja bani Raja Asih. “Adong, alo
Motung, alo Bayur, suhutan ni Nahoda Maharaja; adong gan di Dili Tua
puang anak boru Puang Putori Ijou. Laho ho Bayur ampa ho Motung.”<br />
“Aha do baritamu na roh hun Asih in?” “Adong do gan di Dili Tua on
Puang Putori Ijou, nada gan na tarsangap Raja Dili Puang Putori Ijou,
naboba do gan hu Asih, nini Raja Asih.”<br />
“Aha do baritamu na roh hun Dili in, alo Motung?” “Nada gan malo
naboba hu Asih puang anak boru Puang Putori Ijou nini Raja Dili.”<br />
Ase laho ma gan Raja Asih marsuhutan bani Puang Nantiamahalela ompa
bani Sabudagar Napitu. Marsuhutan ma Puang Nantiamahalela ompa Sabudagar
Napitu bani Raja Rum.<br />
“Aha do baritamu na roh hun Asih in alo Sabudagar Napitu?” “Lang be
gan na tarpature Raja Asih tanoh Aji.” “Aha do gan turi-turian ni tanoh
Aji ase lang tarpature Raja Asih tanoh Aji ai?” Ia turi-turianni,
halani puang anak boru Puang Putori Ijou.” “Aha do gan habiarmuyu bani
par Dili ia?” “Ia habiar nami, mahapal hota tanoh, boi ma puanglima ni
Raja Asih saratus dua puluh.”<br />
Ase dipaborhat Raja Rum ma gan puanglimani Sipitujongkal Tonton,
dipaborhat ma omas nansa ulu ni horbou. “In ma nabaen pinuru; ulang bani
jolma na bodilhon, bani hora na mahapal ia malah nabodilhon”, nini Raja
Rum.<br />
Ase ibodili ma hota na mahapal ondi, ditadingkon ma humbani hota
ondi, mulak ma hu Asih. Ase dihurak dakdanak ma panganan ni timah ondi
mamorih timah. Dapot dakdanak ondi ma timah ondi, omas hapeni. Marurup
ma ganup singkuta ondi, boi ma hota ondi.<br />
Ase laho ma si Bayur markahap ompa si Motung na mangkahapi Dili Tua,
ididah na markahap boi ma hota tanoh. Ase borhat ma bala ni Raja Asih
sahuling, borhat homani ma bala ni Raja Rum sahuling laho mangalah Dili
Tua. Mate ma puanglima ni Raja Dili saratus dua puluh dibunuh puanglima
ni Raja Asih.<br />
Ase dapot ma puanglima ni Raja Dili didorap puanglima ni Raja Rum,
Sipitujongkal Tonton, ase dibontirhon Sipitujongkal Tonton ma Raja Dili
hubagas Paya Bondahara, mate ma Raja Dili.<br />
Ase iparayak Raja Asih ma Puang Putori Ijou hu rumah. “Raja Asih o-u,
naihot ma ahu lah”, nini Puang Putori Ijou. “Nada ham malo gan naihot
Puang Putori Ijou o-u, bani puang bolon do ham hu Asih”, nini Raja Asih.
“Ia sonin do nimu Raja Asih o-u, ulang ahu mantahan hatamuyu; darami
ham ma lobei botouhu Pangultop-ultop”, nini Puang Putori Ijou.<br />
Ase laho ma gan Nahoda Maharaja mandarami Pangultop-ultop disuruh
Raja Asih, jumpah Nahoda Maharaja ma Pangultop-ultop i tanoh Nagur,
diboba Nahoda Maharaja ma hu Asih Pangultop-ultop.<br />
Das ma i Asih Pangultop-ultop dipatuduhkon Raja Asih ma bani Puang
Putori Ijou. “In ma botouhia”, nini Puang Putori Ijou. “Ia in ma botoumu
nimu Putori Ijou, ase ra ma ham na puang-bolonkon i Asih on?” “Ra do
anggo dong do paidah bisara-bisara ni anak raja bani botouhu
Pangultop-ultop”, nini Puang Putori Ijou. Ase diborehon Raja Asih ma
jolma sapuludua antup ni arta Raja bani Pangultop-ultop.<br />
“Pangultop-ultop! O-u! Sonaha do hinan turi-turianni ase jumpah ham Puang Putori Ijou?”<br />
“Marbarung-barung ma nabasaia au di lambungni tualang di biding ni
Bah Potani, torang ari patarni poltak ma mata ni ari.” Ai ididah ham
mata ni ari, sonaha panonggormuyu alo Pangultop-ultop?” nini Raja Asih.
“Masilou ma huidah”, nini Pangultop-ultop. “Ia masilou ma ididah ham,
Raja Silou ma ham na marihutkon panonggormuyu”, nini Raja Asih.<br />
“Domma narajahon jadi Raja Silou Pangultop-ultop”, nini Raja Asih
dompak Puang Putori Ijou. “Ia domma dirajahon ham, nabere ma Ular Sinde,
sabante nitak, sabante rondang Ular Sinde ondi”. “Sonin ma in”, nini
Puang Putori Ijou, “in ma ihut-ihut ham Raja Silou, ia dijin marsogot
soh botouhin, dijin ma ham mamasuk huta.”<br />
Soh ma gan ular ondi, dibahen ma gan rumahni dihasohan ni ular ondi,
ia ma gan na margorankon Silou Bolak nabasaia, in do gan hutani Raja
Marompat sintua. In ma bona-bona ni Raja Silou na marmorgahon Tombak
Tualang, na marhomitan ultop.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-64011817676654743462015-10-28T04:24:00.005+07:002016-12-27T04:13:30.936+07:00Pengantar Dari P. Voorhoeve Untuk PBH<b>Oleh: Limantina Siholoho</b><br />
<b><br /></b>
<b>PREFACE</b><br />
<br />
The Bandar Hanopan Chronicle is a collection of a legendary,
historical and genealogical notes and stories from Dolog Silou, one of
the seven local kingdoms in the Batak country Simalungun, east of Lake
Toba. It is written in the Simalungun Batak language on a scroll of
English paper made from 90 foolscap sheets. Some of these have a
watermark A Lumsden, 1845. It was written in the district of Bandar
Hanopan in lower Dolog Silou. The scroll was kept in the bamboo
container which was kept as a precious heirloom in the adat house (<i>rumah bolon</i>)
of the chief of the district, Tuan Bandar Hanopan, who was the
descendant of the royal family. It was first mentioned in literature by
G.L. Tichelman (Deli Courant 3.7.1936). Unlike many other royal
possessions in Simalungun, it survived the social revolution of 1946.<br />
<br />
In 1945 I was in Simalungun, searching for my pre-war notes in
Simalungun language and literature. I found that most of these had been
destroyed during Japanese occupation. Then I was lucky to get the scroll
of loan from the owners for several months. The paper was badly damaged
as it has been repeatedly crammed into the narrow bamboo. This has
caused some loss of text, but after carefully arranging and joining the
fragments I felt sure that I had found the correct order. With the help
of my secretary Djaporman Saragih a complere transliteration of the text
was made. In order to make it accessible to Simalungun readers we
somewhat adapted the orthography to the rules given by Japorman’s father
Pandita J. Wismar Saragih in an appendix to his Simalungun Batak
vocabulary (Partingkian ni hata Simalungun, 1938, p.271-280) but at that
time it was not possible to publish the text.<br />
<br />
In 1985-86 Djaporman’s typewritten text was copied on a
word-processor by K.A. Adelaar on a grant from the Royal Institute
(KITLV) in Leiden. The orthography was adapted to the Indonesian <i>Ejaan Yang Disempurnakan</i>.
Some parts of the material which I has collected for a scholarly
edition were also adapted to the new orthography. I made a draft of a
complete Dutch translation, but the historical perspective which I felt
be necessary in a scholarly edition is still missing. So at last I
decided to make a number of copies of Adelaar’s text for further study
by future students of Simalungun language and history.<br />
The text is followed by a short selection of textcritical notes, an
English summary of contents and a list of documents (mostly in Batak and
Dutch) in my collection of paper in Leiden University Library, which
may be used in a further study of this unique Batak historical document.<br />
<br />
My thankful thoughts go to all those, deceased and living, who have helped me in this project.<br />
<br />
Barchem. October 1993 P. VoorhoeveAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-87353430295938410562014-03-23T04:01:00.001+07:002017-01-04T03:49:01.109+07:00Legenda Lahirnya Marga Purba Karo<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Purba
merupakan salah satu marga dalam suku Karo yang berinduk pada marga
Karokaro, marga ini membedakan diri dengan marga Purba yang ada di
Simalungun maupun di Toba, meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari
Simalungun, namun di antara keturunannya sudah banyak yang tidak
mengetahui hal itu dan inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa punya
hubungan dengan Purba Simalungun apalagi dengan Purba Toba. Marga
inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung Kaban Jahe dan
Berastagi serta kampung-kampung lain di sekitarnya. Di antara
keturunan Purba Karo yang terkenal adalah Bakal Purba yang bergelar Sibayak Pa
Mbelgah dan seorang lagi yaitu Sibayak Pa Pelita, keduanya berasal dari keturunan Purba kesain Rumah Kaban
Jahe, selain mereka ada Narsar Purba seorang ahli catur pada zaman
kolonial dan Batiren Purba yang merupakan kepala sekolah pertama orang
Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe pada tahun 1933. Perlu
diketahui bahwa Sibayak Pa Pelita dahulu masih sering berkunjung ke
Pamatang Purba, karena ia masih mengingat tanah leluhurnya di
Simalungun. Akibat sering berkunjung ke Simalungun, ternyata menjadi
jalan baginya bertemu dengan pendamping hidupnya yaitu salah seorang
puteri Simalungun boru Purba Pakpak, yang sebenarnya adalah saudari semarganya
sendiri.<br />
.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpinJMszvyb9qZ88GIlqfwOD2j1rXG07yf4bxNxG18ATqLZmHDT0aTGFm_sHqLgXr0yRs4z0hAx0DMERi1jzawKBTAsu4WSa-_zgQy1yDXSkJK3cSjOmf4FTMJnQKOjI25BZ_7EHpamng/s1600/pa-mbelgah2-56c7a677d69373ea0d0b814c.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpinJMszvyb9qZ88GIlqfwOD2j1rXG07yf4bxNxG18ATqLZmHDT0aTGFm_sHqLgXr0yRs4z0hAx0DMERi1jzawKBTAsu4WSa-_zgQy1yDXSkJK3cSjOmf4FTMJnQKOjI25BZ_7EHpamng/s320/pa-mbelgah2-56c7a677d69373ea0d0b814c.jpg" width="250" /></a></div>
<i> Gambar 1: Pa Mbelgah Purba sekitar tahun 1910-1918</i></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Di daerah Berastagi tanah Karo sekarang terdapat sebuah kampung bernama Buluh Duri, di tempat ini terdapat tujuh mata air bening yang tidak jauh dari Lau
Gendek dan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Menurut cerita yang berkembang, di lokasi ini pada
zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah
pada zaman dahulu, di Simalungun terdapat sebuah kerajaan bernama
Purba dengan rajanya bernama Tuan Baringin marga Purba Pakpak. Semenjak
putera bungsunya lahir, raja ini sering menderita sakit, sudah banyak dukun
yang mencoba mengobatinya namun penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal
dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk
mengobatinya. Dengan menggunakan kesaktian mereka, para Guru Pakpak ini
kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa
putera bungsu raja adalah sumber penyakit dan malapetaka yang terjadi
selama ini, dalam istilah Simalungun disebut <i>Anak Panunda</i>. Untuk
menghindari malapetaka yang berkepanjangan, sang raja lalu memerintahkan
agar putera bungsunya itu segera dibunuh.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br />
Namun,
para Guru Pakpak tersebut berpura-pura memenuhi perintah raja, mereka
lalu pergi menyelamatkan dan membawanya dalam sebuah keranjang ke tengah hutan belantara. Mereka kemudian mendirikan sebuah gubuk kecil dan meletakkan keranjang
tersebut di dalamnya, pada keranjang itu terdapat bambu kecil yang bertuliskan "Anak ini
adalah anak Raja Purba dari Simalungun". Setelah itu, para Guru Pakpak meninggalkan putera raja itu sendirian. Tetapi
sebelum mereka pergi, para Guru Pakpak ini lebih dahulu meletakkan
panah, pedang, dan pisau di gubuk tersebut sebagai bekal bagi putera
raja tersebut setelah beranjak remaja sebagai alat perlindungan. Mereka
juga menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di
sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu terpancarlah tujuh mata air bening.
Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula
rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk sehingga tempat ini dinamakan Buluh Duri.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkWI-hmE-3kcL4PY7_bqYWQRc-vzaNueg_HzjqmXamFfuBvRjhYkolvSllc5l7mGPe53WPiYIagYwdwbNtgsXwaCSxzyuCgEQcr-eEznLd4KHOAk7HyL18CQoUVuCqSJdIj4vIZItSwUk/s1600/pa-mbelgah5-56c7aa99d69373c00e0b812d.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkWI-hmE-3kcL4PY7_bqYWQRc-vzaNueg_HzjqmXamFfuBvRjhYkolvSllc5l7mGPe53WPiYIagYwdwbNtgsXwaCSxzyuCgEQcr-eEznLd4KHOAk7HyL18CQoUVuCqSJdIj4vIZItSwUk/s320/pa-mbelgah5-56c7aa99d69373c00e0b812d.jpg" width="212" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<i>Gambar 2: Bakal Purba yang bergelar Pa Mbelgah, salah seorang Sibayak Kabanjahe</i></div>
</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Tanpa mereka sadari, hutan
belantara tersebut ternyata masuk area perladangan milik marga Karokaro
Kaban, saat ini bernama Raja Berneh dekat Raya Berastagi. Melihat seorang bayi di ladangnya, marga Kaban ini sangat terkejut,
ia pun merasa anak ini adalah anugerah Tuhan baginya yang barangkali
kelak bisa mendatangkan rezeki. Anak itu lalu diangkat menjadi anaknya
kebetulan dia tidak memiliki anak laki-laki. Setelah beberapa tahun putera
Raja Purba berada di tempat pengasingan, ia pun tumbuh menjadi seorang
pemuda yang tampan dan gagah berani. Pada suatu hari, dia pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah sumpit, dalam
perburuan itu ia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik
berwarna-warni. Ia lalu mengejar burung itu, namun burung itu selalu mampu mengelak ketika ia ingin menangkapnya. Burung itu akhirnya menghantarkannya bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan
rambutnya yang terurai panjang. Pemuda itu sangat terkejut melihat seorang gadis cantik berada sendirian di tengah hutan, namun di balik itu dalam hatinya terselip perasaan gembira karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan sesama manusia. Dengan hati berdebar-debar, ia lalu menghampiri gadis itu sembari menyapanya.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Sambil
tersenyum gadis itu menjawab sapaannya dengan sebuah pertanyaan, ia ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi pemuda itu bisa sampai ke tempatnya. Dengan penuh kelembutan, pemuda itu pun menjelaskan maksud
kedatangannya karena mengejar seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal
mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab derngan baik oleh si pemuda.
Dengan demikian sang gadis akhirnya mengetahui bahwa pemuda tersebut berasal dari Simalungun dan putera seorang raja bermarga Purba. Setelah cukup lama berduaan, gadis itu lantas mengajaknya menuju ke kediamannya. Tempat tinggal gadis itu berada dalam sebuah gua besar yang letaknya tidak jauh dari mata air tempat
gadis itu ditemukan. Saat berada di pintu gua, pemuda itu sangat terkejut dan hendak melarikan diri karena terdapat seekor ular besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahannya agar tidak pergi meninggalkan gua dan ia kembali terkejut ketika menyaksikan burung yang beberapa waktu lalu dikejarnya sedang bertengger di dekat ular itu.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: center;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpLRoqRuLs3TT5_8yvnFYq-nflTC1Dxh4aHO1ZO58Ey_JdJRKEhrgPkAPBMNXUjgSCoSs9LB4sFPvxaJoMTgvVoyVn9Qg1uN554sLXq3Gy0afvJMttXsR84Jexa69MnFVnu23GG_usbHQ/s1600/10000882-56c7a7126523bd7c0ea72991.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpLRoqRuLs3TT5_8yvnFYq-nflTC1Dxh4aHO1ZO58Ey_JdJRKEhrgPkAPBMNXUjgSCoSs9LB4sFPvxaJoMTgvVoyVn9Qg1uN554sLXq3Gy0afvJMttXsR84Jexa69MnFVnu23GG_usbHQ/s320/10000882-56c7a7126523bd7c0ea72991.jpg" width="320" /></a></div>
<i>Gambar 3: Keluarga besar Pa Mbelgah Purba pada 21 Februari 1918</i></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Keheranan pemuda itu kian bertambah ketika mendengar ular itu berkata mempersilakannya masuk, akhirnya ia memberanikan diri memasuki gua tempat kediaman mereka. Gadis itu pun menghidangkan aneka buah-buahan untuk santapan sang pemuda. Karena ular dan burung itu terus
memperhatikannya, maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu gadis itu lalu memberitahukan kepadanya bahwa ular besar itu adalah ibunya
dan burung yang bulunya berwarna-warni adalah ayahnya. Selanjutnya,
dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu
memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar terus mengejarnya
sehingga keduanya dapat bertemu.<br />
<br />
Mendengar
penjelasannya, pemuda itu bertanya mengenai tujuan ayahnya berbuat demikian. Gadis itu menjawab bahwa kedua orang tuanya ingin agar puterinya bisa menikah dengan pemuda itu. Lantas gadis itu pun bertanya pada sang pemuda, apakah ia bersedia
memenuhi keinginan kedua orangtuanya. Si pemuda memenuhi keinginannya, tidak lama kemudian keduanya pun menikah. Setelah
itu, sang mertua lalu menyuruh mereka agar pergi mencari tempat menetap
di perkampungan manusia. Pemuda tersebut lalu mengajak
puteri ular itu menemui ayah angkatnya marga Kaban, ayahnya sangat
gembira melihatnya telah memiliki pendamping, ia lalu memberikannya
sebidang tanah kepada mereka sebagai tempat tinggal. Posisi tanah yang menjadi kediaman mereka berada di sebelah hilir
kampung marga Kaban, oleh sebab itu dinamakan Kaban Jahe. Ia pun mendirikan sebuah gubuk <i>(Karo: barungbarung)</i> dan tinggal bersama
isterinya, puteri ular itu. Hingga kini keturunannya dipantangkan mengganggu atau membunuh ular, karena didasari keyakinan mereka tentang puteri ular tersebut.<br />
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiptxheBnX1c3-SEbF9Ye_dHrzF-2RsgEtXUt5ezHxD7W8IaLxND2JsnkKHGuFNLfCjNrbqNgDRq3FGB06mpsZDMZ7xwHaYG-cdttNVMdoXl4U59PvtwXRwuLN9wuNzDm0jv3yxtqqXISE/s1600/collectie-tropenmuseum-twee-mannen-spelen-schaak-onder-de-belangstelling-van-toehoorders-in-de-karolanden-noord-sumatra-tmnr-10005390-56c7a99028b0bdab24822b07.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="245" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiptxheBnX1c3-SEbF9Ye_dHrzF-2RsgEtXUt5ezHxD7W8IaLxND2JsnkKHGuFNLfCjNrbqNgDRq3FGB06mpsZDMZ7xwHaYG-cdttNVMdoXl4U59PvtwXRwuLN9wuNzDm0jv3yxtqqXISE/s320/collectie-tropenmuseum-twee-mannen-spelen-schaak-onder-de-belangstelling-van-toehoorders-in-de-karolanden-noord-sumatra-tmnr-10005390-56c7a99028b0bdab24822b07.jpg" width="320" /></a></div>
<i>Gambar 4: Narsar Purba, seorang ahli catur Karo pada masa kolonial,</i></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: center;">
<i> foto ini antara tahun 1914-1919</i></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
Keturunannya kemudian mendirikan
perkampungan lainnya di sekitar kampung utama (Kaban Jahe) seperti Katepul, Samura, Ketaren,
Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan
Ujung Aji. Selain itu, Lau Cih dan Pancur Batu juga termasuk kampung
yang mereka dirikan. Demikianlah asal usul Karokaro Purba di
tanah Karo di Urung
Sepuluh Dua Kuta.<br />
<br />
Shalman Purba salah seorang keturunan Purba Rumah Kaban Jahe kepada
penulis mengatakan setelah pihak kerajaan menitahkan untuk membunuh
putera Raja Purba tersebut karena menyandang status <i>Anak Panunda</i> yang
kemudian berhasil diselamatkan oleh Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Putera Raja
Purba itu kemudian diangkat menjadi murid selama 7 tahun, setelah itu
barulah ia melakukan perjalanan sendiri menuju tanah Karo dan tiba di
Deleng Singkut. Di sana ia bertemu dengan satu keluarga umang yang
memiliki seorang puteri yang cantik dan kemudian menjadi isterinya,
keduanya lalu membuka perkampungan yang dinamakan Kaban Jahe.<br />
<br />
Menurutnya kisah tentang burung dan ular itu hanyalah cerita rekaan yang sengaja dibuat lalu disampaikan kepada semua orang yang ditemuinya termasuk kepada
keturunannya, tujuannya adalah untuk menutupi identitas sebenarnya
bahwa ia adalah keturunan langsung dari Raja Purba. Perjalanannya
mengejar seekor burung yang akhirnya mempertemukannya dengan seorang
gadis hanyalah sebuah simbol dari leluhurnya Pangultopultop yang datang
dari tanah Pakpak hingga menjadi raja di tanah Purba di Simalungun. Sementara ular
disimbolkan sebagai proses kelahiran kembali bahwa ia telah mati sebagai
Purba Pakpak di Simalungun dan terlahir kembali sebagai Purba Karo di
tanah Karo dan menyandang marga Karokaro mengikuti marga setempat yaitu
Karokaro Kaban.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
<b>Daftar Pustaka:</b></div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
1. Sitepu, Tabir,
Drs. 1993. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan<br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span data-offset-key="bvcf2-0-0"><span data-text="true">2. Putro, Brahma. </span></span></span></span></span></span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1981. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yasasan Massa.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span data-offset-key="bvcf2-0-0"><span data-text="true">3. </span></span></span></span></span></span></span>Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara.</div>
<div data-mce-style="text-align: justify;" style="text-align: justify;">
4. Lubis, Pangaduan, Z. 1996. Cerita Rakyat Dari Sumatera Utara 2. Jakarta: Grasindo.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com3North Sumatra, Indonesia3.5243866601479645 98.679199218752.5098111601479642 97.38830571875 4.5389621601479648 99.97009271875tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-41491368760731332562014-03-18T00:38:00.000+07:002017-02-01T05:58:54.770+07:00Sejarah Lahirnya Marga Purba Simalungun<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Pendahuluan</b></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam khasanah kebudayaan Simalungun, terminologi "Purba" memiliki beragam makna di antaranya bermakna timur, salah satu bagian delapan arah mata angin <i>(deisa na waluh)</i>. Kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa Jawa yang berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Selain itu Purba juga bermakna pertanda, takdir, gelagat, atau ramalan <i>(tondung),</i> dalam tradisi Simalungun pada saat seorang wanita mengandung maupun menjelang masa persalinan <i>(maranggi)</i>, orangtuanya akan bermimpi tentang pertanda atau takdir <i>(purbani)</i> kehidupan bagi anak mereka kelak. Takdir kehidupan sang anak yang masih dalam kandungan <i>(parnaibataan)</i> ditentukan oleh mimpi orangtuanya. Bila orangtuanya bermimpi meraih bulan, maka anak mereka kelak akan menjadi pembawa terang, namun sebaliknya bila orangtuanya bermimpi mendaki gunung tetapi tidak sampai ke puncak, maka pertanda kehidupan anak mereka kelak akan menderita.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di Simalungun, ada sejumlah pendapat mengenai tanah asal marga Purba, dalam cerita rakyat Simalungun dikenal tokoh bernama Narasi yang diyakini sebagai leluhur awal marga Purba yang bermigrasi ke tanah Simalungun bersama dengan Narasag dan Naraga leluhur Saragih dan Sinaga atas anjuran dari empat orang putera Darayad Damanik leluhur awal marga Damanik. Peristiwa ini berlangsung sekitar abad 3 masehi, sewaktu maraknya pergolakan politik di India. Mereka datang dari bagian timur laut India sekitar daerah Chota Nagpur, pegunungan Assam, dan Nagaland; mereka berlayar melalui Selat Malaka hingga sampai ke Sumatera Timur. Adapun lokasi yang menjadi tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur adalah melalui Pagurawan di Batubara. Mereka lalu membentuk sebuah kediaman di sekitar aliran sungai Bah Hapal, dari sinilah keturunan mereka perlahan masuk ke pedalaman. Selain itu, ada juga yang berpendapat leluhur marga Purba berasal dari Siam dan hipotesa lain justru mengarahkan asal kedatangannya dari Manchuria. Batrlett (1952:633) dikutip dari Arlin Dietrich (2003:13) menerangkan bahwa nenek moyang orang Simalungun pada awalnya berdiam di pesisir pantai timur, akibat desakan dari etnis Melayu yang datang dari Semenanjung Malaya mendesak orang Simalungun menyingkir ke pedalaman hingga mencapai pantai Danau Toba. Sampai sekarang penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih banyak yang mengaku kalau nenek moyang mereka ada yang berasal dari suku Simalungun.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam cerita rakyat Simalungun, dikenal dua orang tokoh marga Purba yang termasyhur dalam sejarah yaitu Sangsi Purba dan Purba Aji <i>(Purba Parajiaji)</i>, keduanya menjadi tokoh petualang yang melegenda dalam banyak suku bahkan di kalangan suku Melayu dan Minangkabau, nama Sangsi Purba tercatat dalam tambo alam Melayu dan Minangkabau. Sedang Purba Aji dikenal juga pada masyarakat Pakpak dan namanya diabadikan sebagai nama tempat di tanah Karo, yang sekarang beralih menjadi Perbaji (masuk Kecamatan Tiga Nderket sekarang). Riwayat hidup mereka tidak banyak terekam dalam sejarah, namun keberadaan mereka tetap menjadi ingatan bagi para keturunanannya. Pada zaman dahulu diketahui ada tiga orang puteri Purba Simalungun yang menikah dengan orang Toba, hal ini diketahui dari cerita rakyat yang berkembang di kalangan orang Toba. Dalam buku <i>Pustaha Batak: Tarombo Dohot Turiturianni Bangso Batak</i> karangan W.M Hutagalung dikisahkan bahwa Malau Raja generasi ketiga dari tokoh legendaris Si Raja Batak waktu berkelana ke tanah Simalungun, ia sampai ke daerah kediaman marga Purba. Di tempat ini, dia menaruh hati dengan salah seorang puteri dari marga Purba Siboro lalu menikahinya dan melahirkan tiga orang putera bernama Gurning, Ambarita Raja, dan Lambe Rajam sedang pendapat lain mengatakan mereka lahir di daerah Limbong. Demikian juga Datu Pejel alias Tuan Sorba Dijae generasi keempat dari Si Raja Batak yang merupakan saudara dari Tuan Sorba Dibanua dan Tuan Sorba Dijulu. Datu Pejel menikah dengan puteri Purba Simalungun sewaktu pindah dari Pangururan ke Sibisa daerah Uluan, puteranya kemudian dimargakan menurut marga ibunya. Selain keduanya, putera Raja Silahisabungan yaitu Sondi Raja leluhur marga Rumasondi generasi keenam dari Si Raja Batak juga menikahi puteri dari marga Purba Siboro yang menetap di Sagala. Selanjutnya, Ypes memberitakan dalam notanya bahwa pada zaman dahulu di Cinendang tanah Pakpak pernah berdiri tiga kerajaan kecil bersaudara, salah satunya diperintah oleh marga Purba Tondang. Ibukotanya berada di Panisihan dekat Pakiraman. Demikian juga di Belagen tanah Pakpak, Ypes melaporkan bahwa ada seorang Raja Lela bernama Tiar dari marga Kaloko, panglimanya bernama Pusama bermarga Purba.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Perkembangan Marga Purba</b></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada awalnya marga Purba tidak mengenal cabang marga seperti yang berlaku saat ini, kemunculan sejumlah cabang marga Purba terjadi pasca adanya migrasi dari . Adapun cabang marga Purba Simalungun yaitu Tua, Tambak, Sigumondrong, Silangit, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Siboro, </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Girsang, Pakpak, Tambun Saribu, Tondang, Tanjung, Sihala, dan Manorsa. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Lahirnya Purba Tambak diawali dari Kerajaan Silou yang pada awalnya berdiri di Asahan di sekitar hulu sungai Silou di Bandar Pasir Mandogei (nama sungai Silou di Asahan berasal dari Kerajaan Silou). Kerajaan ini didirikan oleh Panglima Indrawarman seorang keturunan Minangkabau yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Jambi bersama rombongannya tentara Hindu Jawa dari Kerajaan Singosari (Mulyana, 2006: 18). Untuk mengingatkan asalnya dari Jambi, hingga saat ini di Simalungun masih ditemukan kampung bernama Bah Jambi, Pagar Jambi, dan Mariah Jambi. Dalam cerita rakyat Simalungun dikenal juga tokoh bergelar Panglima Bungkuk yang juga berasal dari Jambi, tokoh ini kemungkinan besar adalah sosok yang sama dengan Indrawarman (patung Panglima Bungkuk hingga kini masih bisa disaksikan di daerah Tanoh Jawa, Simalungun). Indrawarman menyingkir ke pedalaman Simalungun akibat enggan tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan memilih bergabung dengan penduduk setempat yaitu suku Simalungun dan bersama-sama mendirikan Kerajaan Silou yang tunduk pada Kerajaan Nagur. Pada tahun 1350 tentara Majapahit dipimpin Adityawarman kembali mengadakan ekspedisi ke pulau Sumatera datang untuk menghukum Indrawarman, perang pun meletus antara Silou dan Majapahit, Indrawarman tewas dalam pertempuran. Keturunannya yang selamat melarikan diri ke Haranggaol yang diikuti perpindahan massal golongan marga Purba, di tempat pelarian ini mereka kemudian membangun kembali Kerajaan Silou. Saudaranya yang lain ada yang sampai ke dusun Raja Nagur di Raya Kaheian, di tempat ini mereka mendirikan sebuah kerajaan baru di sekitar hulu sungai Ular dan sungai Padang.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Raja Silou memiliki beberapa orang putera, salah seorang di antaranya membentuk perkampungan di Tambak Bawang yang pada masa itu penuh dengan rawa-rawa. Di tempat ini, ia membuat sebuah kolam dan menamakannya Tambak Bawang artinya kolam terbuat dari rawa-rawa. Sejak itu marganya lebih dikenal dengan sebutan Purba Tambak Bawang, ia menikah dengan puteri Karo dari Sukanalu dan memperoleh lima orang anak. Putera sulungnya bergelar Ompung Nengel yang memiliki gangguan pendengaran, putera kedua adalah seorang yang sakti, sepeninggalnya sosoknya dikeramatkan </span><i style="font-family: times, 'times new roman', serif;">(sinumbah)</i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">. Adik mereka yaitu Nai Horsik, Si Boru Hasaktian (pemilik pemandian keramat yang ada di Tambak Bawang), dan putera bungsu pergi ke Sukanalu ke kampung pamannya, keturunannyalah Tarigan Tambak yang ada di Sukanalu dan Kebayaken. Ompung Nengel merupakan leluhur Tarigan Tambak yang ada di Tambak Bawang dan Bawang, sepeninggal ayahnya ia meneruskan jabatan sebagai kepala kampung </span><i style="font-family: times, 'times new roman', serif;">(pangulu)</i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> Tambak Bawang. Sedang adiknya Nai Horsik pergi ke timur dan sampai di Silou Buntu, ia menikah dengan puteri Raja Nagur dari klan Damanik dan melahirkan putera bernama Jigou.</span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFJY-8UnhMeZ5oRwLbzfNLH_H7H0Pt5TNLfYCsffaGCxfsgQMXfG85Eew_AIXn_nq3Tq4IgC62ai05e68ptkzDC9EWUiYf1YfT7RWgHLJZGdTGfCyQqKjZEPQZyx-8BriyshTvBbRwFQU/s1600/13177337_991232114330209_5092408462105144548_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="217" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFJY-8UnhMeZ5oRwLbzfNLH_H7H0Pt5TNLfYCsffaGCxfsgQMXfG85Eew_AIXn_nq3Tq4IgC62ai05e68ptkzDC9EWUiYf1YfT7RWgHLJZGdTGfCyQqKjZEPQZyx-8BriyshTvBbRwFQU/s320/13177337_991232114330209_5092408462105144548_n.jpg" width="320" /></a></span></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 1: Raja Dolog Silou, Tuan Tanjarmahei Purba Tambak</i></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></span></span></span></span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam naskah kuno Partingkian Bandar Hanopan peninggalan Kerajaan Dolog Silou yang disimpan oleh Tuan Bandar Hanopan, dikisahkan bahwa Tuan Sindar Lela bertemu dengan Puteri Hijau di aliran Sungai Petani dekat pohon tualang di sekitar Deli Tua. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sindar Lela memiliki keahlian berburu dan juga pemancing yang handal sehingga ia digelari dengan Pangultopultop, hal inilah yang menginspirasi lahirnya simbol Purba Tambak yaitu </span><i style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">ultop</i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> (sumpit) dan </span><i style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">bubu</i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> (alat penangkap ikan);</span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">keturunanya disebut Purba Tambak Tualang. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pertemuan Puteri Hijau dengan Sindar Lela terjadi pada waktu Aceh menyerang Haru. Keduanya menjalin hubungan saudara, Sindar Lela kemudian membawa Puteri Hijau ke Sinembah untuk mencari perlindungan, namun Datuk Sinembah keberatan. Dari sini, mereka pergi ke Haru. Sultan Haru rela membantu asalkan Puteri Hijau bersedia menjadi permaisurinya. Mendengar Puteri Hijau berada di Haru, Sultan Aceh mengirim armada untuk menyerang Haru sekaligus membawa Puteri Hijau kembali ke Aceh. Setelah berhasil menghancurkan Haru, Puteri Hijau diboyong ke Aceh, sultan lalu membujuknya agar rela menjadi isterinya, keinginan ini diterima oleh Puteri Hijau namun dengan syarat Sultan Aceh segera memberikan legitimasi kepada saudaranya Sindar Lela menjadi raja di Kerajaan Silou.</span></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></span></span></span></span></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Setelah ditabalkan menjadi raja, Sindar Lela kembali ke Simalungun dan mendirikan kampung Silou Bolag. Ia menikah dengan puteri Raja Nagur bernama Ruttingan Omas dan melahirkan dua orang putera, yang sulung bernama Tuan Tariti dan yang bungsu bernama Tuan Timbangan Raja. Anak yang sulung menggantikan ayahnya sebagai raja di Silou Bolag, sementara yang bungsu pindah ke Silou Dunia dan menjadi Raja Goraha Silou. Sindar Lela juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua yang disebut Puang Toba. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan Timbangan Raja menikah dengan Bunga Ncolei puteri Penghulu Pintu Banua dari Barus Jahe dan melahirkan dua orang putera dan seorang puteri. Salah seorang puteranya kemudian mendirikan kerajaan dekat jurang di tanah Raja Marubun di tepi Bah Karei berbatas dengan Rih Sigom dan Sibaganding dekat Bangun Purba, keturunannya kemudian bergelar Purba Tambak Lombang. Tuan Timbangan Raja juga menikah dengan puteri puteri Raja Nagur dari Parti Malayu klan Damanik dan hanya melahirkan seorang putera. Pada masa terjadinya konflik antara Silou dengan Aceh karena perebutan Gajah Putih, Silou mengalami kekalahan. Sebagai tebusan, pasukan Aceh memboyong Raja Marubun, permaisuri Tuan Silou Dunia, dan dua orang anaknya, salah satunya seorang wanita. Sedang dua puteranya yang lain berhasil menyelamatkan diri, keduanya bergelar Raja Goraha Silou dan Raja Anggianggi. Setelah berada di Aceh, putera Tuan Silou Dunia mampu merebut hati Sultan Aceh sehingga dijadikan menantu lalu didudukkan sebagai penguasa di Tarumun, Aceh Singkil. Raja Dolog Silou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak dalam bukunya "Sejarah Keturunan Silou" menyebutkan bahwa Tuan Rajomin Purba Tambak bergelar Nai Horsik putera Tuan Bedar Maralam juga menikah dengan puteri Sibayak Barus Jahe. Di mana acara pernikahan mereka diadakan di kampung Barubei, pada waktu itu hadir Pangulu Tanjung Muda, Tambak Bawang, Purba Tua, Partibi Raja, Huta Saing, dan Purba Sinombah. Selain dengan puteri Sibayak Barus Jahe, Tuan Rajomin juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua Toba, saudara perempuan dari Raminta sebagai isteri.</span><br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMNbUNHpI-ay0XU4qJd5IJlY9IdGFFrpr0g45l9ChBdSAMSiE28cancal9mQwYy79uwVmvj3g-6lqBLqWY_Eer7AARgyyk61H5YQ18kBLH6Ie15uKTRHMxqEvVFzpDuKRstkiKIqHKwCI/s1600/13173952_991232034330217_2146703130113438936_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMNbUNHpI-ay0XU4qJd5IJlY9IdGFFrpr0g45l9ChBdSAMSiE28cancal9mQwYy79uwVmvj3g-6lqBLqWY_Eer7AARgyyk61H5YQ18kBLH6Ie15uKTRHMxqEvVFzpDuKRstkiKIqHKwCI/s320/13173952_991232034330217_2146703130113438936_n.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i> Gambar 2: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak bersama para penasehatnya</i></span></span></span></span></span></span></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>Namun belakangan, pihak Barus juga turut menikahi puteri Purba Tambak. Dua orang puteri Tuan Lurni bernama Panak Boru Tobin dan seorang lagi disebut Bou dijadikan isteri oleh Milasi Barus, Penghulu Tanjung Muda. Dari Panak Boru Tobin lahir tiga orang anak laki-laki bernama Sakka Barus, Tombaga Barus, Kudakaro Barus, dan seorang perempuan bernama Tapiorei beru Barus yang kemudian kawin dengan Tuan Duria Purba Silangit, Penghulu Gunung Mariah dan melahirkan putera mereka bernama Tuan Samperaja Purba Silangit. Saudarinya yang lain adalah Tuan Dormagaja, memiliki enam orang anak, pertama bernama Tapiara kawin dengan Laut Sipayung, anak mereka bernama Garain, kedua Tamin kawin dengan Tombaga Barus, anak mereka bernama Martika Barus. Ketiga Hamura kawin dengan Andim Sipayung, anak mereka bernama Morgailam Sipayung, Keempat Loin kawin dengan Jimat Sipayung, anak mereka bernama Kawan Sipayung. Kelima Rabini kawin dengan Ramauli Barus dan keenam bernama Arbun kawin dengan Taris Barus. Selanjutnya puteri Tuan Dorahim bernama Panak Boru Bungalou kawin dengan Sakka Barus, diperoleh anak laki-laki bernama Jotar Barus, dan tiga anak perempuan bernama Dingin, Renep, dan Langges.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan Tanjarmahei memiliki tiga puluh orang anak dari dua orang isteri, pertama boru Saragih Simarmata dari Purba Saribu dan kedua bernama Bungalain boru Saragih Garingging puteri Raja Raya. Salah seorang puteranya bernama Tuan Huala memiliki lima orang isteri, dari isteri keempat bernama Ragi boru Saragih melahirkan tiga orang puteri bernama Rainggan kawin dengan Tandang Sipayung, Tarmulia kawin dengan Bolong Barus, dan Parpulungan kawin dengan Banci Sinulingga. Sedang dari isteri kelima bernama Ikim boru Saragih lahir seorang puteri bernama Ramaidah yang kawin dengan Tolap Barus. Puteri Tuan Tanjarmahei bernama Panak Boru Linggainim kawin dengan Bintala Barus dan memperoleh 3 orang anak laki-laki bernama Rajanimbang kawin dengan Tiomina boru Tarigan Tua, Nokoh kawin dengan Tamin boru Purba, dan Ingatbona kawin dengan Maria boru Bangun. Dari hasil pernikahan Rajanimbang dengan Tiomina boru Tarigan Tua lahir Dr. Ir. Takal Barus.</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0EoYab9suJ4vzgZzJB9TqbN_NmYAg9mUHsGqpO5OT5kffBR9lRd07N8Su7Ic8ygKTitIowJhguWJFVuSoqiROitqR_sDnjSGsJF4ZTmweeYSb0vsaQmMxCS9UgPB-8eb74Cie0pFE7Gg/s1600/13124925_991231964330224_5208103259555049928_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0EoYab9suJ4vzgZzJB9TqbN_NmYAg9mUHsGqpO5OT5kffBR9lRd07N8Su7Ic8ygKTitIowJhguWJFVuSoqiROitqR_sDnjSGsJF4ZTmweeYSb0vsaQmMxCS9UgPB-8eb74Cie0pFE7Gg/s1600/13124925_991231964330224_5208103259555049928_n.jpg" /></a></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 3: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak</i></span></span></span></span></span></span></span></div>
</div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Selain di tanah Simalungun dan Karo, marga Tambak juga ditemukan di daerah Padang Lawas dan Kota Pinang. menurut Nalom Siahaan B.A dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Batak menerangkan bahwa marga Tambak merupakan penduduk asli di Padang Lawas, akibat kehadiran marga Harahap mereka terdesak dan pindah ke Kota Pinang. Bila berkunjung ke Padang Lawas dan Mandailing, kita akan menemukan sejumlah perkampungan yang mengabadikan marga Purba seperti Bangun Purba, Purba Bangun, Tanjung Purba, Purba Sinomba, Purba Tua, Purba Lama, dan Purba Baru, apakah perkampungan ini ada kaitannya dengan keberadaan Purba Tambak di tempat ini, barangkali perlu penelitian lebih lanjut. Marga Tambak inilah yang ditemui oleh Batara Sinomba dan puteri Lenggani dari Pagaruyung. Dari kedua orang inilah cikal bakal lahirnya Kesultanan Kota Pinang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Asahan. Pada tahun 2005 penulis pernah bertemu dengan salah seorang penyandang marga Tambak di Padang Lawas sewaktu berkunjung ke kampung halaman ipar penulis di Dusun Sipaho Desa Janji Matogu, Kec. Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara sekaligus mengunjungi komplek situs Candi Portibi. Keberadaan marga Tambak di Padang Lawas, mengingatkan penulis pada Kerajaan Panai yang pernah berdiri di lembah sungai Panai dan Barumun yang hancur oleh serangan Kerajaan Chola pada tahun 1025 Masehi. Kerajaan Panai merupakan kerajaan besar sebagai bukti kejayaan masa silam penduduk suku Batak di Sumatera Utara. Marga Tambak besar dugaan berawal dari kerajaan ini, akibat serangan Kerajaan Chola rakyatnya tercerai berai, sebagian ada yang pergi mengungsi ke Pagaruyung, Labuhan Batu, dan Asahan.</span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYMsiW6WAy_WblF0suZPiLJBat5twWg0kZyuPq3_rvqS1J_NCRpcjjkbnnZPld5ZIOd_9XJ8ac8RgWr1RHYD3nbnH1mj5idrShpojoaZzJaRs3YfqCzp5OXQ9lvv69qZPvZrTsRLY2i7Q/s1600/13166002_991231927663561_1130353906552521085_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="310" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYMsiW6WAy_WblF0suZPiLJBat5twWg0kZyuPq3_rvqS1J_NCRpcjjkbnnZPld5ZIOd_9XJ8ac8RgWr1RHYD3nbnH1mj5idrShpojoaZzJaRs3YfqCzp5OXQ9lvv69qZPvZrTsRLY2i7Q/s320/13166002_991231927663561_1130353906552521085_n.jpg" width="320" /></a></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 4: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak (kanan) bersama dengan Raja Siantar, Tuan Sawadim Damanik (kiri)</i></span></span></div>
</div>
<br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Purba Sidasuha merupakan saudara Purba Tambak, marga ini berasal dari Suha Na Bolag sebuah kampung dekat Tiga Runggu yang didirikan oleh Raja Silou. Menurut salah satu versi, pada zaman dahulu Raja Silou yang tinggal di Silou Buntu memiliki dua orang putera dan seorang puteri, anak bungsunya sangat rajin bekerja ke ladang dan juga menyadap enau, berbeda dengan saudaranya yang sulung lebih gemar berkelana, berjudi, dan berniaga. Sedang saudara perempuan mereka pergi mengikuti suaminya di Dolog Hasian masuk Kecamatan Raya sekarang (pendapat lain mengatakan tinggal di Malasori, Dolog Masihol). Pada suatu hari, putera bungsu Raja Silou sangat kecewa dengan abangnya karena menyantap habis makanan dan juga tuak yang disadapnya. Dia lalu menegur abangnya atas perbuatan yang dia lakukan, namun abangnya tidak mempedulikannya justru menghinanya dengan ucapan: <i>"suhasuhani bagod in do na suman inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!”</i> (Artinya: sisa tuak itu yang layak engkau minum selaku suruhan di istana ini). Karena merasa terhina, dia lalu memukul abangnya, akibatnya terjadilah perkelahian di antara mereka. Namun karena abangnya lebih kuat, dia lalu memutuskan pergi dari Silou Buntu menuju ke tempat saudara perempuannya di Dolog Hasian (Malasori?). Sesampainya di Dolog Hasian dia menceritakan semua kejadian yang dia alami kepada saudara perempuannya dan mengatakan bahwa dia sedang diburu oleh abangnya untuk dibunuh. Demi menyelamatkan nyawa saudara laki-lakinya, dia menyuruhnya agar bersembunyi di bawah <i>“palakka pangulgasan”</i> (tempat merendam benang tenunan), saudara perempuannya ini lalu duduk di atasnya sambil bertenun. Akhirnya rombongan abangnya tiba di Dolog Hasian dan menanyakan perihal adiknya, saudara perempuannya ini menunjukkan arah yang berbeda, sehingga selamatlah saudara laki-lakinya itu dari pengejaran abangnya. Atas jasa saudara perempuannya ini, dia bersumpah akan selalu mengingatnya hingga keturunannya mendatang dan akan menyayangi mereka demikian juga anak perempuan mereka <i>(panogolan)</i>.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">J. Tideman dalam bukunya <i>"Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra"</i>, dia mengisahkan bahwa pada zaman dahulu Tuhan Suha Na Bolag memiliki dua orang anak, yang sulung bekerja sebagai petani, sedang yang bungsu setiap pagi pergi menyadap enau untuk dijadikan tuak. Sepulang menyadap enau, dia kemudian pergi berburu. Akibat sering pulang terlambat, abangnya selalu menyantap habis makanan dan juga tuak dan hanya meninggalkan sisa-sisa (tebateba) untuk adiknya. Hal ini menimbulkan kemarahan adiknya, dia lalu memukul abangnya lalu pergi meninggalkan rumah dan bersembunyi di hutan. Akibat perlakuan tidak adil dari abangnya, dia lalu memutuskan meninggalkan Suha Na Bolag selamanya, namun sebelum dia pergi, dia teringat dengan kitab sihir Parpaneian yang dimiliki ayahnya yang terbuat dari kulit kayu alim warisan keluarga turun temurun. Dengan mempelajari kitab tersebut, manusia mampu mengetahui kapan saat yang baik dan buruk dalam melakukan sebuah tindakan. Dia lalu mengambil kitab tersebut dan membawanya menuju ke arah timur hingga tiba di kampung Dusun Raja Nagur, kampung ini sekarang terletak di sekitar Pamatang Panei. Di tempat ini, dia menikah dengan putri kepala kampung bermarga Damanik. Untuk menutupi jejaknya, dia kemudian mengganti marganya menjadi Purba Suha atau Sidasuha (sebagian berpendapat namanya adalah Tanjarum Purba Sidasuha). Dia semakin dikenal secara luas oleh masyarakat setelah kematian ayah tirinya yang menjabat sebagai kepala kampung.</span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibvnLNg2JNn5GQzjdNzNLBGPGeKIKm3JCjD3fIO5BnGM03jHMPfOuHfF9PFCnop8D2-_KIjwzJYg0EJ500EMpeeP4iD04CgEKJzuIZop40WeHsANcfkkp9CsEbv3u7wOJl4IvxpFemcIM/s1600/206388_381975155208317_1477684846_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibvnLNg2JNn5GQzjdNzNLBGPGeKIKm3JCjD3fIO5BnGM03jHMPfOuHfF9PFCnop8D2-_KIjwzJYg0EJ500EMpeeP4iD04CgEKJzuIZop40WeHsANcfkkp9CsEbv3u7wOJl4IvxpFemcIM/s320/206388_381975155208317_1477684846_n.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i> Gambar 5: Tuan Anggi Dolog Silou, Tuan Rajabulan Purba Tambak bersama dengan keluarganya</i></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dia mencoba memperluas wilayah dengan menaklukkan Dusun Sapala Tuhan, kemudian berkembang desas-desus di tengah masyarakat bahwa dia memiliki kekuatan gaib yang bersumber dari kitab Pustaha Panei Bolon, orang menduga dia berhasil melakukan segala hal berkat bantuan kitab tersebut. Untuk memperkuat kedudukannya, dia kemudian pergi ke Kerajaan Siantar untuk mempersunting puteri raja Siantar marga Damanik. Berkat bantuan mertuanya Raja Siantar, Sidasuha diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Saragih Sipoldas. Kisahnya berawal saat diadakan pertemuan dengan para Raja Marompat di Dolog Saribu yang dihadiri Raja Tanoh Jawa, Silou, dan Sipoldas. Di hadapan mereka, Raja Siantar mengatakan bahwa menantunya memiliki sebuah kitab sakti bernama Pustaha Panei Na Bolon, kitab tersebut dapat dibuka dalam ruangan gelap karena tulisan yang tersurat dalam kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga <i>(panei)</i> yang mampu bersuara dan meramalkan segala sesuatu yang akan terjadi. Mendengar kisah yang disampaikan Raja Siantar itu, Raja Onggou Saragih sama sekali tidak percaya, dengan ucapan takabur dia mengatakan: <i>"Anggo tongon do adong ai, age huborei harajaonhu on bani"</i>. Untuk membuktikan ucapannya, Raja Siantar lalu menyuruh Sidasuha agar masuk ke dalam balai untuk memperlihatkan kitab tersebut. Agar kitab tersebut dapat dibuka, Sidasuha menyuruh agar semua pintu dan jendela ditutup, dia lalu membukanya dengan perlahan.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Semua yang hadir sangat terkejut ketika seekor naga keluar sambil memancarkan cahaya yang gemerlapan sembari berkata: "<i>Ahu do na manatang tanoh on, anggo ulungku sanggah dompak hapoltakan margoling do ahu. Mardugur ma tanoh on, ai ma na ihatahon manisia lalou. Sahali waluh taun margoling do ahu, mardugur ma homa lalou"</i>. Di tengah naga itu mengeluarkan suara, Raja Onggou berseru sembari membenarkan ucapan naga itu, dia mengatakan sejak delapan tahun terakhir telah terjadi gempa sebanyak dua kali. Melihat kesaktian dan kebenaran dari kitab Pustaha Panei Na Bolon tersebut Raja Onggou, akhirnya menyesali kesombongannya dan dengan sikap penuh tanggungjawab dia pun memenuhi janjinya menyerahkan kekuasaannya kepada Sidasuha. Pada saat itu juga mereka bersepakat merajakan Sidasuha dan memintanya duduk di atas singgasana Raja Onggou, namun Sidasuha menolaknya. Dia memilih dinobatkan di atas Pustaha Panei Na Bolon karena itulah kerajaannya dinamakan Panei. Terdengarlah berita ke segala penjuru bahwa Kerajaan Sipoldas sudah beralih menjadi Kerajaan Panei. Jabatan Raja Onggou turun menjadi Parbapaan yang tunduk dibawah Kerajaan Panei, keturunannya kemudian menjadi pihak menantu <i>(anak boru)</i> dari Raja Panei.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Raja Onggou memberikan kuasa kepada Sidasuha agar memilih tempat sebagai pusat pemerintahannya, ada empat lokasi yang ditunjukkan oleh Raja Onggou yaitu Pamatang Panei, Nagori Bosar, Silahuan, dan Baris Tongah. Sidasuha kemudian memilih Pamatang Panei karena menurutnya sangat strategis untuk jadi pusat pemerintahan. Para penguasa Panei ketika dikukuhkan sebagai raja wajib duduk di atas Pustaha Panei Bolon sebagai syarat untuk sah menjadi Raja Panei. Pada zaman Belanda, di lingkungan istana Kerajaan Panei dikukuhkan tiga jabatan yang berfungsi sebagai Dewan Kerajaan, yaitu:</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1. Orang Kaya dari marga Purba Girsang dan diwakili oleh Tuan Dolog Batu Nanggar, salah seorang Parbapaan yang dulu menjadi vazal Panei.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2. Jagoraha atau panglima pasukan, jabatan ini dipegang oleh seorang dari marga Purba Tambun Saribu yang diwakili oleh Tuan Simarimbun Parbapaan Panei.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">3. Tuan Suhi dari marga Purba Sidadolog yang diwakili oleh Tuan Sinaman Parbapaan Panei.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Raja pertama Panei menurunkan seorang putra yang pincang bernama Marsitajuri, salah satu kakinya lebih panjang dari yang lain. Dalam kondisi pincang, Marsitajuri mampu menunggang kuda dan menjadi panglima dalam setiap peperangan, sejak itu dia dikenal dengan julukan Parhuda Sitajur. Dia menaklukkan berbagai kampung termasuk Dusun Siantar, Urung Sidadolog, dan Dusun Sapala Tuhan (sekarang Panei Hulu), dan membangun sejumlah kampung baru di sekitarnya. Pada masa pemerintahannya, perluasan wilayah Kerajaan Panei terus dilakukan, pihak lawan sangat takut padanya. Berkat kesaktian kudanya yang dapat menghilang di tengah peperangan, pihak lawan kerap menggelarinya dengan "Hantu Panei" yaitu roh yang jahat. Sampai sekarang orang masih mengingat sumpah bahwa Hantu Panei adalah hantu yang paling jahat. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada generasi berikutnya, salah seorang keturunan Purba Sidasuha yang berdiam di sebuah pegunungan membentuk cabang baru dengan sebutan Purba Sidadolog, daerah awal penyebaran marga ini bermula dari Sinaman, keturunannya kemudian menyebar dan mendirikan sejumlah perkampungan seperti Bangun Panei, Urung Panei, dan Urung Sidadolog. Akibat terjadi perselisihan di antara keturunannya, muncul pecahan baru yaitu Purba Sidagambir. Dia sehari-hari bekerja sebagai petani gambir, mendirikan kampung Rajaihuta, kemudian keturunannya mendirikan kampung baru bernama Dolog Huluan. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Keturunan Purba Tambak yang lahir dari puteri Saragih Simarmata pindah ke Cingkes dan menamakan diri Purba Sigumondrong. Dari Cingkes inilah keturunannya pergi merantau ke berbagai tempat. Saat ini keturunan Purba Sigumonrong menyebar luas di sejumlah daerah di Kabupaten Simalungun dan tanah Karo (Tarigan Gerneng) mulai dari Cingkes, Bawang, Saribu Dolog, Lokkung, Raya Panribuan, Sondi Raya, Mappu, Sinondang, Merek Raya, Raya Tongah, Bah Hapal, dan Nagori Dolog. Dari sini keturunannya menyebar lagi ke kawasan di sekitarnya seperti Sambosar Raya, Marubun Lokkung, dan Togur. Adapun Purba Sigumondrong yang berdiam di Marubun Lokkung dan Togur sekitarnya merupakan para perantau dari kampung Lokkung di Raya yang sengaja datang ke tempat itu untuk membuka perladangan. Sejarah kehadiran Purba Sigumondrong ke Raya diawali dari perjalanan Tuan Pining Sori Munthe yang mengadakan ekspedisi perjalanan dengan menunggang seekor kerbau Si Nangga Lutu dari Garingging. Dalam perjalanannya, dia melewati Cingkes, dari sinilah salah seorang keturunan Purba Sigumondrong ikut serta bersama rombongan Tuan Pining Sori menuju Raya Simbolon.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Menurut cerita lisan di Simalungun, leluhur Purba Silangit berasal dari Dolog Tinggi Raja. P</span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">ada zaman dahulu kawasan Dolog Tinggi Raja dikuasai oleh Purba Silangit, konon terbentuknya cagar alam Dolog Tinggi Raja diyakini akibat dari tragedi bencana banjir yang menimpa wilayah kekuasaan Raja Purba Silangi. Masyarakat setempat masyarakat setempat meyakini usai tragedi inilah menjadi awal mula munculnya massa air panas dan kawah putih di wilayah ini. Keturunannya pun berhamburan meninggalkan Dolog Tinggi Raja, ada yang pindah ke </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Raya, Toras, Langit Sinombah, dan Purba Sinombah. Dari Toras keturunannya kemudian pindah lagi ke Panribuan, lalu dari Langit Sinombah menyebar ke Saran Padang. Kemudian dari Panribuan keturunannya membentuk perkampungan baru di Gunung Mariah yang kini masuk wilayah Deli Serdang terus ke Bangun Sinombah, Bandar Sinombah hingga ke Bah Gerger di Lubuk Pakam. Dari kampung </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Toras, Panribuan, Saran Padang, dan Langit Sinombah. Dari sini mereka menyebar ke tanah Karo, sebagian lagi bergerak ke Deli Serdang menduduki daerah Gunung Mariah, Bangun Sinombah, dan Bandar Sinombah hingga ke Bah Gerger di Lubuk Pakam. Dari Gunung Mariah, keturunannya pindah lagi ke tanah Karo. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa Purba Sigulang Batu konon lahir dari salah seorang keturunan Purba Silangit yang pergi berkelana ke Humbang. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Adapun leluhur Purba Tondang dan Purba Tambun Saribu adalah dua marga bersaudara, leluhur mereka berawal dari kampung Hinalang Nabolag. Dari sini keturunannya terpecah, salah seorang pergi ke Sibarabara dan menjadi Purba Tondang, sedang seorang lagi menuju Silombu </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">(tempat ini kini sudah berubah menjadi area perladangan) melahirkan Purba Tambun Saribu. Dari Sibarabara, keturunan Purba Tondang membentuk perkampungan di </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Hitei Tanoh (Huta Tanoh sekarang) di Kecamatan Purba. Keturunannya kemudian memperluas wilayah lagi hingga sampai Hinalang dan Purba Hinalang, marga ini merupakan penduduk pribumi di Hinalang yang menyambut kehadiran Purba Pakpak yang datang dari Pamatang Purba. Dari Hinalang ada yang pindah ke Rahut Bosi terus ke tanah Karo dan beralih menjadi Tarigan Tondang dan Tarigan Tendang. Sementara keturunan Purba Tambun Saribu, dari Silombu menyebar ke Binangara dan Haranggaol di Kecamatan Haranggaol Horisan, keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tambun. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Setiap tahun seluruh keturunan Purba Tambun Saribu baik di Simalungun maupun tanah Karo mengadakan pertemuan tahunan yang bertempat di Haranggaol dan tugu marga ini sudah didirikan di Binangara.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Cabang marga Purba lainnya yaitu Purba Tua. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Eksistensi marga ini ditandai dengan adanya kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silimakuta </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">yang kemudian terbagi menjadi Purba Tua Bolag dan Purba Tua Etek</span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">. Dari Purba Tua, keturunannya menyebar ke Rahut Bosi, Cingkes, Tambak Bawang, sebagian pindah ke tanah Karo dan bermukim di Juhar menyandang marga Tarigan Tua. Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih menjadi Tarigan Sibero, peristiwa ini terjadi sekitar 500 tahun yang lalu. Dari marga ini muncul Purba Tanjung di mana keturunannya banyak mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol. Namun, ada juga yang menduga leluhur mereka bermula dari Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya mendirikan kampung di sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba, sehingga dinamakan Purba Tanjung. Selain itu, ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bermarga Tanjung berasal dari Minangkabau, yang datang ke daerah Sokkur, Raya Kaheian bersama orang Cina sebagai pekerja bangunan. Dia lalu menikah dengan seorang puteri Damanik Malayu dan disahkan menjadi Purba Tanjung. Keduanya dikaruniai lima orang anak yang bermargakan Purba Tanjung. Setelah beberapa lama berada di Sokkur, timbul kerinduannya pada kampung halamannya. Dengan berjalan kaki dia pulang kembali ke Minangkabau meninggalkan isteri dan anaknya, hingga akhir hayatnya dia tidak pernah kembali ke Sokkur. Tulang belulang isterinya disemayamkan pada peti batu dan hingga kini masih tetap diperhatikan oleh keturunannya. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Bila merujuk versi Toba, Purba Tanjung dinyatakan berasal dari garis keturunan Marsahan Omas (Bercawan Emas) keturunan Purba Parhorbo. Purba Parhorbo memiliki tiga orang anak, masing-masing bernama Parhodahoda, Marsahan Omas, dan Tuan Manorsa. Konon Marsahaan Omas sering melakukan ritual "maranggir" (mandi menggunakan jeruk purut) dengan menggunakan cawan emas di sekitar kampung Nagori Kecamatan Purba. Dia memiliki tiga orang putera, yaitu Tuan Siborna, Nahoda Raja, dan Namora Soaloon. Dari Nahoda Raja lahir Raja Omo yang merupakan leluhur Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Adapun leluhur Purba Pakpak merupakan seorang pemburu yang datang dari tanah Pakpak, keturunan marga Cibero. Karena mengejar seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong yang tengah dilanda musim paceklik sehingga rakyat Simalobong dengan sukarela memanggilnya raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong, karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut. Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak. Mengenai Purba Pakpak, pengetua adat marga Cibero dengan tegas mengatakan bahwa Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba yang merupakan nenek moyang pertama Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara bernama Batu, putera Batu bernama Buah atau Suksuk Langit yang juga digelari Pengelter yang pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero. Mereka ini merupakan generasi keduapuluh dari Raja Ghaib, generasi awal marga Cibero. Sedang leluhur Girsang yang pertama kali pindah ke Simalungun adalah generasi kesepuluh, hingga saat ini keturunan Raja Gaib sudah mencapai tigapuluh lima generasi. Di antara keturunan Purba Pakpak ada yang membelah diri menjadi Purba Sihala dan mendiami daerah Purba Hinalang, sebagian keturunannya pindah ke Dolog Silou dan menjadi Tarigan Purba Cikala, mereka mendiami daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog Silou.</span><br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYaL2FtMAmz1zeoXXy1iHLeL8Ob4LL-6qtj1LU4CF6ul0cepAhFBs-t8jOiHF-cZQopaGQn0HaTBcEeFZ6ttnK2MXuuVmaNJ0VRTRkoufpiRsRJWzT8b82AQi1nLHGb8bfK7G55jDzFAE/s1600/13000371_977918638994890_832367820702019461_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYaL2FtMAmz1zeoXXy1iHLeL8Ob4LL-6qtj1LU4CF6ul0cepAhFBs-t8jOiHF-cZQopaGQn0HaTBcEeFZ6ttnK2MXuuVmaNJ0VRTRkoufpiRsRJWzT8b82AQi1nLHGb8bfK7G55jDzFAE/s1600/13000371_977918638994890_832367820702019461_n.jpg" /></a></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 6: Raja Purba XII, Tuan Rahalim Purba Pakpak</i></span></span></span></span></span></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sebagian keturunan Purba Pakpak dan Purba Girsang, ada yang meyakini bahwa Pangultopultop dan Datu Parulas adalah figur yang sama dan sosok Datu Parulas juga dikenal di kalangan marga Nainggolan, namun ada versi berbeda tentang kisah kehidupannya. Menurut keyakinan Purba Pakpak, setelah Pangultopultop mendirikan Kerajaan Purba dan memiliki seorang putera sebagai penerus tahta, dia kemudian pergi menyeberang ke Pulau Samosir. Di Samosir, dia memasuki wilayah kekuasaan Tuan Mulani Huta marga Sagala. Di tempat ini, dia membantu membunuh babi hutan dan burung buas yang konon berkepala tujuh bernama Manukmanuk Patiaraja yang sangat meresahkan masyarakat setempat. Dengan kesaktiannya, dia berhasil membasmi babi hutan dan burung buas berkepala tujuh tersebut. Atas jasanya, Tuan Mulani Huta lalu menyerahkan puterinya bernama Nai Asang <span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">P</span>agar kepada Pangultopultop untuk dijadikan isteri, dari hasil perkawinannya melahirkan tiga orang putera yang kemudian membawakan marga Siboro. Pengembaraannya tidak berhenti sampai di sini, Pangultopultop kemudian pergi ke daerah Harian Nainggolan, dia menikahi salah seorang puteri Nainggolan. Di saat isterinya mengandung, dia kemudian kembali pulang ke Simalungun. Tidak lama kemudian isterinyapun melahirkan, karena Pangultopultop dianggap tidak bertanggungjawab, maka anak yang dilahirkan itu diberikan marga sesuai dengan marga ibunya yaitu Nainggolan Lumban Raja. Setelah beranjak dewasa, puteranya ini lalu bertanya tentang asal muasal ayahnya, karena rasa ingin tahunya yang sangat besar</span></span></span></span> dia kemudian menerbangkan sebuah lesung dengan menggunakan ilmu bernama <i>Sipahabang Losung</i>, tanpa disadari lesung itu jatuh di Purba Saribu dekat Haranggaol. Dari situlah dia mengetahui kalau ayahnya berasal dari Simalungun, lesung tersebut masih bisa disaksikan hingga hari ini di Purba Saribu. <span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">P</span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">ihak Nainggolan menyebut Pangultopultop ini dengan nama Datu Parulas. Di masa tuanya, jejak pengembaraan Datu Parulas ditemukan di sekitar daerah Perdagangan, adapun Keramat Kubah Perdagangan oleh keturunannya diyakini sebagai tempat persemayaman terakhir Datu Parulas baik oleh pihak Nainggolan maupun Purba Girsang dan juga Purba Pakpak.</span></span></span></span></span></span></span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhawT9PhFCGE6Z5f47NIMCi7j_uhQBkrw2K1dReHOy7stdJD7oD2otYiWq6LWszU16g8uA6MDngK0TR3qW8jwS1ay6oB4hw1M3TiE0Hqnumq4kXs0bBOpGCbcZm33fnVUcYnJGRDg6Bu5M/s1600/260106_378902772182222_761317746_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhawT9PhFCGE6Z5f47NIMCi7j_uhQBkrw2K1dReHOy7stdJD7oD2otYiWq6LWszU16g8uA6MDngK0TR3qW8jwS1ay6oB4hw1M3TiE0Hqnumq4kXs0bBOpGCbcZm33fnVUcYnJGRDg6Bu5M/s320/260106_378902772182222_761317746_n.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i> Gambar 7: Raja Purba XII Tuan Rahalim Purba Pakpak didampingi para penasehatnya</i></span></span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaEnwNOgG63tcdHDp0qx71CCH7l2svdqxPIQgwO5QDJ-2hMsFdxLbOCGqrekGzI2l-iWyfnjkbf4hl6JNaUC1hZqxsQ-fFe4oG-l3s2tu2jN22QyTmmhTBbohCWJrBRxg0Lkx7Z1BoWbI/s1600/unnamed1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaEnwNOgG63tcdHDp0qx71CCH7l2svdqxPIQgwO5QDJ-2hMsFdxLbOCGqrekGzI2l-iWyfnjkbf4hl6JNaUC1hZqxsQ-fFe4oG-l3s2tu2jN22QyTmmhTBbohCWJrBRxg0Lkx7Z1BoWbI/s320/unnamed1.jpg" width="320" /></a></span></span></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 8: Rumah Bolon Kerajaan Purba</i></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxsSmasYtoE_vzBrLPvvnW-4YO-iSLPsiLF9kiEAi6_8aYhyphenhyphenBLuR9E8M1I2FqerXFCl-vISWxtbwtZaVgZgzrL6MhJaGw_klXI6-KfD9zxaUPkWxFZR9KLFWvNHM8tHeMQDb5m3ORLaeM/s1600/unnamed.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxsSmasYtoE_vzBrLPvvnW-4YO-iSLPsiLF9kiEAi6_8aYhyphenhyphenBLuR9E8M1I2FqerXFCl-vISWxtbwtZaVgZgzrL6MhJaGw_klXI6-KfD9zxaUPkWxFZR9KLFWvNHM8tHeMQDb5m3ORLaeM/s320/unnamed.jpg" width="320" /></a></span></span></span></span></span></span></span></div>
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 9: Balei Bolon Kerajaan Purba </i></span></span></span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i><br /></i></span></span></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: start;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sementara untuk marga Girsang, ada tiga pendapat yang berkembang tentang asal marga ini, </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">pertama sebagian penyandang marga ini meyakini leluhur mereka berasal dari Lehu keturunan marga Cibero, kedua ada yang menyatakan keturunan Purba Sigulang Batu dari Humbang, ketiga ada yang mengaku berasal dari Sitampurung di Siborongborong keturunan marga Sihombing Lumban Toruan. Komunitas Girsang yang tinggal di daerah Silimakuta umumnya meyakini asal leluhur mereka datang dari Lehu. Posisi Girsang di Lehu adalah sebagai menantu dari marga Manik, sejarahnya diawali ketika si Girsang mengembara hingga akhirnya sampai ke Lehu, dia kemudian diangkat menjadi menantu oleh Raja Mandida Manik salah seorang penguasa di Suak Pegagan tanah Pakpak. Dari hasil investigasi penulis beberapa tahun yang lalu, di mana penulis mewawancarai salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Dia tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, kediamannya merupakan tanah pemberian Raja Mandida Manik, yang dalam istilah Pakpak disebut </span><i style="font-family: times, 'times new roman', serif;">rading beru</i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya ada dua orang, yaitu si Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan kesepuluh dari Raja Ghaib leluhur pertama marga Cibero. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">J. Tideman menerangkan bahwa </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">leluhur Girsang berasal dari tanah Pakpak, suatu hari ia mengejar seekor rusa ke timur yang ditembaknya di Lehu; rusa tersebut dikejar oleh anjingnya sampai ke Dolog Tanduk Banua (Sipisopiso)</span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">. Di tempat ini mereka kehilangan jejak, si Girsang melihat seekor kerbau putih (horbou jagat), sehingga dia menduga sedang berada di suatu perkampungan. Untuk memenuhi rasa penasarannya, dia bersama anjingnya lalu mendaki Dolog Tanduk Banua, namun karena sepanjang hari mereka tidak makan dan minum, mereka lapar dan haus sehingga si Girsang duduk di bawah pohon dan meminum beberapa tetes embun yang jatuh dari daun, dia lalu bangkit berdiri. Anjingnya berjalan dengan menjulurkan lidahnya, si Girsang kemudian membantu hewan ini memetik cendawan merah dan memberikan kepadanya untuk dimakan, namun ternyata buah itu mengadung racun. Setelah dia memberikan cendawan putih, maka hewan itu kembali kuat seperti sebelumnya. Si Girsang mulai mengetahui bahwa cendawan merah itu mengandung racun, sementara cendawan putih bisa digunakan sebagai obat penawar.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dari puncak gunung dia melihat sebuah kampung yang luas, tempat pemukiman marga Sinaga yang bernama Naga Mariah. Dia memasuki perkampungan itu dan salah seorang penduduk bersedia menerima si Girsang untuk menetap di rumahnya. Pada saat itu kampung Naga Mariah sedang terancam oleh serbuan musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, mereka bermalam di dekat Dolog Singgalang. Mereka mengambil air dari lereng Dolog Singgalang, kini disebut Paya Siantar. Melihat kondisi ini, Tuan Naga Mariah lantas merasa sangat terancam, setelah mendengar berita ini, si Girsang lalu datang menemuinya. Dia mengajukan diri kepada Tuan Naga Mariah akan menghancurkan semua musuhnya. Tuan Naga Mariah berkata, “Jika engkau berhasil menghancurkan mereka, maka saya akan menyerahkan puteri saya untuk engkau jadikan sebagai isteri”. Kemudian si Girsang memohon kepada Tuan Naga Mariah agar memerintahkan penduduknya mengumpulkan sebanyak mungkin duri, baik duri bambu, jeruk, rotan, pandan maupun tanaman lainnya. Si Girsang lalu memetik cendawan merah, merendamnya dalam air dan menaburkan duri ke dalamnya. Duri beracun tersebut lalu ditaburkannya di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh pihak musuh, demikian juga air beracun dimasukkannya ke dalam Paya Siantar.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgArB6AjCxz8zRRdH1nx7PuLjU_YxWWTIxFfNlu70BdQ_vniRhnEkuw4__sykHTwc_q6bYi9sfDgS2-DsRjMd1N-FaEshkznIjSk7-9eKuDqoIjGoN0KMsPSbMEJmHZQmHx9xfjVoTedxo/s1600/15109386_1443332035678824_427355712655532822_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgArB6AjCxz8zRRdH1nx7PuLjU_YxWWTIxFfNlu70BdQ_vniRhnEkuw4__sykHTwc_q6bYi9sfDgS2-DsRjMd1N-FaEshkznIjSk7-9eKuDqoIjGoN0KMsPSbMEJmHZQmHx9xfjVoTedxo/s320/15109386_1443332035678824_427355712655532822_n.jpg" width="209" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 10: Tuan Dumaraja alias Pa Moraidup Purba Girsang, Raja Silima Huta pertama. Sebelumnya ia adalah Tuan Naga Saribu dan saudaranya Pa Ngasami menjadi Tuan Siturituri. Raja Silima Huta merupakan raja untuk golongan Tarigan Girsang/Gersang, Tarigan Sahing, dan Tarigan Ijuk.</i></span></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Setelah para musuh bergerak menuju Naga Mariah, mereka terjebak dalam duri dan keracunan karena meminum air dari Paya Siantar, akibatnya mereka semua mati terbunuh. Si Girsang kemudian pergi menemui Tuan Naga Mariah dan berkata: ”Ada seribu lawan mati bergelimpangan di gunung itu”, sehingga gunung tersebut dinamakan Dolog Singgalang dan tempat itu disebut Saribu Dolog. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian mengangkatnya sebagai menantu, upacara pernikahan mereka dirayakan layaknya pernikahan seorang raja. Karena si Girsang belum memiliki rumah, untuk sementara dia tinggal di Rumah Bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Tuan Naga Mariah. Akibat peristiwa ini, dia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan terkenal sebagai dukun sakti dan ahli nujum yang memahami seni mencampur racun sehingga orang menyebutnya Datu Parulas. Setelah wafatnya Tuan Naga Mariah, tampuk kekuasaan beralih kepadanya, tidak lama kemudian dia mendirikan kampung Naga Saribu di sekitar lokasi di mana para musuh dari Siantar itu mati dan menjadikannya sebagai ibukota Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Naga Mariah. Sejak terjadinya suksesi kepemimpinan ini, masyarakat setempat bermarga Sinaga, akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan berafiliasi dengan marga Peranginangin Bangun.</span></div>
</div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dari isteri pertamanya Datu Parulas memperoleh empat orang putra, namun mereka belum bisa disebut sebagai putra raja, karena ayahnya belum menjadi raja. Mereka menjadi leluhur Tuan Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, dan Mardingding. Setelah itu dia masih dikarunia dua orang putra, yang sulung membuka kampung Jandi Malasang, kemudian pindah ke Bage, di tempat ini dia membangun pasar dan balai yang mandiri. Si Bungsu mengikuti Datu Parulas dan menjadi penggantinya. Pada masa penjajahan Belanda</span><span style="text-align: start;">, sementara Tuan Saribu Dolog hingga tahun 1930-an tetap membangkang pada Tuan Naga Saribu karena menganggap dirinya lebih berhak menjadi Raja Si Lima Huta. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Keturunan Girsang membelah diri menjadi beberapa cabang yaitu Girsang Rumah Bolon, Nagodang, Parhara, dan Rumah Parik. Sementara yang pindah ke tanah Karo membentuk dua kelompok yaitu Tarigan Girsang dan Tarigan Gersang. Sebagian keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang kemudian menjadi Girsang Silangit.</span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: start;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Demikianlah sejarah singkat lahirnya komunitas marga Purba di Simalungun yang mampu penulis utarakan, semoga di kemudian hari penulis mendapatkan tambahan informasi untuk melengkapi dan merampungkan tulisan ini. Penulisan sejarah ini dilatarbelakangi oleh keinginan kuat penulis untuk membuat sebuah buku sejarah Purba Simalungun untuk disebarluaskan kepada seluruh keturunan marga Purba agar dapat menjadi pedoman bagi kalangan marga Purba yang hidup di zaman sekarang hingga anak cucu mendatang. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Daftar Pustaka: </b></span></span></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1. Purba Tambak, T.B.A. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1967. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sejarah Keturunan Silou. Pematang Siantar: </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Percetakan HKBP</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2. Purba Tambak, T.B.A & Purba, Jintahalim. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1967. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Naskah Silsilah Purba Tambak. Pematang Siantar </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">3. Purba Tambak, Herman. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2008. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kerajaan Silou (Historiae Politia), Edisi Kedua. Pematang Siantar </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">4. Purba, MD, Letkol. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1970. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pustaha Panei Bolon. Pematang Siantar </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">5.<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"> </span>Purba, Kenan, D & Purba, J.D. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1995. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sejarah Simalungun. Jakarta: Bina Budaya Simalungun Parsadaanni Purba Pakpak Boru Pakon Panogolan</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">6. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tideman, J. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1922. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Leiden: van Doesburg</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">7. Ypes, W.K.H. 1932. Bijdrage tot de kennis van stamverwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba-en Dairi-Bataks. Leiden: Adatrechtstichting </span></div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">8. Neumann, J.H. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1972. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara</span><br />
<div style="text-align: justify;">
9. Hutagalung, W.M. 1926. Pustaha Batak, Tarombo Dohot Turiturianni Bangso Batak. Pangururan: Tulus Jaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
10. Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu & Sons</div>
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"></span></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com7North Sumatra, Indonesia3.5901776188373495 98.6901855468752.5753106188373494 97.399292046875 4.60504461883735 99.981079046875tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-88567395745943040542014-03-13T02:01:00.001+07:002017-03-12T23:48:06.641+07:00Nagur Kerajaan Tertua di Pulau Sumatera<b style="font-family: times, 'times new roman', serif; text-align: justify;">Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Pengantar</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Nagur merupakan suatu kerajaan kuno <i>(ancient kingdom)</i>
yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode
sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut
orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik
tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian (sesuai keterangan yang
diperolehnya dari naskah kuno Nagur, naskah ini terbakar tahun 1958
pada masa pemberontakan PRRI gelombang kedua). Terbentuknya kerajaan ini
diawali sejak kehadiran seorang tokoh kesatrya dari India bersama para
pengikutnya, mereka berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari
sekitar dataran tinggi Chota Nagpur sebelah timur India meliputi negara
bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu
Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya
tersebut dengan Darayad Damadik, gelar lainnya adalah Narama. Dia adalah seorang penganut Hindu
Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Bahkan gelar yang disandangnya diambil dari
nama Dewa Narayan yang dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa
Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan
"Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang
berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat
Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu
sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari
Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang". Di
Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga
penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna <i>"Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup)</i>.
Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung
enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur,
burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada
zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang
yang baru meninggal <i>(siluk matei)</i> agar hidup kembali, dengan membaca mantera <i>(tabas)</i> yang berbunyi: <i>"Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui"</i> sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang <i>sitabar</i> jantan di pinggir halaman dan pisang <i>unsim</i>
jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang
yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan
ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia
sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan
Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik
perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4G_YEfJ-XS9Xt5-WsxTCCAg988hz6mHn3dd9csVIXoLW1UsK-f0d0OcLOFCPLa51nSogdIZN2TG5XGlAoAIEB61UamYGBc6xdyPDL6l1S0xsI2lFYVOw2A7Eig4nueCDMDKT4IpDjjNI/s1600/1393733999834974891-56e1902a529773dd0b0ef5ea.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4G_YEfJ-XS9Xt5-WsxTCCAg988hz6mHn3dd9csVIXoLW1UsK-f0d0OcLOFCPLa51nSogdIZN2TG5XGlAoAIEB61UamYGBc6xdyPDL6l1S0xsI2lFYVOw2A7Eig4nueCDMDKT4IpDjjNI/s320/1393733999834974891-56e1902a529773dd0b0ef5ea.jpg" width="297" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
1: Peta negara India, dataran tinggi Chota Nagpur yang terletak di
sebelah timur India merupakan tempat kedudukan bangsa Munda yang menjadi
asal Darayad Damanik.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan
Subirman Damanik menceritakan bahwa sang Darayad Damadik meninggalkan
India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan
tempat pemujaan <i>(parsinumbahan)</i> yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari
Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini
akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi,
Darayad Damadik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta
isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka
pun pergi meninggalkan India, dengan menaiki sebuah kapal besar mereka
mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir
Selat Malaka, mereka lalu mendaratkan kapal mereka di daerah Pagurawan <i>(Pargurouan)</i>
masuk Kabupaten Batubara sekarang. Dari tempat ini, dia beserta
rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut
Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke
hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog
- Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja -
Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan
akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat
orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari
mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat
dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga),
Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih). Setelah beberapa lama berdiam di
Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Darayad Damadik. Dari
sini diketahui bahwa Darayad Damadik merupakan perintis jalan <i>(si rottos dalan)</i>
bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah
Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Darayad Damadik juga memiliki
kemampuan di bidang pengobatan <i>(partambaran)</i>, selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut <i>Salohap</i>
terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan
yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia
bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara
ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok
memelihara gajah, kerbau, dan anjing.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Darayad
Damadik mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan
pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi
tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik
ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah
"dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat
kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu.
Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang
diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk
melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan
bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk
mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk
memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek
ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban
sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut
pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu,
sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan
untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga
terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma
(Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal,
seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di
dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung
yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah
wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau
justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.</span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b style="text-align: justify;">Catatan Tentang Nagur</b></span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Nama
Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi
seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun
sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota
Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India. Kerajaan ini berdiri
ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya
kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku
Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi <i>huta, nagori,</i> dan <i>urung</i>. Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan <i>pamatang</i>. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak <i>(annals)</i>
Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari
Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai
penggantinya. Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi
perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai
Bah Bolon dekat Kota Perdagangan. Sebagaimana hasil penelitian Sutan
Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia
melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang
Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of
Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin:
Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang
bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam
Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal
dagang mereka. Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota
pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer
dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu
bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat
penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman
Belanda. Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman
dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah,
sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi
Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu
penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan
(situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC4s8YAeoYiK92ub4xk8T1MbAvnmItzfAQFk774wvxbZrouvFYvGRuKFkRd1o1kPN2KxGAqB2fo7yk13DrPPgfOWQU3P4y_fGUdr7M775Yp8SWCM5dF0xw20Dz8U67KjC4JuHHm2bQ6RM/s1600/12378019-1565801293748461-6966914395787002979-o-56f2f74a42afbd930dde4e67.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjC4s8YAeoYiK92ub4xk8T1MbAvnmItzfAQFk774wvxbZrouvFYvGRuKFkRd1o1kPN2KxGAqB2fo7yk13DrPPgfOWQU3P4y_fGUdr7M775Yp8SWCM5dF0xw20Dz8U67KjC4JuHHm2bQ6RM/s320/12378019-1565801293748461-6966914395787002979-o-56f2f74a42afbd930dde4e67.jpg" width="180" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
2: Penulis saat berada di desa Nagur Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, letaknya tepat di bibir pantai timur Sumatera
Utara.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Seorang
nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke
pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama
Nakus yang mengacu pada Nagur. Keterangan lainnya juga datang dari Marco
Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun
1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya
adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di
Pidie (Aceh) sekarang. Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat
Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya
benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke
13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa
Sriwijaya. Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya
dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena
pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak. Sementara itu,
Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia
pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di
kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama
kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”. Dia mengatakan di
bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech,
penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang
dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta
kemudian menjualnya untuk memperoleh uang. Lain daripada itu, Tomé
Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di
Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis
pada tahun 1512-1515. Buku tersebut memberikan banyak informasi
berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut
Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat
banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak
tanah, belerang, kapas, dan rotan. Selain itu, Sumatera juga memiliki
banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk
tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera adalah
ibukota dari Pasai. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat
aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan
Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup
banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan).
Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam
yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda
juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu
dari Raja Aru.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg93JUMNXDlUhkpgWgnckJTqpdpYNCL9C1MhPfT4znYrihyoTgrSFcgSYOxW8UBa2VqnewBLzTosVLcGwq2bhsXX4XFUrwqRv5SRhH0l8WmZHuYU_5aTy2Tq9ehj4IHUTyHSH5n3eX9CXI/s1600/559669-538055586234224-1065220331-n-56e0b0d90e9373be487978f2.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="279" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg93JUMNXDlUhkpgWgnckJTqpdpYNCL9C1MhPfT4znYrihyoTgrSFcgSYOxW8UBa2VqnewBLzTosVLcGwq2bhsXX4XFUrwqRv5SRhH0l8WmZHuYU_5aTy2Tq9ehj4IHUTyHSH5n3eX9CXI/s320/559669-538055586234224-1065220331-n-56e0b0d90e9373be487978f2.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar 3: Salah satu surat kabar pada zaman Belanda yang memberitakan tentang Nagur dan kerajaan Simalungun lainnya.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Selanjutnya
Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun
1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera
yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang
berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan
daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang. Diteruskan oleh
Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563
kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah
seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia
menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan
dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat
buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh
negeri yang pernah dia jelajahi. Demikian juga pada saat Augustin de
Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin
ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah
sekitar Aceh dan semenanjung Malaya. Dia menyebut sebuah penduduk
pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu.
Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada
tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam.
Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia
temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu
mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara. Dari
kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini
jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun
yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Informasi
tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah
Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng
Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai
berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua
orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang
berada di Aceh. Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun
1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka
Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai).
Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri
(南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan
Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang
berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah
hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato.
Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang
dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka
usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang
diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil. Bahasa dan busana
yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari
pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di
sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang
hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide,
barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sedangkan
menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha
Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara
Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas
hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah
pegunungan. Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu
mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras
dengan jumlah memadai. Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di
atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan
merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan. Rambut mereka
yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka
hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita
mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang.
Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan
bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada
upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah.
Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah,
mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak
ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang
miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian
sangat jarang terjadi. Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang
mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga
teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang,
selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri
tembikar, dan lain sebagainya. Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng
Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu
pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng
Cakra Donya.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam buku Yingya
Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta
La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah
beracun. Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan
tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian
suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia
menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan
dendamnya. Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan
berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu
prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur,
akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah. Nelayan ini kemudian
menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan
gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan
upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412.
Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja
Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para
bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua. Akibat kematian Raja Tua,
kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam
kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan
diri ke pegunungan. Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun
datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang
diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan
sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlP0KQK9_iBp4H6iSl3xl62EyNNbUEqgeKPdZzBUwI1jfnemiaLRimC8ZPsYk0xR0g6BiYz0RRw87uaF8msjBRm9DhD-qCY1Dj2THMZSGMP7Qj4X2wv1Zr5no1lWneQYIabCHEncZGHq4/s1600/collectie-tropenmuseum-een-europeaan-op-een-stenen-olifant-in-het-gebied-van-de-simalungun-batak-tmnr-10000888-56cf5a0eef9673ca118b4569.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="232" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlP0KQK9_iBp4H6iSl3xl62EyNNbUEqgeKPdZzBUwI1jfnemiaLRimC8ZPsYk0xR0g6BiYz0RRw87uaF8msjBRm9DhD-qCY1Dj2THMZSGMP7Qj4X2wv1Zr5no1lWneQYIabCHEncZGHq4/s320/collectie-tropenmuseum-een-europeaan-op-een-stenen-olifant-in-het-gebied-van-de-simalungun-batak-tmnr-10000888-56cf5a0eef9673ca118b4569.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGMLFSvRRAAmYbXprT3cW7ZX-9shLfZrsZL2YRZPgYs7GjYu8eBe2f4uBpnx71shaQNpbhiOqldDPBX5STvkHP63V9FB5oPlVegOgXOi3yvwY1kOvZpH3c4Cwp6WzA-nYRG3yr491X0Go/s1600/batu-gajah-bentuk-anak-gajah-56cf5ab4737e615b118b4567.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGMLFSvRRAAmYbXprT3cW7ZX-9shLfZrsZL2YRZPgYs7GjYu8eBe2f4uBpnx71shaQNpbhiOqldDPBX5STvkHP63V9FB5oPlVegOgXOi3yvwY1kOvZpH3c4Cwp6WzA-nYRG3yr491X0Go/s320/batu-gajah-bentuk-anak-gajah-56cf5ab4737e615b118b4567.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinJt0RSpk47iow8h3GQuP2QsFgtZoIunKhFpU-xKnTxW_5jx-J-BnxplDWVHbxnlEWVZhPuaB2yiSGtsalYUg2xL7lJjoYo4h3RC0ZpsD7j1krSINVZHzheB_nUjtwiYJsmoUhx8Iq8rM/s1600/batugajah-01a-56cf5adfe422bd1a3f562843.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinJt0RSpk47iow8h3GQuP2QsFgtZoIunKhFpU-xKnTxW_5jx-J-BnxplDWVHbxnlEWVZhPuaB2yiSGtsalYUg2xL7lJjoYo4h3RC0ZpsD7j1krSINVZHzheB_nUjtwiYJsmoUhx8Iq8rM/s1600/batugajah-01a-56cf5adfe422bd1a3f562843.jpg" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBRQrJa5ouzysLqKgk9USaWWtAEHkNjUdRyQlvQOZkQ4QIITKQYPpz1W8te9mPBYfmqfq0p_2s4faVCMNTx9gDZO0MS4Rr73c7BieekNh2iQ3FJtt-NSeIC9bKqYTzbwYnabp7gnlxWvk/s1600/cagar-alam-batu-gajah-56cf5b1c81afbd424be5f0d4.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBRQrJa5ouzysLqKgk9USaWWtAEHkNjUdRyQlvQOZkQ4QIITKQYPpz1W8te9mPBYfmqfq0p_2s4faVCMNTx9gDZO0MS4Rr73c7BieekNh2iQ3FJtt-NSeIC9bKqYTzbwYnabp7gnlxWvk/s320/cagar-alam-batu-gajah-56cf5b1c81afbd424be5f0d4.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
4-7: Situs megalithik Batu Gajah, sebuah batu yang dibentuk menyerupai
gajah sebanyak 2 buah, peninggalan agama Buddha ini telah diteliti oleh
tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs
ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan
Kabupaten Simalungun.</i></span></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i><br /></i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra. Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu. Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya. Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan. Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak. Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua. Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRQrOPBoFlba68PieLVq9B4ALKBLlPtJTWdJTSzJ9PdGWVwXSi5W-mhl9jUpJUvyLkwWq5dnB0eMU5S5kvJTc9X7srsfXERYgf4bSOs42uPtDevLqBCRmxV7br9i7huHW1UxyVr7o7wSE/s1600/batukatak01a-56cf606e81afbdb34ae5f0dc.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRQrOPBoFlba68PieLVq9B4ALKBLlPtJTWdJTSzJ9PdGWVwXSi5W-mhl9jUpJUvyLkwWq5dnB0eMU5S5kvJTc9X7srsfXERYgf4bSOs42uPtDevLqBCRmxV7br9i7huHW1UxyVr7o7wSE/s1600/batukatak01a-56cf606e81afbdb34ae5f0dc.jpg" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
8: Situs Batu Hatak, sebuah patung yang dibentuk menyerupai katak.
Berada di lokasi yang sama dengan situs Batu Gajah di dusun Pamatang
desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Penulis
mengakui tidak banyak orang yang mengetahui kerajaan ini, hal ini
terjadi akibat kurangnya publikasi dan upaya penelusurannya tidak
komperehensif dan berlangsung secara berkesinambungan. Pada masa
kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah
pedalaman Simalungun kemudian meluas ke pesisir Sumatera Timur, mulai
dari Aceh di utara dan Riau di selatan. Bukti luasnya wilayah Nagur
ditandai dengan adanya sejumlah tempat yang identik dengan bahasa
Simalungun dan nama Nagur sendiri juga turut diabadikan untuk meneguhkan
keberadaan daerah itu adalah bagian dari Nagur. Di tanah Karo, hingga
saat ini masih bisa ditemukan sebuah kampung bernama Perjuman Nagur yang
pada zaman dahulu dijadikan lokasi perladangan. Kampung kecil ini
sekarang masuk desa Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, tanah Karo.
Masih di kecamatan yang sama ada juga kampung bernama Bah Turak dan Bah
Gorih yang kini beralih menjadi Beturah dan Bagerih, juga Liang Dahar,
Liang Hajoran, dan Nagori Jahei. Di tanah Pakpak tepatnya di Kecamatan Si
Empat Nempu ada sebuah kampung bernama Buntu Raja, kampung yang senama
dengan itu juga terdapat di desa Sitanggor Kecamatan Muara Tapanuli
Utara. Di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepat di bibir
pantai Bedagai ada sebuah kampung bernama Nagur. Barangkali pada zaman
dahulu tempat ini pernah menjadi dermaga dan pusat perdagangan Nagur. Di
tanah Simalungun sendiri masih bisa disaksikan ada kampung Nagur Usang,
Nagur Bayu, Nagur Panei, Nagur Raja (kini berubah jadi Naga Raja), Nagur <span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">L</span>aksa, Nagur Panribuan, Mariah Nagur, Nagur Dolog, dan Nagur Bolag. Di Tiga Runggu dan Tiga Dolog juga terdapat sebuah kampung
bernama Parhutaan Nagur, di Tiga Dolok lokasinya agak jauh masuk ke
pedalaman. Ada yang menduga kedua tempat ini pernah menjadi pusat
pemerintahan Nagur. Di provinsi Riau ditemukan banyak nama tempat yang
berlatar "pamatang" yang berarti badan atau ibukota, ini menjadi salah
satu indikator yang membuktikan betapa luasnya pengaruh Nagur di zaman
dahulu. Ada Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang
Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv9yTU75-LkHgwLnb5bniafE-tYoHhWKAevAfuEcYvCFpsKGv28Nrc2m8TEotn3X8xqEK2ut_gNvNOEJfAIWtF0vgD6LTHjHIJuyxBCLZ4xnkzTlWd1b-cHW6V36Y1u9beP_SyE5XYtbw/s1600/1510476-754489531251469-6466569350782494695-n-56c67416d57e611110b91a25.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv9yTU75-LkHgwLnb5bniafE-tYoHhWKAevAfuEcYvCFpsKGv28Nrc2m8TEotn3X8xqEK2ut_gNvNOEJfAIWtF0vgD6LTHjHIJuyxBCLZ4xnkzTlWd1b-cHW6V36Y1u9beP_SyE5XYtbw/s1600/1510476-754489531251469-6466569350782494695-n-56c67416d57e611110b91a25.jpg" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDEDtdSdRowj9H129aoFoH-h-HnBUi9MPhKDttTADpYYMISaa3BRvmOLHdHK0YdvkB3UammbqC1vfyfIQ2-wMewB9iOWgvE6keYi8BPQfkfd2Lh72BKzkjhfWTjPZ2o1n3JRShxr41VMA/s1600/1656342-754489364584819-4293571345802221174-n-56c674396523bdc90493fd03.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDEDtdSdRowj9H129aoFoH-h-HnBUi9MPhKDttTADpYYMISaa3BRvmOLHdHK0YdvkB3UammbqC1vfyfIQ2-wMewB9iOWgvE6keYi8BPQfkfd2Lh72BKzkjhfWTjPZ2o1n3JRShxr41VMA/s1600/1656342-754489364584819-4293571345802221174-n-56c674396523bdc90493fd03.jpg" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH483AkmFldqyAdNvC-PA_Qvq8effPH3V_ev1CA8lZ1pcCgPec4EApk4oGpe-X5wnVW77g6ekbGfSiWvfr4pdLqkkws9H10vZiQccFBHjijCGWHIrAf5GpcJIaux06CK8AfaSJ5LcyVKI/s1600/1620708-754489291251493-7077076681752821478-n-56c674599893733f05983454.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH483AkmFldqyAdNvC-PA_Qvq8effPH3V_ev1CA8lZ1pcCgPec4EApk4oGpe-X5wnVW77g6ekbGfSiWvfr4pdLqkkws9H10vZiQccFBHjijCGWHIrAf5GpcJIaux06CK8AfaSJ5LcyVKI/s1600/1620708-754489291251493-7077076681752821478-n-56c674599893733f05983454.jpg" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTYEXkxCa_C9qVFesOm0twVBoKazhIH1Y78zSy-dOELixxt_-AfTPXoDJAdjAUNXhbQ6BTYKEX1BnKzGyrzK9nNwPsckM40f7yxL5De_Lo8tSebyTMjJWKnxiGJfFKeqw353wTuclMeIA/s1600/10154123-754489634584792-2123702403646215044-n-56c6748f579773dd04f303c7.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTYEXkxCa_C9qVFesOm0twVBoKazhIH1Y78zSy-dOELixxt_-AfTPXoDJAdjAUNXhbQ6BTYKEX1BnKzGyrzK9nNwPsckM40f7yxL5De_Lo8tSebyTMjJWKnxiGJfFKeqw353wTuclMeIA/s1600/10154123-754489634584792-2123702403646215044-n-56c6748f579773dd04f303c7.jpg" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
9-12: Makam Raja-Raja Nagur dan keturunannya yang diperlihatkan oleh
Tuan Subirman Damanik disaksikan tim Komunitas Jejak Simalungun.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Kemajuan dan Perkembangan Nagur</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sebagai
sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan
selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya
terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga
masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di
sebelah timur. Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur <i>(pamatang)</i>,
para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal
yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan
sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota
Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas
Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog
(Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Sungai Bah Bolon yang berada di hilir
daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke
Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat
Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu,
dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur
terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang
didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di
Mariah Nagur. Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari
perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur,
pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur,
kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima <i>(puanglima)</i> dan hulubalang <i>(parsaholat)</i>,
dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan
para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan
menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja
dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara
yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud
menyampaikan makalahnya di hadapan para tokoh ulama dan sejarawan
lainnya seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Ali Hasjmy, Dr. Ruslan Abdul
Gani, Tengku Luckman Sinar, SH (budayawan Melayu), Muhammad Said (pendiri Harian Waspada), Dr. Lance Castles, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Prof. Dr. K. Das Gupta, Prof. Dr. Wan Hussein Azmy, Prof. A.
Madjid Ibrahim, Abu Hassan Sham, MA, Drs. UU Hamidy, Drs. Zainuddin
Mard, Timur Jailani, MA, Tengku Abdullah Ujung Rimba, Zainal Arifin
Sregar, BSc, dan Prof. Ismail Hussein. Dia menceritakan secara singkat
tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan
selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai. Untuk membuktikan keberadaan
Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur
Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu. Dia
juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan
berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga
menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin
interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi
ular tikar <i>(balun bigou/bidei)</i> untuk dijadikan permadani yang
dilatih agar bisa terbang dan membawa dua orang di punggungnya. Ukuran
ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter. Bukti adanya pengaruh
budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan
terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi
nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar,
Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar
Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar
Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang,
Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar. Dalam
Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu
kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya <i>(pamatang)</i>
memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut
"layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari
perak. Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang
dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada
di Tolbak Pargambirian.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan
menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa
lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung,
jelutung, merbau, rambung merah <i>(balata)</i>, dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja <i>(tualang) </i>sebagai sarang lebah madu <i>(huramah)</i>. Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat <i>(bonbon)</i> yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut <i>hotihoti</i> juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus
obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin. Tempat penyimpanan
obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau
lubang tulang hewan dan bambu <i>(abalabal)</i>, setelah di tutup
rapat bagian luar ditempeli sarang madu. Adapun getah rambung merah
biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat
kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang
rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga
minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di
atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan
selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu. Getah rambung
merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah
damar dimasak dicampur dengan air perasan serai <i>(sanggesangge)</i> dan air perasan buah jarak <i>(dulang)</i>
yang sebelumnya ditumbuk halus. Setelah getah cair dapat digunakan
sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar
yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga <i>sihat</i> (lempengan
seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat
gagang pisau dan obat muntaber). Komoditi alam ini kemudian diangkut
melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai
sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah
sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil
seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga
pelabuhan.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan <i>(pangaldungan)</i>
bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur.
Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada
penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan
yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal,
namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam
menjalankan pemerintahan. Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton
Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama.
Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat
"Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat
antara rakyat dengan para pemimpinnya. Di bawah kekuasaan Raja Nagur,
rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin,
kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua
inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera. Raja Nagur juga
menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti
Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, </span></span>Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa
berjumlah 1.000 orang
untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah
Ambalotu. Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di <span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Talun Parhuppuyan (Dolog
Tinggi Raja). </span></span>Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan
agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol.
Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai
Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala
tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu
Jawa di Simanabun, Silou Kahean.</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dalam pustaha
Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan
keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik,
Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik,
dan puteri Anggaraini boru Damanik. Dalam Pustaha Parmongmong Bandar
Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora
(Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik
yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu
memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur.
Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja
Nagur. Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur
adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan,
Simaringga, Usang, dan Bayu. Kemudian keturunan Damanik yang mendiami
pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong,
Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Pada masa terjadinya
pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke
Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi
sekitar tahun 1200 Masehi. Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian
arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu
di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal
mula leluhur mereka Si Raja Batak. Dari hasil ekskavasi dan penggalian
tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar
600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut
Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat
hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral. Hasil temuan ini sudah
diseminarkan di Universitas Negeri Medan (UNIMED) tanggal 9 Januari 2015
lalu dengan tema "Telaah Mitos dan Sejarah Asal Usul Orang Batak",
tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawai,
Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si, dan Guru Besar Antropologi UNIMED Prof. Dr.
Bungaran Antonius Simanjuntak.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Bangun dan Runtuhnya Nagur</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya
Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit
dan peperangan juga kian marak. Para penguasa-penguasa baru ini sangat
berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk.
Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan
Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau
Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi. Seperti yang
direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah
(1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi,
kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia
dan Kamboja. Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur,
kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya
banyak yang memerdekakan diri. Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan
Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan
kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi
sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha. Pada
prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang
memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di
Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu
memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun <i>(sior ipuh)</i>.
Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan,
mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat,
seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur.
Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal
dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan
Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat
ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak
lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di
tempat ini. Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke
Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau
Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten
Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram. Demikian juga
Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan
terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas,
Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini
masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi
tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para
musuh Nagur.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Untuk menstabilkan
kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan
diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan
Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja
Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik
Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau
Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan
Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara
dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai,
kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12).
Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei,
Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo,
sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai
Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman
mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur
yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase
dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah
kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya
meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah
pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari
Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi,
Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik
& Jaramen Damanik, 1976 : 11).</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3t11rzrex0HKXOsUAKuCY3bsE40LJpi32ADABkfiVZWYZCTj-ZNzype2IIog-pe9SZAci856HQRFdjHLK8731jVuhHQGNi-VMj9CwkQZvhpWsr8QP8nSnbZAsX7DnKUuog8AHLgcQNvY/s1600/1794561-725861380780951-1717898972-n-56c674aecf7e613a1a15b4dd.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3t11rzrex0HKXOsUAKuCY3bsE40LJpi32ADABkfiVZWYZCTj-ZNzype2IIog-pe9SZAci856HQRFdjHLK8731jVuhHQGNi-VMj9CwkQZvhpWsr8QP8nSnbZAsX7DnKUuog8AHLgcQNvY/s320/1794561-725861380780951-1717898972-n-56c674aecf7e613a1a15b4dd.jpg" width="213" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan
Franswell Fabo Saragih Sumbayak dari tim Komunitas Jejak Simalungun. Situs Nagur banyak yang
hilang dan hancur akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada tahun
1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi
Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui
dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala
tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para
pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan
pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan
(Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman
awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian
pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas
(Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan.
Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian
tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang,
Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi
oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab
Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan
mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh
Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu
Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan
kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati
(panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi
Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari
sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu
mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima
Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna
menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kerajaan
Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan
Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai
ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di
bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur
dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya
tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan
panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan
terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun
ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini
kemudian meniup <i>Salohap</i> untuk mengundang sekelompok hewan agar
datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang
membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan
tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu
membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga
datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau
membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung <i>tuldik</i>
yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima
tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok
hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik
Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak,
harimau, dan burung <i>tuldik</i>.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgugNis78Bpomos9irtyIVxxz6A4z_2VBIfyRHZPye46liaQ6n5RX7siY58Ri8eSO2r5saB9NTIYSNLmeX7mVzldqP6Hk-h3ZP8b8v8brT1iFAQPG3E5IN-LaAUrtbdntd9eyITYfmO8nk/s1600/12705383-907481306036536-3429737032378154222-n-56ceb131539773d313e0d75e.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgugNis78Bpomos9irtyIVxxz6A4z_2VBIfyRHZPye46liaQ6n5RX7siY58Ri8eSO2r5saB9NTIYSNLmeX7mVzldqP6Hk-h3ZP8b8v8brT1iFAQPG3E5IN-LaAUrtbdntd9eyITYfmO8nk/s320/12705383-907481306036536-3429737032378154222-n-56ceb131539773d313e0d75e.jpg" width="240" /></a></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBTZaRDDojeA8WbASriiqF2PCafLFOgvOghT6Z9WYj18dTzZoNvNxV9QfvqBhqBi50fLVEx0eAYSdSOFB9oCoGO0iFARHvFCqbjj5y6e_gYlQ-xO3D01bSyfYA6XjpAi9UWAyrgDDL0OM/s1600/12784817-1097488076957636-1911117015-n-56dc55af60afbd5019a21315.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBTZaRDDojeA8WbASriiqF2PCafLFOgvOghT6Z9WYj18dTzZoNvNxV9QfvqBhqBi50fLVEx0eAYSdSOFB9oCoGO0iFARHvFCqbjj5y6e_gYlQ-xO3D01bSyfYA6XjpAi9UWAyrgDDL0OM/s320/12784817-1097488076957636-1911117015-n-56dc55af60afbd5019a21315.jpg" width="246" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba
berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun,
Kota Pamatang Siantar</i></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Setelah
berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama,
pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah
seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan
mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan
membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie
yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah
keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola
tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur
dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima
menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan
Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara
Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah
Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli
Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan
Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka
tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan
Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di
Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai
Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk
pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku
Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada
tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di
Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil
membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini
kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar
Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam
tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera
Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak
ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah
kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat
Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala
Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya
mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira
bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh
Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin
Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu.
Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter
Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari
Nagur di Simalungun.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times new roman";">Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.</span></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-family: "times new roman";"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">J.
Tideman dalam bukunya <i>Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn
vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het
cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra</i> hal. 52-53, dia mengisahkan
tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di
mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat,
bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap
memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang
keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh
apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi
keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak
musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah
kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa
permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu
untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para
budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit
dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan
catur antara Tuan Batangiou dan Tuan Silou Malaha dari Nagur. Keduanya
sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari
yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang
berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12
orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan
permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari,
permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha
akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak
terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan
Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat
Siantar.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuan Batangiou kemudian
berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan
membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian,
akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras
(sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak
ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini
berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan
menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika
musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa
lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak
bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”.
Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun
keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan
terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha
menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi
peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar
kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada
yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi
yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang
datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di
tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan
kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo
Sipoldas Panei.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Bukti Arkeologis Tentang Nagur</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pada
saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak
Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan
Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean,
Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil
mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada
zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal
pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan
tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik
jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang
Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan
masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5
meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3
meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh
dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter
sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua
gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang
Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan
Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan
oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik yang dimulai sejak zaman Belanda hingga masa kemerdekaan.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1ZN60Ce7ryHwO1OhOLy_PE0SjtoMHN1pCdnEAjGXTXB10C4TWXge9cQMabuNNGvDGb-ts57IshyphenhyphensINZEy4dd39iUzrHAfZIqCVPjbZ6FZn_f5h2Nmc4MCIzYB2IKzfLKhHfTBi7mzfLM/s1600/10153094-754489204584835-2710263623324238726-n-56aa8efc2523bd990f2e3063.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1ZN60Ce7ryHwO1OhOLy_PE0SjtoMHN1pCdnEAjGXTXB10C4TWXge9cQMabuNNGvDGb-ts57IshyphenhyphensINZEy4dd39iUzrHAfZIqCVPjbZ6FZn_f5h2Nmc4MCIzYB2IKzfLKhHfTBi7mzfLM/s320/10153094-754489204584835-2710263623324238726-n-56aa8efc2523bd990f2e3063.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum
mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya
memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong
Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damadik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama <i>Batang Tahuran</i>.
Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang
dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu
diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan.
Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang
yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah
dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih
tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke
ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti
jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti
hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu
dipindahkan ke dalam <i>Batang Tahuran</i> berukuran <span style="text-decoration: underline;">+</span> 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk <i>(luluan)</i>. Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam <i>Batang Tahuran Batu</i>
(peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di
dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah
seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu
dibungkus dengan kulit kayu gaharu <i>(alim)</i> oleh saudari ayahnya <i>(amboru)</i> untuk dimasukkan ke dalam goa kering <i>(Liang Nakorah)</i>
di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur
Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang
Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan
hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari
kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat
penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka
tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering
melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat <i>(horja bolon)</i> yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19 Masehi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibvImZdEytwe6dKXm8BmEZyO-9aUOJBjkJYC8waDiJejfnDK2O0l_FDGTHJK5DNKqn-A7maUir1ocPQjur8Qt1Wy4PajKbdRnynpIM5YKwN5OLIGsq9ZwvLqXAWYmUm06jx17G2jxeS1o/s1600/1939732-754483354585420-4597359642115547371-n-56c674cb34977373048b4578.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="227" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibvImZdEytwe6dKXm8BmEZyO-9aUOJBjkJYC8waDiJejfnDK2O0l_FDGTHJK5DNKqn-A7maUir1ocPQjur8Qt1Wy4PajKbdRnynpIM5YKwN5OLIGsq9ZwvLqXAWYmUm06jx17G2jxeS1o/s320/1939732-754483354585420-4597359642115547371-n-56c674cb34977373048b4578.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Gambar
17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu
jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar
90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan
ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian
ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong
sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter.</i></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Di
Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat
sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran <i>pinarmombang</i>
pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa
Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat.
Ukiran bagian bawah adalah <i>jombut uou</i> melambangkan burung
merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang
berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari
bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha
yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman
dahulu menjadi benteng pertahanan <i>(hubuan)</i> Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun <i>Sibiangsa</i>, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang <i>(horbangan)</i>
yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak
kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda
dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan
usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu
tersebut terdapat sejumlah peluru <i>umbalang</i> (sejenis alat pelontar yang diayun).</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Kemudian
kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah
diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5
Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan
Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah
Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi
tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah
menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang
tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di
dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan
sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah
binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan
ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan
batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga
situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang
seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda
ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924,
surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April
1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah
telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini
menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai
KSDA Sumatera Utara II.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Relik-relik
peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua
bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan
ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil
ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di
sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei)
arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk
(patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian
juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan
istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak
ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar.
Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang
pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga
antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda
Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Penutup</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah
salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara
yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku
Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan
berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah
mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu
mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda,
perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan
pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini
dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang
berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh
keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan
kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri
jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun,
sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat
kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan
kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah
pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan
juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri
lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan
ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan
ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten
Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli
terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan
menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya
Kabupaten Simalungun.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><b>Daftar Pustaka:</b></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Battuta, Ibnu. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1957. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1976. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Damanik, Jahutar. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1977. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Dunn, Rose E. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1995. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Groeneveldt, </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2009. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.</span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Hasymy, A. 1981. Sejarah dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Kumpulan Prasaran Pada Seminar Di Aceh). Medan: PT. Alma'arif.</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Mills, J.V.G. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1970. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Muljana, Slamet. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2006. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Mulyana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKIS.</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Parlindungan, M.O. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">2007. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Pinto, F.M. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1692. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Purba, M.D, Letkol. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1986. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan.</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Purba Tambak, T.B.A. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1984. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: Percetakan HKBP.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Putro, Brahma. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1981. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company</div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Vlekke, Bernard H. M. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1943. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Zainuddin, H.M. </span></span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">1961. </span><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0North Sumatra, Indonesia3.5572827265412794 98.679199218752.5425372265412793 97.38830571875 4.5720282265412795 99.97009271875tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-15134405701401474132014-03-13T01:58:00.000+07:002015-11-17T05:44:06.426+07:00Dinamika Bahasa Simalungun Dialek Bandar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<b></b></div>
<b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b><br />
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi IX Tahun 2008)<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pengantar </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahasa
Simalungun merupakan media tutur bagi komunitas suku yang mendiami
beberapa daerah di kabupaten dan kota di Sumatera Utara, meliputi
Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar sebagai wilayah
sentral, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, Deli
Serdang dan Kota Lubuk Pakam, sebagian Asahan, dan Batu Bara. Bahasa
Simalungun sebagai bahasa ibu memiliki peranan penting dalam memaknai
kepribadian orang Simalungun atau memanifestasikan segala sesuatu yang
berkaitan dengan Simalungun, baik secara abstrak maupun konkrit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Petrus
Voorhoeve (1955) dalam uraiannya tentang bahasa Batak menyatakan,
bahasa Batak dibagi ke dalam 2 rumpun, yaitu rumpun utara (Pakpak,
Karo, dan Alas) dan selatan (Toba dan Mandailing-Angkola). Dari kedua
rumpun itu, bahasa Simalungun tidak termasuk ke dalam salah satunya,
tetapi ia, jelas Voorhoeve, berdiri di antara keduanya, utara maupun
selatan. Pada penelitian lanjutan yang dilakukan Adelaar (1981), ia
menyatakan bahasa Simalungun sejatinya berasal dari rumpun selatan,
yang kemudian memisahkan diri (tidak diketahui penyebabnya) sebelum
bahasa Toba dan Mandailing-Angkola terbentuk. Dari uraian ini penulis
menyimpulkan bahasa Simalungun lebih tua usianya dibanding ketiga
bahasa tersebut, terbukti bahasa Simalungun telah berwujud sebelum ketiga bahasa Batak lainnya terbentuk. Selaras dengan itu, Uli Kozok (1999: 14) menyatakan
jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan
aksara Simalungun menurutnya jauh lebih tua dibanding bahasa dan
aksara Batak yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkembangannya bahasa
Simalungun terus mengalami dinamisasi seiring dengan dinamika hidup
yang dilalui masyarakat Simalungun. Beragam fenomena hidup dan
pergolakan budaya yang berkepanjangan mulai dari konflik sosial,
perpindahan penduduk (migrasi), pernikahan, dan proses asimilasi
mengakibatkan pergeseran demi pergeseran terjadi secara
berangsur-angsur tanpa ada unsur kesengajaan. Konflik sosial di
Simalungun pada zaman dahulu bukanlah suatu keniscayaan, kenyataan
sejarah telah membuktikan Kerajaan Raya pada masa Raja Rondahaim
Saragih dengan bantuan Partahi pernah memerangi Kerajaan Sidamanik
hingga menghanguskan jasad Raja Itok (Tuan Na Hu Langit) dan menewaskan
sejumlah kerabat lainnya. Seorang penyumpit burung (pangultop) dari
tanah Pakpak dengan kecerdikannya berhasil merebut tahta Pertuanan
Purba dari tangan Tuan Simalobong Purba Dasuha. Pertikaian sesama
saudara ditunjukkan oleh Raja Rubun kepada saudaranya Tuan Suha Bolag, juga
perselisihan antara Purba Sidadolog dengan Sidagambir.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Faktor
pemicu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat Simalungun
umumnya ditengarai oleh adanya ketidakadilan, ketidakseimbangan,
kecemburuan, dan diskriminasi, hal ini ternyata sudah membudaya dan
menyatu dalam sendi-sendi kehidupan mereka sejak berabad-abad lamanya
dengan beragam peran dan perilaku yang mereka lakoni. Di samping
konflik sosial, migrasi dan eksodus besar-besaran dahulu pernah pula
terjadi, hal ini diakibatkan mewabahnya penyakit sampar (sejenis
kolera) di tengah-tengah mereka yang kala itu dianggap sebagai
penyakit yang sangat menakutkan dan sulit untuk terobati. Sebagai
solusi mereka kemudian memutuskan mengungsi ke luar daerah, ada yang
bertolak ke pulau Samosir, Humbang, Silindung, dan ke Toba. Kelompok
lain ada pula yang merantau ke tanah Karo, Deli, Serdang, Padang,
Bedagai, Asahan, dan Batubara hingga sampai ke pesisir Selat Malaka.
Ketika sampai di perantauan mereka lalu berbaur dengan masyarakat
setempat, penyerapan dan perpaduan budaya pun tak terelakkan hingga
beregenerasi. Ketika penyakit epidemik itu berakhir, sebagian orang
Simalungun kemudian kembali ke kampung halaman mereka, namun tidak
sedikit pula yang tetap bertahan di tanah perantauan. Akibat dari
eksodus ini, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan
orang Simalungun mulai dari pola hidup, praktik adat istiadat,
identitas marga, penggunaan bahasa, dan ideologi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beranjak
dari fenomena di atas merupakan pemicu lahirnya ragam bahasa
berbentuk dialek dalam bahasa Simalungun. Adapun ragam dialek yang
dimaksud yaitu dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Panei, Sin Purba, dan
Sin Bandar. Dialek Sin Raya dituturkan oleh masyarakat yang
berdomisili di Kecamatan Raya dan Raya Kahean, dialek Sin Dolog
dituturkan di Kecamatan Dolog Silou dan Bangun Purba. Sementara untuk
dialek Sin Panei dituturkan di Kecamatan Panei, Panombeian Panei, dan
Siantar. Dialek Sin Purba dituturkan di Kecamatan Purba, Haranggaol
Horisan, Silimakuta, dan Pamatang Silimakuta. Terakhir
dialek Sin Bandar dituturkan oleh masyarakat di Kecamatan Bandar,
Pamatang Bandar, Bandar Huluan, dan Bandar Masilam serta meluas
sampai ke Kecamatan Gunung Malela dan Gunung Maligas, di mana keduanya
dahulu merupakan daerah Pertuanan (landscape) dari Distrik Siantar,
Dolog Batu Nanggar (Distrik Panei), dan Bosar Maligas (Distrik Tanoh
Jawa). Sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu (Sauhur,
Edisi I-II Tahun 2007), dari sekian dialek yang menempati posisi sebagai tolok
ukur dan acuan standard berbahasa Simalungun adalah dialek Raya,
mengapa? Karena dialek Raya diakui sebagai bahasa yang terbentengi
dari pengaruh bahasa di sekelilingnya seperti bahasa Karo, Toba,
Mandailing-Angkola, Melayu, dan juga Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dialek Bandar</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana
uraian di atas, sentra penutur dialek Bandar ini mendiami daerah
yang secara topografis berada di daerah dataran rendah (hataran) dan
hilir (kaheian/jahei) dengan kehidupan sosial
masyarakat yang kerap mengadakan kontak dengan masyarakat Melayu di
perbatasan Simalungun–Asahan. Komunikasi di antara mereka sudah
berlangsung selama ratusan tahun, sehingga tidak menutup peluang
terjadinya transformasi budaya dan ideologi, seperti halnya di
Kecamatan Bandar Masilam sebagian besar masyarakat Simalungun berbicara
dengan bahasa Melayu. Fenomena itu tidaklah mengindikasikan adanya
gap dengan komunitas Simalungun yang lain, terutama mereka yang
berdomisili di daerah bagian atas (huluan), kenyataan sejarah
membuktikan Bandar dahulunya merupakan suatu kerajaan yang sejajar
posisinya dengan kerajaan Simalungun lainnya seperti Dolog Silou, Panei,
Tanoh Jawa, Siantar, Purba, Silimakuta, dan Raya. Dalam tatanan adat
pernikahan, Bandar merupakan “Anak Boru” dari Kerajaan Raya, karena
secara organisatoris yang berhak memangku kedudukan sebagai raja di
Kerajaan Bandar mesti dilahirkan dari Puang Bolon boru Saragih yang
berasal dari Kerajaan Raya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika
dilakukan perbandingan dengan pelbagai dialek Bahasa Simalungun yang
ada, agaknya dialek Bandar lebih dekat kemiripannya dengan dialek
Raya baik ditinjau dari logat, intonasi (langgam) maupun kosa kata.
Dari perbandingan kosa kata antara keduanya terlihat secara jelas
kemiripan dan ketidakmiripan. Namun, bila dilampirkan secara detail
seluruh kosa kata pada kedua dialek, dihasilkan persentase kemiripan
lebih menonjol ketimbang ketidakmiripan. Pemakaian kosa kata ini
menyebar di beberapa titik daerah, adapun sebagai basis pengguna
dialek ini yaitu mereka yang berdomisili di Kecamatan Pamatang
Bandar, yang dahulu merupakan ibukota dari Kerajaan Bandar.
Masyarakat penutur dialek bandar, mengakui banyak kosa kata yang
mengalami perubahan dari bentuk aslinya, dan tidak sedikit pula kosa
kata yang dahulu sering digunakan, namun kini sudah jarang dipakai.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemakaian
kata ganti kepunyaan (posesif) -ni dan -si, lalu fonem akhir h, g,
d, b, ui, ou, ei masih konsisten terdapat dalam bahasa Simalungun Sin Bandar.
Selain itu, dialek Sin Bandar juga mengenal aksara khusus nya,
penggunaan aksara ini sangat akrab digunakan dalam komunikasi, secara
teoretis aksara ini diletakkan pada kata kerja dasar (infinitif)
yang diawali huruf s dan didahului dengan imbuhan maN- dan paN-
seperti pada kata manungkun menjadi manyungkun, manisei—manyisei,
manuan—manyuan manerleng—manyerleng. Untuk kata yang berimbuhan paN-
terlihat pada kata panungkun—panyungkun, panisei—panyisei,
panuan—panyuan, panerleng—panyerleng. Bila merujuk pada aksara
Simalungun yang jumlahnya 19 huruf (surat sappuluh siah) aksara ini
memang ada ditemukan, namun dalam praktik komunikasi hampir tidak
pernah digunakan, barangkali hanya dialek Sin Bandar saja yang
mengenal penggunaan aksara ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berkaitan dengan seni sastra,
dialek Bandar mengenal cukup banyak kesusasteraan baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan, di antaranya ada yang digubah ke dalam bentuk
nyanyian seperti Doding Mananggei (di luar Bandar menyebutnya dengan
Taur-taur Simbandar) dan Inggou Simbandar. Ada pula yang yang
disajikan dalam bentuk prosa (turiturian) seperti turiturian Bah
Tobu, Tuan Simalango, Keramat Kubah, Pak Boru Na Martuah dan masih
banyak cerita rakyat yang lain. Di Bandar juga ditemukan beberapa
peninggalan dalam bentuk tulisan, di antaranya Pustaha Parmongmong
Bandar Sakuda, pustaha ini terakhir diwarisi oleh Tuan Alip Damanik
Bariba.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pengaruh dan Latar Belakang</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada
era dewasa ini pemakaian dialek Bandar sebagai bahasa komunikasi
secara perlahan telah mengalami pergeseran, sebagian besar masyarakat
lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian lagi ada yang
lebih gemar berbahasa Jawa, hal ini terjadi disebabkan derasnya
pengaruh komunitas suku Jawa yang populasinya lebih besar ketimbang
suku Simalungun, keadaan ini mendeskripsikan bahwa komunitas
Simalungun di daerah ini mengalami himpitan berat yang sudah terlanjur
basah sulit untuk dibebaskan. Hakikatnya jika melihat pada situasi
saat ini pengguna bahasa Simalungun khususnya dialek Sin Bandar hanya
tinggal segelintir saja jumlahnya bila dibandingkan dengan mereka
yang sudah beralih (salih) ke bahasa lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain
itu, dialek Bandar juga banyak dipengaruhi bahasa Toba, pada daftar
perbandingan kosa kata di atas terlihat adanya beberapa kemiripan
kosa kata. Keberadaan komunitas suku Toba di daerah Bandar jumlahnya
juga cukup signifikan dan pengaruh bahasa mereka secara otomotis
juga sulit dibendung, namun karena perbedaan keyakinan ideologi di
antara kedua komunitas pergaulan di antara mereka pun tidak seutuhnya
berjalan efektif, meski mereka hidup berdampingan. Masuknya imigran
Toba ke Simalungun terutama ke Bandar diawali sejak melemahnya
kekuatan Raja Bandar membendung arus imigrasi kaum pendatang, sehingga
memicu meledaknya perpindahan penduduk secara besar-besaran baik yang
datang dari Tapanuli Utara maupun Tapanuli Selatan. Hal ini sudah
berlangsung lama, namun derasnya gelombang migrasi ini terjadi pada
masa kepemimpinan Raja Bandar ke-6, Tuan Sawadim Damanik. Lemahnya
kekuatan Raja Bandar tidak lain disebabkan taktik politik kaum
Kolonial Belanda (Devide et Impera), di mana menjadikan mereka (para
Raja Bandar) sebagai boneka yang bisa diatur dan dikelabui demi
tercapainya tujuan mereka, pihak kolonial.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Strategi
kolonial ini ternyata berjalan mulus, dan akhirnya pasca
diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia, berbondong-bondong masyarakat
Simalungun menentang dan meruntuhkan kedaulatan para raja dengan
mengusung isu feodalisme dan anti-kolonial dengan sebutan Revolusi
Sosial. Kerajaan Bandar yang kala itu sudah dipangku oleh Tuan
Distabulan Damanik ternyata tak luput dari ancaman, dengan bantuan
sekelompok orang Toba, ia berhasil menyelamatkan diri. Atas bantuan
mereka, Distabulan kemudian menghadiahkan kepada mereka beberapa
bidang tanah untuk dijadikan pemukiman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terkait
eksistensi Suku Tapanuli di Simalungun, khususnya di Bandar,
keberadaan mereka ternyata mendapat tantangan dan kecaman yang besar
dari suku pribumi (Simalungun) mereka tidak begitu saja mau menerima
kehadiran mereka, suku Tapanuli, terbukti tidak sedikit dari mereka
yang dijadikan sebagai budak belian para raja dan kelompok masyarakat
biasa (paruma). Untuk meredam hal ini, maka banyak dari mereka yang
berafiliasi dengan orang Simalungun, menyembunyikan jati diri asli
mereka dan mengaku sebagai orang Simalungun. Di antara marga-marga
Tapanuli yang berafiliasi dengan marga Simalungun di wilayah kedaulatan
kerajaan Bandar, yaitu Silalahi (Simandalahi), Sipayung, Tambunan
(Tambun), Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar (Sidabutar), dan
Sinurat. Marga-marga ini umumnya menyatukan diri ke dalam sub marga
Sinaga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai pergolakan yang terjadi merupakan penyebab dasar
lumpuhnya kekuatan Simalungun, sehingga berimplikasi pada
ketidakpercayaan diri untuk mempertahankan apa yang menjadi hak
mereka. Sebagai contoh seorang Simalungun akan menjadi Toba bila
bergaul dengan orang Toba, demikian juga ia akan menjadi Karo bila
sering berhubungan dengan orang Karo, begitulah seterusnya. Proses
penyatuan diri yang kerap dilakukan orang Simalungun ke dalam komunitas
lain, secara otomatis akan menghapuskan jati diri mereka sebagai
orang Simalungun, barangkali ia akan merasa enggan berbicara dalam
bahasa Simalungun, berbudaya ala Simalungun, dan lebih lanjut ia pun
akan dengan mudahnya mengganti marganya dengan marga dari komunitas
yang ia masuki. Sungguh memilukan…!!!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Simpulan</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari
sekelumit uraian di atas disimpulkan bahwa Bahasa Simalungun
mengenal beberapa dialek yang tersebar di seluruh Kabupaten Simalungun
bahkan menembus sampai ke luar. Masing-masing dialek satu sama lain
memiliki perbedaan, bahkan dalam melakukan komunikasi antar silang
dialek mereka tidak saling memahami. Di wilayah Bandar yang secara
geografis berbatasan dengan daerah Melayu Asahan-Batubara, komunikasi
dalam bahasa Simalungun masih tetap eksis digunakan, namun demikian
pengaruh bahasa Melayu sedikit banyak turut mewarnai perkembangannya,
itu terlihat dari kosa kata (leksikal) dan sistem bunyi (fonetik)
yang terdapat di dalamnya. Selain itu dialek Sin Bandar juga mendapat
pengaruh dari bahasa Toba dan Jawa. Maka bukanlah suatu pemandangan
yang mengherankan bila di beberapa titik di wilayah Bandar dijumpai
sekelompok masyarakat yang lebih aktif menggunakan bahasa Toba atau
Jawa ketimbang bahasa Simalungun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pergolakan sosial-politik dan
budaya yang menyelimuti suku Simalungun selama berabad-abad sangat
berperan dalam menggilas dan melumpuhkan kebudayaan Simalungun, hal
ini berimplikasi buruk pula terhadap perkembangan bahasa. Kepribadian
mereka yang selalu bertimbang rasa dan merasa terisolir yang kerap
diperankan orang Simalungun mengakibatkan diri dan apa yang mereka
miliki praktis terabaikan.</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0North Sumatra, Indonesia3.5134210456400443 98.679199218751.4851685456400445 96.09741221875 5.5416735456400446 101.26098621875tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-84213489882823426842014-03-10T03:58:00.002+07:002015-11-17T05:42:48.085+07:00Turiturian Parmulani Laut Tadur<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px;">
<b></b></div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px;">
<b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b><br />
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi X Tahun 2008)<b> </b></div>
<div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Sapari adong ma sada huta na ginoran Tadur, buei do pangisi ni huta on. Na ginomgomni morga Damanik. Anggo pansarianni sidea bagei do, adong na marjuma, maragad, mambayu, anjaha bahat horja na legan songon na somal ihorjahon ompungta sapari. Bahat do halak na sihol marianan ijon. Bani sada panorang misir ma sidea marharoan hu juma, ganup humbani paramangon, parinangon, garama, ampa anak boru, pitah dakdanak do hansa na tading i huta. On ma gatni na ginoran sapari horja sahuta.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Lahouhonsi sidea, puar ma dakdanak nokkan marguroui. Adong ma sahalak na marsahap, <i>“Ai manggual ma gelah hita!, aha be nari gurou-gurouon….???”</i>. Ibalosi hasomanni ma <i>"Anggo sonai etah ma…!”. </i>Igualhon sidea ma tongon gondrang ia, adong koma na marsulim ampa marsarunei. Hape songon na lepak ma tangaron inggouni,<i> “matornoh ho tadur……matornoh ho tadur…!”</i> sonai ma inggouni. Haru ma pangahap ni parhuta simbalog mambogei ai, marsampang ma sidea, <i>“Aih songon na lepak do bogeion inggouni gual on alo…!”</i>. Seng piga dokah matornoh ma tongon huta ai halani lalap do idugut sidea manggual, tarsonggot ma ganup sidea mangidah, roh dokahni lambin roh hu toruhkon ma tanoh na idogei sidea anjanah mangihut ma homa sidea hu toruh. Marbirsaki ma bah ia lanjar lonop ma dakdanak nokkan iinsop bah ai, bungkulanni rumah pe seng taridah bei nai homa pinahan pe mogap ma. Saud ma tongon gabe bah bolag huta ai. Hunjai ma ase igoran huta ai Laut Tadur.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67FT0LgrB12NbAbXVjS4HWLPq-MA1Mr0TB0QgTnR6cSJ91DqGTtgHIF2D6gb7JgE_CaUUa11iBU8br4BEM0O1Yu9qevZFTaKZtzQBzAEGiSM1rUnaatw4YP4rF6LByhABqQV_JTMaoQU/s1600/548022_480305832003175_110219355_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="227" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67FT0LgrB12NbAbXVjS4HWLPq-MA1Mr0TB0QgTnR6cSJ91DqGTtgHIF2D6gb7JgE_CaUUa11iBU8br4BEM0O1Yu9qevZFTaKZtzQBzAEGiSM1rUnaatw4YP4rF6LByhABqQV_JTMaoQU/s1600/548022_480305832003175_110219355_n.jpg" width="320" /></a></div>
</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: center;">
Gambar 1: Laut Tadur tahun 1903-1920</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Mulakhonsi odoran hun juma ididah sidea ma dobma luhuk anjaha lonop huta ai, marhata bei ma sidea, <i>“Ai mase boi gabe sonon hutanta on atene…?, dobma gabe bah alo”. “Huja do ale anakhu, rumahku, ampa pinahanhu ai….?”</i> nini sidea ma. Adong ma pigapiga halak na manghatahon, <i>"Mogap i bagas bah in ma gatni sidea ai”</i>. Marsilumpat ma deba hu bagas lahou mangindahi anakni, seng adong bei biarni sidea mangidah bah ai. Hape dashonsi itoruh sahalak pe lang dong na bansah, ganup ma sidea mogap itolon bah ai. Janah na tading i datas sai doruh-doruh, seng ibotoh sidea bei aha nari na lahou sibahenon. <i>“Lang tarurupi sidea be in, domma rongkap ni hutanta ma gatni on….”,</i> nini sidea ma. Ninggan gabe homing do halak na matei ibagas bah ai, ai ma pangisini bah bolag on anjaha iporsayai halak do ronsi sondahan on boi mamberei tuah ampa pamalumhon naborit.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Ronsi sondahan on tingki bulan tula tarbogei do sorani gual hun laut ai. Ijia adong ma sahalak na margoran Tialam, boritan ma niombah ni. Adong ma uhur inanginangni ase ipatambarhon hu datu irik marbulawan ma sidea anggo malum holi sibaenon ma horja i bah bolag ai. On ma bonsir ni Laut Tadur on ijadihon ianan parbulawanon, anggo ijia dayok do na somal gabe parsombahan, tapi nuan boi do hambing, horbou atap lombu.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Bani taun 1955, adong ma tolu halak na marhasoman ai ma Bakhtiar Saragih, Hamid Damanik pakon Alamsyah Purba. Anggo hutani sidea, Bakhtiar par Bajalinggei do, Hamid pakon Alamsyah par Sappang Buahni Sipispis. Ibagas taun ai misir ma sidea hu huta Situnggung dohor Laut Tadur, parlangkahni sidea hujai lahou mamungkah parjumaan do. Alamsyah pakon Hamid dobma ongga hu Situnggung, Bakhtiar do hansa na lape, halak na dua ai do na mangharahkonsi. Bani sada panorang lahou ma sidea marhotang (hotang on lahou mambaen bubu pakon tampirei baen panangkap ihan i Bah Situnggung), marsahap ma sahalak humbani na tolu ai, <i>“Hu Laut Tadur malah hita marhotang tene ase boi mangan ihan holi hita ijai”</i>. Lahou ma tongon sidea hujai pitah indahan pakon lansina tinuktuk do hansa iboan baen bohal.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Dashonsi ijai ipatumpu sidea ma hotang, marsitorih hotangni bei ma sidea. Tongahni ari marsaran ma sidea. Parsaranan ni sidea on seng pala daoh be hun Laut Tadur, martaur ma sahalak humbani sidea, <i>“Sungkup ma gatni hotang on atene, manghail ma lobei hita”</i>. Sanggah na manghail ai dapot si Hamid ma tungkul ni jagul, Alamsyah dapot sipusipu, anjaha Bakhtiar dapot ihan samasam piripiri. Longang bei ma sidea mangidah ai, mardogir ma ambulu tangkuhuk ni sidea, sanggah manghail iahapkon sidea do songon na iharat ihan do ompan ni hape dob ipasintak hape legan do na dapot. Surdung mata ni ari mulak bei ma sidea, sanggah ibagas pardalanan kahou ma sidea, si Hamid do si pamboan dalan na parlobei, dobhonsi ai igantihkon ma use pakon si Alamsah, hape seng homa dapot dalan mulak.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Parpudi igantihkon ma pakon Bakhtiar, ilajou sidea ma use mamontasi dalan, mangindou tuduhtuduh ma ia hubani begu-beguni ompung ni sapari, dobhonsi ai panal ma taridah dalan, seng piga dokah das ma sidea. Dashonsi i Situnggung pajumpah ma sidea pakon ompung Sari Bulan Purba ipatorang ma hubani pasal na masa ai, iturihon ompung ai ma hubani sidea turiturian ni Laut Tadur nokkan.</div>
<div style="font-family: 'lucida grande',tahoma,verdana,arial,sans-serif; font-size: 13px; line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
Laut Tadur on nuan masuk 2 kacamatan ai ma Kecamatan Dolog Batu Nanggar Kabupaten Simalungun pakon Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batubara, i topi ni laut on nuan dobma gabe hobun ai ma Hobun Laut Tadur.</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0North Sumatra, Indonesia3.5353521454008781 98.7011718751.5065076454008781 96.119384875 5.5641966454008784 101.282958875tag:blogger.com,1999:blog-7895979537211154118.post-77328684042590901602014-03-10T03:56:00.002+07:002016-07-30T02:20:38.794+07:00Hikayat Partigatiga Sipunjung dan Anggaranim<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><b>Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd</b></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Sekitar abad 13 hiduplah tiga orang bersaudara keturunan marga Damanik yaitu Parmata Manunggal, adiknya Partigatiga Sipunjung, dan saudari tiri mereka Anggaranim. Ketiganya bermukim di suatu kampung kecil yang dahulu disebut Siantar Matio (daerah ini diduga dekat Sibisa, Lumban Julu tidak jauh dari Kota Parapat). Di masa mudanya Partigatiga Sipunjung dikenal sebagai seorang pemuda tampan, demikian juga kakak tirinya Anggaranim seorang gadis jelita dan rupawan, kegiatannya sehari-hari hanya bercermin pada mata air. Sementara Parmata Manunggal berbeda dengan keduanya, ia terlahir dalam keadaan cacat, bermata satu, dan bermuncung panjang <i>(Si Sada Mata Si Ganjang Unsum)</i>. Namun dengan keadaan seperti itu, justru tidak membuatnya kehilangan kepercayaan diri, ia tetap mampu tampil sebagai seorang abang yang siap mengayomi adik-adiknya. Di mana setelah adiknya, Partigatiga Sihapunjung mendirikan Kerajaan Siantar, ia ditugaskan sebagai penguasa di Sipolha.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Partigatiga Sipunjung merupakan seorang pedagang kerbau yang sering berkelana demi menjual dagangannya, keluar kampung masuk kampung dan keluar hutan masuk hutan. Pada suatu hari sampailah ia di suatu kampung yang bernama Silampuyang (dekat Marihat Kasindir, Tiga Balata sekarang), ia pun menetap di kampung itu. Kehadirannya disambut baik oleh masyarakat setempat, sebagai seorang pengembara ia cukup lihai menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ia temui sehingga tidak sedikit orang yang menaruh hati dan bersimpatik padanya. Tuan Silampuyang bermarga Saragih Sidauruk yang merupakan penguasa setempat juga turut terkesima melihatnya hingga ia rela menyerahkan puterinya untuk dijadikan pendamping Partigatiga Sipunjung padahal di kampung asalnya ia sudah memiliki isteri dan beberapa orang anak, salah satu diantaranya bernama Si Ali Urung yang bergelar Ompu Barita yang di kemudian darinya lahir si Bagod Dihitam. Ketika berada di tempat itu, usaha dagang kerbau masih terus ditekuninya hingga mendapat keuntungan besar, sang mertua pun sangat bangga terhadapnya. Mengetahui keadaan adik mereka yang berlimpah dengan harta, abangnya Parmata Manunggal dan kakak tirinya Anggaranim kemudian menyusul adik mereka ke Silampuyang. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Partigatiga Sipunjung tiba-tiba mengalami bangkrut (punjung) besar-besaran sehingga hal itu membuat sang mertua tidak mengaguminya lagi dan meremehkannya.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Tidak tahan mengalami perlakuan demikian, ia kemudian mencoba usaha baru beralih sebagai pedagang ayam, namun usahanya ini ternyata juga mengalami kebangkrutan. Kesedihan dan keresahan pun menyelimutinya hingga beberapa lama dan hal inilah yang menyebabkannya pergi melanglang buana meninggalkan kampung sang mertua. Dengan membawa sepasang ayam Manuk Sihulabu ia pergi menuju ke arah selatan tepatnya di suatu kampung tempat pertemuan aliran sungai Bah Bolon (kampung Tomuan, Pamatang Siantar sekarang). Pada masa itu di sekitar Pamatang Siantar telah terdapat beberapa perkampungan tua seperti Pamatang, Naga Bosi, Silampuyang, dan Dolog Malela.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Syahdan, di kawasan itu telah berdiri suatu kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Si Tanggang bermarga Sinaga, raja ini terkenal kaya raya dan menguasai wilayah yang sangat luas, dari Pamatang Siantar hingga ke daerah Tanoh Jawa sekarang. Ia termasyhur sebagai raja penakluk yang disegani banyak orang. Namun, ia sangat gemar bermain judi dan menyabung ayam. Dalam setiap permainan, ia selalu menang tak ada yang mampu menandinginya. Kabar itu tercium oleh Partigatiga Sipunjung, namun ia tidak sedikitpun merasa gentar untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah kerajaan tersebut.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Di tempat itu ia lalu membuka areal perladangan luas, berkat ketekunannya mengelola ladangnya lantas menghantarkannya menjadi sosok yang kaya raya dan terkenal serta menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Masyarakatpun berduyun-duyun mendatanginya untuk mengharapkan bagian dari hasil ladangnya, dengan sukarela Partigatiga Sipunjung memberikan hasil panennya namun dengan syarat mereka harus bersedia memanggilnya raja. Demi mendapatkan bagian dari Partigatiga Sipunjung, persyaratan itu pun mereka setujui. Berita ini pun sampai ke telinga Raja Si Tanggang, dengan berang ia lalu mengutus orang agar membawa Partigatiga Sipunjung ke hadapannya. Dengan menggunakan rakit terbuat dari rotan, pesuruh itu berangkat dengan menyeberangi sungai Bah Bolon menemuinya ke kampung Tomuan.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnXdth4mDEysV5j2xs6eIdgBSKMDbTfF8fc1IvD_2Fh6zI1EWoN__7oHvE8LTQX_xaIk4bBIfWB8u5Kd3RtRcasjTSKx7jBSK0ASHjTua6IlvbrHVbAu156mSSJN-wGPV4va4Ks5XRChI/s1600/rumahbolonsiantar2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnXdth4mDEysV5j2xs6eIdgBSKMDbTfF8fc1IvD_2Fh6zI1EWoN__7oHvE8LTQX_xaIk4bBIfWB8u5Kd3RtRcasjTSKx7jBSK0ASHjTua6IlvbrHVbAu156mSSJN-wGPV4va4Ks5XRChI/s1600/rumahbolonsiantar2.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Gambar 1: Rumah Bolon Kerajaan Siantar terbakar tahun 1919 Masehi</span></span></div>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Sesampainya di kediaman Partigatiga Sipunjung, pesuruh itu menyampaikan titah raja agar membawanya menghadap raja. Partigatiga Sipunjung dengan suka rela menuruti kemauan sang raja, mereka lalu pergi bersama menuju ke istana Raja Si Tanggang. Sesampainya di istana, dengan disaksikan banyak orang, sang raja lalu bersuara lantang dan bertanya kepada Partigatiga Sipunjung, <i>“Ise do ho ambia?”</i>. Tanpa rasa takut Partigatiga Sipunjung menjawab pertanyaan sang raja dengan mengakui dirinya sebagai raja. <i>“Hunja dalanni ho raja”,</i> tanya Raja Si Tanggang lagi, <i>“Ai na tongondo au raja”</i>, sahut Partigatiga Sipunjung. Berserulah Si Tanggang dengan nada keras penuh kedongkolan, <i>“Anggo sonai bijahonma gan anggo tongon do ho raja i datas tanoh harajaonhu on”</i>. Mendengar permintaan itu ternyata tidak menyurutkan keberanian Partigatiga Sipunjung, dengan penuh percaya diri ia bersumpah, <i>“Raja do au i datas tanoh na huhunduli on janah bah na huinum on”</i>. Keberaniannya bersumpah karena sejak awal ia memang sudah mempersiapkan bekal berupa sekepal tanah dan air yang dibawanya dari Siantar Matio sebagai persiapan bila terjadi sesuatu di perantauan. Mendengar pengakuan Partigatiga Sipunjung, Raja Si Tanggang sangat terkejut, namun dibenaknya berkata: <i>“Na tongon do gakni ambia on raja itanoh on”</i>. Untuk memuaskan rasa penasarannya, ia lalu bertanya kepada khalayak yang hadir di istananya, dengan spontan mereka menyerukan bahwa Partigatiga memang raja mereka.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><i><br /></i></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><i>“Anggo sonai marsabung dayok ma hita, ia anggo anggo talu dayokhu ibahen dayokmu, ho ma tongon raja ijon. Tapi anggo lang ahu do na talup gabe raja”</i>, kata Raja Si Tanggang kepada Partigatiga Sipunjung. Ajakan itu pun diterima Partigatiga Sipunjung dengan senang hati apalagi ia juga terkenal sebagai penyabung ayam yang ulung (karena kebiasaannya itu ia juga dikenal dengan gelar Raja Parmanuk Sihulabu). Adapun syarat pertandingan bila nantinya ayam Raja Si Tanggang kalah ia harus bersedia menyerahkan kerajaan dan seluruh harta bendanya kepada Partigatiga Sipunjung. Demikian pula sebaliknya bila ternyata Partigatiga Sipunjung yang kalah ia pun harus bersedia menyerahkan seluruh harta bendanya sebagai taruhan.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Turnamen adu ayam antara kedua belah pihak pun berlangsung, dengan cekatan Manuk Jagur Sihulabu milik Partigatiga Sipunjung berhasil melumpuhkan ayam Raja Si Tanggang. Kekalahan silih berganti berada di pihak Raja Si Tanggang hingga enam babak enam ekor ayamnya pun tewas. Pada babak ketujuh, Si Tanggang meminta agar panglimanya dipertaruhkan sebagai lawan dari ayam Partigatiga Sipunjung. Permintaan itu disetujuinya, ia lalu menaruh pisau pada taji Manuk Sihulabunya, namun sebelum mulai bertanding sang ayam terlebih dahulu mengibaskan sayapnya pada pasir, tiba-tiba serangan dari lawan menghampiri, dengan sigap sang ayam melompat dan mendarat di atas kepala panglima tersebut. Sang ayam lalu mengibaskan sayap yang mengandung pasir itu, lantas terkena mata si panglima, pada saat itu disebatkanlah tajinya tepat di leher si panglima hingga terputus. Menanglah ayam Partigatiga, namun tidak lama kemudian ia lalu terbang ke langit dan tidak kembali lagi.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Melihat kekalahan itu dengan berat hati dan sesuai dengan kesepakatan, Raja Si Tanggang harus bersedia menyerahkan segala harta kekayaannya termasuk kerajaannya kepada Partigatiga Sipunjung. Tidak sanggup menahan rasa malu, Si Tanggang kemudian memutuskan menyingkir ke Tanah Jawa ke tanah leluhurnya. Sejak saat itu resmilah Partigatiga Sipunjung sebagai raja di wilayah bekas kekuasaan Raja Si Tanggang. Dibuatlah nama baru untuk kerajaan yang berhasil direbutnya itu dengan nama Siantar mengikuti dari nama kampung asalnya Siantar Matio (ada juga keterangan yang menyebutkan kata Siantar berasal dari kata palantar, ruang luas untuk tempat bersidang atau berdiskusi, karena pada zaman dahulu ketika pelantikan Raja-raja Marompat, tempatnya di palantar Rumah Bolon Raja Siantar. Ada lagi yang mengatakan istilah ini diserap dari kata antar, suatu jenis tumbuhan yang kala itu banyak ditemukan di tempat itu).</span></span><br />
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWVso_r2xM9kUDQgjVjvKNb6chd2H0InUn8mDuAlCQaCQTtHcUxVKibpeDqnfPAuFYD05BuREs1Jm31NqHOzE4mDsV_mTQSagVlWIwOXvJtSj_-AzJccMttzLYaeQLRJG_tF4JqSC-5CM/s1600/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_huis_van_de_raja_van_Siantar_TMnr_10015095.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="251" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWVso_r2xM9kUDQgjVjvKNb6chd2H0InUn8mDuAlCQaCQTtHcUxVKibpeDqnfPAuFYD05BuREs1Jm31NqHOzE4mDsV_mTQSagVlWIwOXvJtSj_-AzJccMttzLYaeQLRJG_tF4JqSC-5CM/s1600/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_huis_van_de_raja_van_Siantar_TMnr_10015095.jpg" width="320" /></a></span></span></div>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Gambar 2: Rumah Bolon Kerajaan Siantar tampak dari samping</span></span></div>
</div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Mendengar keberhasilan Partigatiga Sipunjung, abangnya Parmata Manunggal dan kakaknya Anggaranim kemudian datang menyusulnya. Ia lalu memberikan titah kepada Parmata Manunggal untuk mendirikan pertuanan di Sipolha, sementara kakaknya, Anggaranim tetap tinggal bersamanya di Siantar. Setelah beberapa tahun menjabat sebagai raja dan usia pun sudah mulai lanjut, Partigatiga Sipunjung kemudian kembali ke kampung halamannnya ke Siantar Matio untuk menemui putranya Ali urung untuk menyerahkan Kerajaan Siantar agar penerus kerajaan itu tidak terputus. Setelah itu dinobatkanlah Ali Urung jadi Raja Siantar, ia menikah dengan seorang putri <i>(panak boru)</i> keturunan Partuanon Gajing. Sementara kakak tirinya, Anggaranim yang berwajah cantik tidak kunjung memperoleh jodoh sebagai pendamping hidup. Anggaranim pun meresahkan kehidupannya, ia lalu pergi ke sebuah mata air <i>(sumbul)</i> yang kini dikenal dengan mata air Tapian Suhi Bah Bosar.<b> </b></span></span><br />
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><b>Anggaranim Menjelma Jadi Ular</b></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Guna menghilangkan rasa gelisah, Anggaranim terus menerus menyendiri di tepi mata air tersebut. Pada suatu kali, sebuah dahan kayu besar dan tajam jatuh dan mengenai hidungnya hingga tergores dan mengeluarkan darah. Karena merasa kecantikannya jadi pudar dan rusak, Anggaranim merasa malu untuk kembali ke rumah. Ia pun berdoa agar hidungnya sembuh dan kembali sempurna seperti sedia kala, namun permintaannya itu tidak kunjung terkabul akibatnya ia terus saja berdiam diri di tepi mata air itu sambil meratapi nasibnya. Melihat kakaknya selama berhari-hari tidak kembali, Partigatiga Sipunjung lalu mengutus pesuruh untuk mencari tahu keberadaan Anggaranim, tidak lama kemudian ia pun ditemukan, ketika mereka melihat keadaan Anggaranim, mereka sangat terkejut dan segera melaporkan hal itu kepada Partigatiga Sipunjung. Mendengar berita itu, ia lalu pergi melihat langsung ke lokasi di mana kakak tirinya itu berdiam diri. Namun ia pasrah dan tidak mampu mengupayakan agar Anggaranim dapat sembuh dari musibah yang dialaminya. Keluarga istana hanya bisa menahan rasa pilu dan mengirimkan bekal makanan untuknya.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Berita ini kemudian meluas ke tengah khalayak, lantas mereka berbondong-bondong pergi ke tempat di mana Anggaranim bersemayam, melihat hal itu ia (Anggaranim) kemudian meminta kepada mereka agar memberikan kain sarung kepadanya yang dinamakan <i>Hiou Sindei</i> (kain ini menyinarkan cahaya berkilauan) agar dijadikan kain penutup tubuhnya. Namun pagi harinya, ketika khalayak ramai itu kembali berkunjung ke tempatnya, mereka sangat terkejut karena melihat tubuh Anggaranim mulai dari ujung kaki sampai pinggulnya telah berubah menjadi seekor ular yang besar, sedang bagian atas tubuhnya masih berwujud manusia. Kabar perubahan Anggaranim menjadi seekor ular besar ini kian meluas ke seluruh penduduk dan kerajaan Simalungun lainnya.</span></span><br />
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjK3QyUQXa4zNjSYImj5j6gOSxWn1D5L-KrzKkJWP9qrdlsER7ZGOpuXNGfdlzuPP3P9E11rvl7MTHKNlsEqPN_0Cl0L3Ip-DlVaksGoWda30UUQPvIRhNJ9SRUc_STtykJtsn_3TxUjg/s1600/1517492_754483117918777_5855112422700703820_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjK3QyUQXa4zNjSYImj5j6gOSxWn1D5L-KrzKkJWP9qrdlsER7ZGOpuXNGfdlzuPP3P9E11rvl7MTHKNlsEqPN_0Cl0L3Ip-DlVaksGoWda30UUQPvIRhNJ9SRUc_STtykJtsn_3TxUjg/s1600/1517492_754483117918777_5855112422700703820_n.jpg" width="247" /></a> </span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Gambar 1: Lokasi tempat pemandian puteri Anggaranim sekaligus bertapa hingga ranting mengenai wajahnya, tim Komunitas Jejak Simalungun pada gambar tampak sedang membersihkan rimbunan ilalang yang menutupi batu di tempat pemandian itu.</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Semakin hari semakin banyak orang berdatangan menyaksikan kejadian aneh itu. Penjelmaan tubuh Anggaranim menjadi seekor ular berlangsung terus hingga sampai ke lehernya, hanya sebatas kepala dan rambut panjangnya yang masih berwujud manusia. Melihat peristiwa yang menimpa dirinya, Anggaranim meminta kepada khalayak ramai agar adiknya Partigatiga Sipunjung segera datang menemuinya bersama anak-anak dan cucunya guna menyampaikan kata perpisahan. Permintaan ini lalu mereka sampaikan melalui utusan raja. Partigatiga Sipunjung beserta anak cucunya telah tiba di tempat dengan diiringi suara gendang tarian bertopeng dan tarian lain yang ditampilkan guna menghormati Anggaranim yang telah berubah menjadi ular bersisik yang cantik dan berwarna-warni.</span></span></div>
</div>
</div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Tarian kematian dan kesedihan terus berlangsung, dengan penuh haru Anggaranim menyaksikan peristiwa yang terjadi di hadapannya, namun tidak setetes pun ia menitikkan air mata. Lagu dan tarian diikuti Anggaranim dengan menghentakkan ekornya ke air sembari mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda gembira dan menyetujui atas tarian dan gendang itu. Sejak berkumandangnya gendang dan tari-tarian mengiringi kepergian Anggaranimini, kemudian dikenal perayaan adat “Horja Turun”. Sebelum meninggalkan tempat itu, Anggaranim terlebih dahulu menengadahkan kepalanya ke atas permukaan air, kepada adiknya Partigatiga Sipunjung ia berpesan "Ada masa datang dan ada masa pergi. Bagiku tibalah saatnya untuk pergi selama-lamanya dan tak akan kembali. Mohon maafkan segala dosaku. Dosamu akan tetap berada dan tinggal di dunia dan sebagai hukuman, kumohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar anak-anak gadismu jangan pernah mengalami kejadian seperti yang kualami. Hendaknya tidak menjadi gadis cantik dan mempesona, karena di balik kecantikan itu akan ada musibah yang menanti". Demikianlah kata-kata terakhir Anggaranim, lantas seluruh tubuhnya menjelma menjadi seekor ular besar hingga ke bagian kepalanya, lalu ia pergi menyusuri sungai itu menuju kampung kristen sekarang ke sebuah sungai yang sekarang disebut Bah Sorma.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Begitu Anggarainim yang menjelma menjadi ular lenyap dari pandangan mereka, tari-tarian dan gendang-gendang kematian masih terus saja berlangsung hingga perlahan berhenti. Khalayak ramai yang menyaksikan kepergiannya kembali ke rumah mereka masing-masing dengan penuh haru dan pilu. Masing-masing mereka saling bertanya mengapa hukuman itu bisa terjadi pada diri Anggaranim. Sejak itu, nama Anggaranim berubah menjadi Nan Sorma atau Puang Sorma sesuai nama sungai Bah Sorma.</span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><b>Cahaya Aneh</b></span></span></div>
<div style="line-height: 16px; padding: 0px; text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Beberapa waktu kemudian setelah Nan Sorma lenyap ke dasar sungai bah Sorma, cahaya aneh tiba-tiba terpancar dari sebuah bukit di Bah Silulu, kelihatan seperti suatu benda berkilat bak sinar pelangi. Orang kemudian beramai-ramai menuju ke bukit di mana cahaya itu berada dan mereka terkejut melihat banyak ular berkeliaran di bukit itu. Mereka menduga salah satu ular terbesar adalah penjelmaan dari tubuh Anggaranim. Mereka lalu melaporkan peristiwa itu kepada raja Ali Urung, mereka lalu berkumpul di tempat tersebut sambil meletakkan sebuah kotak berisikan sirih. Tak lama kemudian muncullah seekor ular besar wujud dari Anggaranim alias Nan Sorma. Ia lalu membawa sirih itu, kemudian mengunyahnya sementara kotak sirih itu ia kembalikan kepada mereka, ia lalu menghilang ke semak-semak tanpa bekas. Sejak itu tempat di mana terjadinya peristiwa itu oleh keturunan Raja Siantar dijadikan sebagai tempat keramat yang mereka namakan Sombaon Nan Sorma.</span></span><br />
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Sumber: </span></span><br />
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Buku Sidamanik karangan Tuan Amin Damanik</span></span></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09117849600397822290noreply@blogger.com0North Sumatra, Indonesia3.5353521454008781 98.679199218751.507243645400878 96.09741221875 5.5634606454008786 101.26098621875