Totik Mansiathon Diri Marombou Bani Simbuei

My Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, November 4, 2016

Hikayat Tuan Barotbot dan Si Malangu

(Sebuah Folklore Dari Simalungun Hataran)

Oleh: Masrul Purba Dasuha

Pada zaman dahulu berdiamlah suatu kelompok marga Damanik Barotbot di lingkungan Kerajaan Bandar, mereka mendiami suatu tempat bernama Taran Manik. Mereka merupakan penduduk awal sebelum kehadiran marga Damanik Bariba dari Kerajaan Siantar dan sisa-sisa keturunan Nagur. Eksistensi mereka terdesak setelah kehadiran Tuan Bonas Mahata Damanik putera Tuan Na Martuah Damanik, Raja Siantar yang mendirikan Kerajaan Bandar. Selama ini hubungan antara mereka berjalan baik dan harmonis, rakyat Barotbot patuh dan tunduk terhadap kekuasaan Raja Bandar, namun belakangan muncul pemimpin baru di tengah-tengah mereka yang sangat mendambakan kekuasaan yang dikenal dengan julukan Tuan Barotbot. Untuk menarik simpati rakyatnya, ia lalu mengusung propaganda "Damanik Rampogos adalah penduduk asli lebih berhak sebagai penguasa daripada pendatang" dan menghasut mereka agar pro kepadanya dan sama-sama melakukan makar mengkudeta Raja Bandar. Gerakan ini akhirnya kian mendapat dukungan penuh dari rakyatnya, akan tetapi konspirasi ini belum tercium oleh pihak kerajaan. Meski mereka sama-sama dari golongan marga Damanik, namun hal itu tidak menyurutkan langkah Tuan Barotbot untuk merencanakan pengkhianatan, dia bersama rakyatnya tetap tidak rela tanahnya dikuasai pihak lain. Untuk memuluskan langkahnya, ia berniat membunuh Raja Bandar. Bersama rekan-rekannya, rencana makar pun dirancang, yaitu dengan mengadakan perjamuan kepada Raja Bandar. Ia lalu menyuruh anggotanya untuk menyampaikan pesan kepada raja tentang acara perjamuan, tanpa ada kecurigaan dengan senang hati Raja Bandar menyetujui niat baik dari Tuan Barotbot. Pada perjamuan itu, Tuan Barotbot akan membubuhkan racun pada makanan yang akan disantap raja, di benaknya bila raja mati maka kekuasaan akan dengan mudah ia peroleh.

Segala persiapan untuk melangsungkan acara dilakukan dengan sungguh-sungguh berikut tipu daya untuk membunuh Raja Bandar. Tuan Barotbot memanggil seorang tukang daging (parjuhut) dan melakukan kesepakatan rahasia dengannya. Di atas jembatan Bah Pamujian, tidak begitu jauh dari istana raja (rumah bolon), Tuan Barotbot menyuruh Parjuhut agar menaburkan racun ke dalam makanan yang akan disantap raja. Ia berkata: "Tirtiri ma holi sibiangsa on hubagas panganonni rajatta ai..! sapah na ipalit ma holi baen tandani". Racun pembunuh itu bernama Sibiangsa, sejenis racun yang sangat berbahaya dan mematikan yang biasa digunakan untuk meleburkan tanah. Tanpa mereka sadari ternyata percakapan mereka didengar oleh seorang pria bermarga Saragih yang berada di bawah jembatan tersebut. Pria ini mengidap penyakit kulit yang disebut purupuruon, kala itu ia sedang membersihkan tubuhnya di sungai Bah Pamujian. Oleh penduduk setempat, pria ini digelari Si Malangu yang berarti orang yang berbau tidak sedap. Karena penyakit yang diidapnya, ia selalu dihardik dan dicerca oleh penduduk dan dianggap manusia yang tidak berharga. Setelah selesai membersihkan diri, Si Malangu lalu memberanikan diri pergi menuju istana untuk menemui Raja Bandar dan menceritakan niat jahat dari Tuan Barotbot.

Sesampainya di halaman istana, Si Malangu langsung dihalau oleh para pengawal istana, kehadirannya menimbulkan kemarahan mereka, namun mereka tidak sampai memukulnya. Si Malangu tetap tidak menyerah, ia terus saja memohon agar diperkenankan bertemu dengan raja. Para pengawal lalu bertanya padanya: “Lahou mangaha do ho hujon o Malangu? Hambus ko hunjon, ulang dohor-dohor ho hu rumah bolon on!". Si Malangu menjawab: "Lahou manjuppahi rajatta do au lo ambia". Para pengawal tersebut tetap saja melarang dan menghalaunya dan berkata: "Babahmin ma, lahou manjuppahi raja nim, ise gakni ho ase pag ho manjuppahi raja? Ulang be buei hatamu ijin, hambus ma ho hunjon Malangu!... Sedo ijon iananmu, ulang soppat hutoppaskon holi babahmin". Si Malangu tetap bersikeras dan tidak mau mengindahkan larangan mereka. Mendengar keributan di luar, sang raja lantas memanggil salah seorang pengawal untuk memberitahukan keadaan yang terjadi, pengawal lalu berkata: "Amba Janami, dong si Malangu i balui. Nini gan lahou pajuppah pakon Janami, dong gan na porlu lahou sahapkononni". Raja pun menjawab: "Anggo sonai suruh ma ia hubagas", pengawal tersebut akhirnya memperkenankan Si Malangu untuk masuk. dengan menundukkan tubuhnya perlahan Si Malangu menaiki tangga istana menuju ke hadapan sang raja sembari bersimpuh. "Aha do nai na mambaen ho ase roh kujon ale Malangu?" tanya raja. "Amba ale janami 3x... lang janami... lang", sahut Si Malangu. Raja kembali bertanya: “Patugah ma ale Malangu! Ulang pala mabiar ho. Aha do nai na lahou patugahonmu bakku?". Dengan diliputi rasa takut, ia terdiam sejenak dan termangu-mangu sambil bersimpuh sembari berkata: "Amba ale janami 3x..., sonon ge ale Janami, sanggah itoruhni hitei ai au paliaskon akkulakku, hutangar Tuan Barotbot lahou pamanganhon Janami pakon Sibiangsa". Mendengar ucapan Si Malangu, sang raja sangat terkejut namun ia tidak panik karena ia menganggap itu hanya omong kosong Si Malangu saja. Sang raja lalu berkata: "Ai ra dong na pag mambaen sonai bakku lo ambia...? Seng tongon ai ambia". Si malangu kembali meyakinkan sang raja dan berkata: "Amba ale Janami 3 x, tongon do ai ale Janami, tongon do ai.... ale Janami”. Ia menjelaskan: "Sapah na ipalit ma holi tandani panganon na inahi sibiangsa ai, ale Janami". Raja pun mulai yakin meski sangat terkejut, akan tetapi ia berusaha untuk tidak panik. "Tupa ma bai tugahtugahmai o Malangu, anggo sonai mulak ma ho!", ujar raja kepada si Malangu.

Si Malangu dengan menunduk mengundurkan diri dari hadapan Raja Bandar. Karena kuatir akan keselamatannya, ia lalu pergi menjauh ke dalam hutan. Sang raja lalu bertitah agar penjagaan di istana lebih diperketat, para hulubalang pun turun memeriksa kesiapan dari para pengawal dan prajurit bagian pengamanan. Bersama dengan para pembesar kerajaan (Harajaan), yaitu Tuan Nagodang, Tuan Rumah Suah, dan Tuan Kahaha serta para Parbapaan Bandar yaitu Tuan Bandar Sahkuda, Tuan Mariah Bandar, Tuan Naga Bandar, dan Tuan Bandar Tongah. Sang raja lalu menceritakan kisah yang didengarnya dari Si Malangu mengenai rencana jahat dari Tuan Barotbot. Mereka sangat terkejut dan sama sekali tak menyangka Tuan Barotbot berani melakukan itu. Mereka lalu menganjurkan agar sang raja tetap saja mengikuti jamuan makan yang ditawarkannya untuk membuktikan kebenaran cerita dari Si Malangu. Raja pun menyetujuinya dan meminta mereka agar berwaspada akan berbagai kemungkinan ancaman yang akan terjadi. Waktu perjamuan makan pun sudah dekat,

Tuan Barotbot bersama para pengawalnya dari kampung barotbot bergegas menuju ke istana Raja Bandar yang berjarak sekitar 15 km dari kediaman mereka. Sembari menanti kehadiran Tuan Barotbot, di istana sudah berkumpul para pembesar kerajaan, mulai dari Harajaan, Raja Goraha, Parbapaan, Partuanon, Pangulu, Guru Huta, Puanglima, Parsaholat, Gamot, dan keluarga kerajaan seperti puang bolon, panak boru, dan para dayang-dayang. Kerumunan rakyat bandar memadati halaman istana raja bandar untuk menyaksikan acara tersebut. Tidak lama kemudian, Tuan Barotbot pun tiba bersama pasukannya, pihak kerajaan lalu menyambut kedatangan mereka seperti biasa. Acara perjamuan pun siap untuk dilaksanakan, penjagaan dan kewaspadaan para pengawal istana juga sudah disiagakan. Berbagai jenis makanan dan minuman sudah tersaji, tukang daging yang bertugas menyiapkan makanan yang mengandung racun sibiangsa itu juga sudah menempatkannya di meja raja.

Kini waktunya untuk menikmati hidangan, Raja Bandar bersama Tuan Barotbot duduk satu meja, Tuan Barotbot lalu mempersilakan raja agar mulai mencicipi makanan sembari memutar meja agar piring yang mengandung makanan beracun tersebut berhenti di depan Raja Bandar. tidak mau kalah dengan Tuan Barotbot, raja yang sudah mengetahui niat jahatnya berusaha menghindari piring makanan yang mengandung racun tersebut. Ia bisa mengenalinya dengan tanda yang ditaruh di bawah piring. Demikian juga Tuan Barotbot, ia berusaha mengelak saat makanan itu berhenti di depannya. Demikianlah berulang-ulang makanan yang mengandung racun Sibiangsa itu selalu saja berhenti di depan Tuan Barotbot. Demi menjaga rasa malu dan takut kedoknya terungkap, makanan beracun terpaksa harus disantapnya. Racun tersebut seketika langsung bereaksi dalam tubuh Tuan Barotbot. Ia lalu mohon diri kepada sang raja hendak kembali ke kampung Barotbot. Dengan perasaan penuh rasa malu dan kecewa berat karena rencana busuknya gagal, Tuan Barotbot bersama pasukannya kembali tanpa hasil. Racun yang mestinya dimakan raja, justru malah dimakannya sendiri. Senjata pembunuh yang dibuatnya justru membunuh dirinya sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Keadaan itulah yang menimpa tuan barotbot. Di tengah perjalanan, tubuhnya pun mulai sempoyongan, di tengah jalan racun itu dimuntahkannya, tanah tempat muntahan tersebut meledak dan membentuk lubang besar. Dalam kondisi demikian, ia tetap berusaha melanjutkan perjalanan, hingga mendekati kediamannya ia kembali memuntahkan racun itu dan kembali membentuk lubang besar. Tidak lama kemudian, ia pun terjerembab jatuh dari kudanya ke dalam lubang tempat muntahan tadi dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Para pengawalnya tidak mampu berbuat apa-apa atas kematian pemimpin mereka, mereka hanya bisa bersedih dan menyesali tindakan mereka yang terlalu gegabah sehingga akhirnya merenggut nyawa satu-satunya pemimpin mereka.

Tidak lama kemudian, kabar kematian Tuan Barotbot terdengar sampai ke telinga Raja Bandar. Dengan penuh rasa syukur, sang raja mengucapkan rasa syukur kepada para dewa karena sudah melindunginya dari para pengkhianat. Para pembesar dan keluarga kerajaan juga sangat bahagia atas keselamatan raja mereka. Raja lalu menyuruh para pengawalnya agar membawa Si Malangu menghadapnya, untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah membongkar rencana busuk dari Tuan Barotbot. "Anggo nang podas ipatugah ko bakku tahitahini Tuan Barotbot ai domma matei au ambia", ucap raja bandar kepada Si Malangu. Atas jasanya, raja lalu mengangkatnya sebagai pejabat kerajaan yang baru bergelar Tuan Si Malangu yang posisinya langsung di bawah raja. Berkat kejadian ini statusnya pun terangkat, karirnya pun menanjak dengan cepat. Kehidupannya perlahan membaik dan penyakitnya disembuhkan oleh tabib kerajaan. Sejak itu, ia tidak lagi jadi cemoohan masyarakat, tetapi jadi sosok yang disegani. Raja kemudian bersama dengan para pembesar kerajaan berembuk membahas tindakan pengkhianatan yang telah dilakukan Tuan Barotbot, hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada rakyat Barotbot, sebab gerakan pengkhianatan ini mendapat dukungan dari rakyatnya. Raja Bandar yang masih menyimpan kemarahan, lalu memutuskan untuk menghukum mati mereka semua. Tuan Nagodang menolak keputusan tersebut, karena dinilai tidak berperikemanusiaan. Ia lalu menyarankan agar rakyat Barotbot dikurung dalam sebuah kandang besar bersama dengan kerbau liar. Hukuman itu dianggap lebih tepat, dalam kandang itu mereka akan beradu dengan sekumpulan kerbau, mereka akan berjuang untuk tetap hidup. Bagi yang mampu menyelamatkan diri akan hidup dan bagi yang tak mampu akan mati. Bagi mereka yang hidup dibiarkan bebas, Raja Bandar pun menyetujui hukuman tersebut.

Ia memerintahkan kepada panglima kerajaan agar mengatur rencana pelaksanaan hukuman. Sejumlah pasukan berkuda kemudian bergegas menuju kampung Barotbot, kandang berukuran besar pun dibuat. Dengan disaksikan Raja Bandar, rakyat Barotbot lalu diarak masuk ke dalamnya. Di dalam kandang tersebut mereka saling beradu dengan sekumpulan kerbau liar. Satu persatu rakyat Barotbot mati terbunuh oleh keganasan kerbau-kerbau tersebut, sebagian ada yang berhasil selamat lalu melarikan diri. Setelah itu pemukiman rakyat Barotbot pun dibumihanguskan. Melihat peristiwa itu, Raja Bandar merasa puas, kemarahannya mulai reda. Ia bersama para pembesar lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana. Kampung Taran Manik kini sudah tidak ada lagi dan sudah berubah jadi area perladangan, tidak jauh dari tempat ini terdapat kampung bernama Pamorhatan. Mereka yang selamat dari hukuman berpencar ke berbagai tempat dan terus menyimpan dendam terhadap Raja Bandar karena telah membunuh keluarga dan saudara mereka. Dendam ini terus menerus melekat hingga anak cucu mereka. Hingga meletusnya Revolusi Sosial 3 Maret 1946, di antara keturunan rakyat Barotbot ini ada beberapa orang yang ikut terlibat aksi pembunuhan dan penculikan keluarga Raja Bandar. Menurut mereka pada saat itulah waktu yang tepat untuk membalaskan dendam leluhur mereka. Salah seorang keturunan mereka bernama Bahrum Damanik pernah menjadi Walikota Tanjung Balai (1975-1980), sementara dari keturunan Si Malangu ada yang pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Utara dan juga anggota DPRD Simalungun.

Narasumber:
Tuan Kaliasan Damanik Bariba putera Tuan Satia Bisara Damanik Bariba (Nagodang Bandar).
Share:

Thursday, March 10, 2016

Bahasa Simalungun Dalam Tinjauan Linguistik

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

(Telah Diterbitkan di Majalah Sauhur Edisi II Tahun 2007)

Pendahuluan
Bicara mengenai Bahasa Simalungun, maka terlebih dahulu kita mengulas bagaimana sejarah masuknya nenek moyang penutur bahasa Austronesia ribuan tahuan lalu ke nusantara khususnya ke Sumatera Utara. Bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang terbilang sudah cukup tua dan sangat luas penyebarannya di dunia, kemunculannya diperkirakan sekitar 6.000-10.000 tahun lalu. Kebanyakan bahasa-bahasa Austronesia tidak mempunyai sejarah panjang dalam bentuk tertulis, sehingga upaya untuk merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal, yaitu sampai pada Proto-Austronesia sangat sulit. Prasasti tertua dalam bahasa Cham, yaitu Prasasti Dong Yen Chau yang diperkirakan dibuat pada abad ke-4 Masehi, sekaligus merupakan bukti tertulis tertua pula bagi rumpun bahasa Austronesia. Robert Blust, seorang pakar ilmu linguistik telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata proto Bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam. Seorang pakar linguistik lainnya bernama Spir juga telah menyusun kronologi penyebaran Bahasa Austronesia dari tahun ke tahun. Ada beragam pendapat mengenai tanah air Bangsa Austronesia ini, para cendekiawan mencoba menyelidiki dari dua sisi yaitu melalui bukti arkeologi dan ilmu genetika. Secara penelaahan genetika memberikan hasil yang bertentangan, sejumlah peneliti menemukan bukti bahwa tanah air Bangsa Austronesia Purba berada di benua Asia (Melton dkk, 1998). Sedangkan para peneliti lainnya merujuk pada kajian linguistik menyatakan bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan, dengan alasan di Taiwan ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28) menemukan hal ini ketika ia menulis:

“... Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya. Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia secara kesuluruhan".
 Gambar 1: Peta penyebaran bahasa Austronesia di Taiwan sebelum kehadiran orang-orang Tionghoa.

Setidaknya sejak Spir (1968), para ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun bahasa Austronesia. Sedangkan hasil penggalian arkeologi menunjukkkan bahwa bangsa Austronesia sudah bermukim di Taiwan sekitar 8.000 tahun yang lalu. Dari pulau ini mereka bermigrasi ke Filipina, Indonesia kemudian Madagaskar dan ke seluruh Samudera Pasifik. Para ahli sejarah menyarankan migrasi ini bermula sekitar 6.000 tahun yang lalu. Hasil penelitian mutakhir para ahli semakin memantapkan dugaan adanya dua arus migrasi besar ke nusantara yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Austroasia yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan kedua, bangsa Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, Austroasia dan Austronesia awalnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa ini berasal dari Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu Austroasia digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan dan Austronesia yang digunakan di wilayah kepulauan mulai dari Taiwan, Filipina, Samudera Pasifik, Madagaskar hingga Pulau Paskah.

Gambar 2-4: Rute penyebaran bangsa dan bahasa Austronesia beserta tahunnya.

Dari hasil pengkajian bahasa yang dilakukan oleh penulis, dalam bahasa Simalungun sendiri ditemukan terdapat dua golongan bahasa baik Austroasia maupun Austronesia.  Adapun leluhur langsung yang menurunkan bangsa dan bahasa Simalungun yang datang dari Taiwan, penulis menduga yaitu dari suku Amis dan Atayal yang bermigrasi ke Sumatera Utara sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka masuk melalui pantai timur Sumatera, awalnya mereka menetap di pesisir mendesak bangsa Austroasia yang lebih dulu datang pada 300-100 tahun sebelumnya, sebelum kehadiran Bangsa Austronesia, suku Simalungun pada awalnya menuturkan Bahasa Austroasia. Namun penulis belum mampu menyebutkan secara spesifik suku apakah dari golongan Bangsa Austroasia yang datang ke Simalungun, selain datang dari Taiwan, ada juga penutur Bahasa Austroasia yang datang langsung dari daratan asia yaitu dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, hal ini diketahui dari adanya kemiripan kosa kata antara rumpun bahasa Mon-Khmer seperti bahasa Mon, Khmer, Thai, Palaung, Shan, dan Khasi dengan bahasa Simalungun, keempat bahasa ini dituturkan di negara Myanmar, Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, India, dan Cina. Dari sejumlah daerah inilah para penutur Bahasa Austroasia berlayar ke nusantara khususnya Sumatera Utara. Namun pasca masuknya Bangsa Austronesia dari Taiwan perlahan kedudukan Bahasa Austroasia tergantikan akibat dominasi dari Bahasa Austronesia.
Gambar 5: Skema pembagian rumpun bahasa Austroasia.

Bahasa Simalungun
Secara linguistik bahasa Simalungun digolongkan ke dalam salah satu sub bahasa Batak, Petrus Voorhoeve (1955: 88) memposisikan bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah di antara rumpun selatan (Toba, Mandailing, Angkola) dan utara (Pakpak, Karo, Alas). Namun menurut Adelaar (1981: 55), bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum ketiga bahasa tersebut terbentuk. Dari ungkapan Adelaar ini menyiratkan bahwa bahasa Simalungun telah berwujud sebelum lahirnya ketiga bahasa rumpun selatan lainnya yang kemudian berpisah dan membentuk rumpun tersendiri. Geoff Wollams dalam penelitiannya tentang bahasa Karo menemukan bahwa dari 207 kosa kata dasar yang ia bandingkan antara bahasa Karo dan bahasa Simalungun ternyata dalam kedua bahasa tersebut terdapat kesamaan sebesar 80%.

Gambar 6: Skema pembagian bahasa Batak menurut Adelaar (1981: 55)

Bahasa Simalungun menjadi media tutur bagi masyarakat pribumi yang mendiami tanah Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, namun pada zaman dahulu wilayah penyebaran Bahasa Simalungun meluas sampai ke Langkat, Medan, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Hal ini diketahui dari banyaknya nama tempat yang menggunakan bahasa Simalungun di sepanjang pesisir timur mulai dari Langkat hingga Labuhan Batu. Luasnya penyebaran Bahasa Simalungun tidak terlepas dari perjalanan sejarah suku Simalungun itu sendiri, di mana mereka telah melalui berbagai fase dalam menapaki lintasan sejarah. Kebesaran suku Simalungun diawali pada masa Kerajaan Nagur yang pada masa kejayaannya menguasai sebagian besar daerah di pesisir Sumatera Timur mulai dari Aceh hingga sungai Rokan. Namun seiring berjalannya waktu terjadi pasang surut kekuasaan, Kerajaan Nagur mengalami berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar sehingga perlahan Nagur mengalami kemunduran dan daerah-daerah koloninya banyak dicaplok oleh sejumlah dinasti baru seperti Haru, Perlak, Pasai, Aceh, Johor, dan Siak.

Bila ditinjau dari bentuknya, Bahasa Simalungun telah mengalami beberapa fase dalam pembentukannya, mulai dari Bahasa Simalungun kuno (Proto Simalungun), Simalungun pertengahan (Middle Simalungun), dan Simalungun baru (Neo Simalungun). Bahasa Simalungun masih banyak mewarisi bentuk-bentuk asli dari Bahasa Austronesia kuno, diantaranya adanya vokal rangkap (diftong) "ui', ou, dan ei" dan memiliki anak surat (diakritik) tersendiri dalam bentuk verbal, masing-masing bernama hatulungan /ou/, hatalingan /ei/, dan hatuluyan /ui/, hal ini akan penulis jelaskan satu persatu secara rinci. Eksistensi vokal rangkap ini semakin memperkaya ragam vokal bahasa Simalungun menjadi 8 bentuk yaitu /a, i, u, e, o, ui, ou, ei/. Pada saat ini terdapat banyak keragaman dialek dalam Bahasa Simalungun dan pada beberapa lokasi ada kecenderungan upaya pengaburan bentuk-bentuk asli warisan Bahasa Austronesia kuno tersebut terutama di kawasan Simalungun Atas dan Simalungun Horisan. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/ dan /ei/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, dan Alas di Aceh Tenggara serta bahasa Keluet di Aceh Selatan dan fonem /ui/ selain dalam Bahasa Simalungun dikenal juga dalam Bahasa Alas.

Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata “horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dilou”. Kemudian fonem /ei/ pada kata “lobei, hitei, bogei, dogei, atei, buei”. Sementara fonem /ui/ terdapat pada kata “tondui, langui, apui, sungui, babui, tului, ampodui, surui, haluhui”. Dalam bahasa Alas di Aceh Tenggara,  bentuk kata berdiftong tersebut dapat dilihat dari kata-kata berikut “endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, apui”. Demikian juga pada bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, seperti pada kata “kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, mbuei”. Sedangkan dalam bahasa Karo diwakili oleh kosa kata berikut “dilau, belau, sapau, rimau, ayau, namau, payau, matai, berai, isai, keina, benai, lumai”. Namun pola penggunaan diftong ini hanya berlaku di wilayah Karo yang berbatasan dengan Simalungun dan Melayu, tidak meluas hingga ke wilayah Karo lainnya seperti pada dialek Gunung dan juga Kabanjahe. Hal ini terjadi akibat adanya kontak secara berkesinambungan dan berlangsung lama dengan suku Simalungun di perbatasan dan Melayu di Deli Serdang dan Langkat.

Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain seperti bahasa Toba, Mandailing, Angkola, dan Pakpak; fonem /ou/ ini biasa berbunyi /o/ seperti pada kosa kata berikut “horbo, piso,  mago, sopo, laho, babo, tangko, dilo”; /ei/ berbunyi /e/ tampak pada kosa kata “hite, bege, dege, ateate”; sedangkan diftong /ui/ akan berbunyi /i/ seperti kata “tondi, langi, api, babi, suri, halihi”. Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata “daroh, babah, roh, dilah, soh, gogoh”; fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan juga Keluet; namun tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola -- ketiganya sama sekali tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka kata “babah” akan berbunyi "baba", “roh” akan berbunyi “ro”, “dilah” akan berbunyi “dila”, dan “gogoh” akan berbunyi “gogo”.

Keragaman fonem lainnya yang tidak ditemukan dalam Bahasa Batak lainnya adalah /d/, /g/, dan /b/, ketiga fonem ini menjadi penutup dalam sebuah kata. Ahli bahasa Belanda Dr. Petrus Voorhoeve (1955: 88) pernah mengulas tentang fonem penutup /d/, /g/, dan /b/ ini, ia merasa terkesima karena bahasa Simalungun satu-satunya etnis Batak yang mengenal bentuk fonem seperti ini. Menurut Voorhoeve, fonem ini erat hubungannya dengan bahasa Sanskerta. Pola penggunaannya tidak mengalami perubahan baik dalam bentuk lisan (oral) maupun tulisan (verbal). Fonem /d/ tampak pada kata “bod, saud, towod, agad, sogod, bagod, sarad, alud”. Sedang fonem akhir /g/ diwakili oleh kata “dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, ulog”. Sementara fonem akhir /b/ muncul pada kata “dob, rongkob, dorab, tayub, langkob, sab”. Kosa kata yang sama ditemukan juga pada bahasa Pakpak dan Karo, namun fonem penutup /d/ mengalami perubahan menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, di mana kata “bod” berubah menjadi “bon/ben”, “saud” menjadi “sahun”, “towod” menjadi  “tiwen”, “sogod” menjadi “cegen”, “sarad” menjadi “saran”, dan “alud” menjadi “alun”. Kemudian kata “dolog” menjadi “deleng”, “pusog” menjadi “puseng”, “balog” menjadi “baleng”, “lanog” menjadi “laneng”, “borgog” menjadi “bergeng”, “bolag” menjadi “belang”, dan “pag” menjadi “pang”. Sementara untuk fonem /b/ penulis belum dapat menentukan bentuk perubahannya.

Pada bahasa etnis Batak lainnya seperti Toba, Mandailing, dan Angkola fonem /d/ akan berbunyi /t/ seperti tampak pada kosa kata berikut bod–bot, saud–saut, tuod–tot, agad–agat, sogod–sogot, bagod–bagot, sarad–sarat, alud–arut; /g/ akan berbunyi /k/ seperti dolog–dolok, balog–balok, lanog–lanok, bolag–bolak, ulog–ulok; sedang untuk fonem /b/ penulis juga belum dapat menentukan bentuk perubahannya. Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah pada sejumlah bahasa, tidak hanya pada bahasa nusantara, namun berlaku pula pada bahasa di belahan bumi Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul pada posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?

Dalam bahasa Simalungun ternyata terdapat cukup banyak kosa kata yang bukan produk hasil kreasi nenek moyang suku Simalungun. Kosa kata itu umumnya diadopsi dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini tentu tidak pernah disadari oleh para penutur bahasa Simalungun, mereka umumnya merasa semua kosa kata yang mereka tuturkan adalah warisan langsung dari nenek moyang mereka. Adapun kata serapan dari bahasa Sanskerta, di antaranya digunakan untuk penyebutan nama-nama dewa seperti “bisnu, sori, hala, borma” yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata “whisnu, sri, kala, brahma”. Demikian juga untuk menyebut gugusan bintang dengan “mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, mena” yang bentuk aslinya dalam bahasa Sanskertanya adalah “mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, mina”. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti “ditia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, samisara” dalam bahasa sanskerta berbunyi “aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, syanaiscara”. Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin (deisa na waluh) seperti “purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna” yang merupakan perubahan bentuk dari kata “purva, pastjima, uthara, daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana”.

Tidak hanya itu, untuk kosa kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga banyak yang diserap dan mengalami perubahan seperti kata "boniaga" yang berasal dari kata "vanijya", "naibata" dari kata "devata", "purba" dari kata "purva", "porsaya" dari kata "pratyaya", "dousa" dari kata "dosha", "bangsa" dari kata "wamsa", "susian" dari kata "sisya", "horja" dari kata "karya", "arga" dari kata "argha", "halani" dari kata "karana", "rupa" dari kata "rupa", "ugama" dari kata "agama", "nagori" dari kata "nagari", "basa" dari kata "waca", "balei" dari kata "walaya", "banua" dari kata "wanua", "barita" dari kata "wrtta", "nanggurdaha" dari kata "garuda", "gajah" dari kata "gaja", "husapi" dari kata "kacchapi", "huta" dari kata "kuta", dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata "pingkir" yang diserap dari kata "fikr", "adat" dari kata "adat", "dunia" dari kata "dunya", "uhum" dari kata "hukm", "sibolis" dari kata "iblis". Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata "saluar" yang berasal dari kata "shalwar", "sarunei" yang berasal dari kata "surnai", "pinggan" yang berasal dari kata "pinggan". Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata "bodil" yang diserap dari kata "badil", "sohei" dari kata Tamil "cukkai", "mandihei" dari kata Tamil "komattikai". Penulis belum dapat menentukan secara definitif bagaimana proses penyerapan kosa kata ini terjadi, apakah memang langsung diserap dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah mengadakan kontak langsung dengan keempat bahasa asing tersebut.

Dialek Bahasa Simalungun
Dalam perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat terjadinya perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena ini akhirnya membentuk pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun yang ditandai dengan kemunculan sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, dan Sin Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek tersebut, para peneliti bahasa cenderung memilih dialek Sin Raya yang dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam mengkaji Bahasa Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada awalnya adalah sama, namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman bahasa induknya sehingga perlahan mengalami pergeseran, ditambah derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar wilayah Simalungun juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa Simalungun. Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian, Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat kerapnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan bahasa Toba.

Di Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa Simalungun yang digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba. Berbeda halnya dengan masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan Dolog Silou, Silimakuta, Gunung Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur Bahasa Karo, maka dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan. Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei seperti di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun yang mayoritas beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan juga perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu menyerap ke dalam bahasa Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat Simalungun yang menetap di antara komunitas suku Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog, dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah Simalungun yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi secara berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun semakin memberikan peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki berbagai tempat di tanah Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun sangat besar dan sulit untuk dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang berubah bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.

Penutup
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.

Daftar Pustaka:
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India:  The Christian Literature Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996
Share:

Thursday, January 28, 2016

Kerbau dan Babi dalam Perspektif Budaya Batak


Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pendahuluan
Babi adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikuti terbiasa mengkonsumsi binatang ini tersebut sehingga belakangan menjadi kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual Batak, terbukti babi sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan bagi para pengunjung.

Selama ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam, kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli Tua.

Demikian juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun, mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.

Dari uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.

Kita tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.

KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH
Sejarah Kerbau
Kerbau (bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu :
1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.
Dapat dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu. Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi. Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).

Kerbau Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban pada upacara adat.

Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.

Bagi masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan (wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli. Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat (Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo. Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk.,1997:5,12).

Konsep ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan, kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi (menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan, serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar juhut (Simatupang, 2005:63–65).

Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar (Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.
Selain itu, kerbau memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai binatang yang membantu untuk mengolah sawah, penghasil susu, penghasil daging, penghasil pupuk, sebagai tabungan jangka panjang, sebagai bahan tekstil (industri), dan terakhir kerbau berfungsi sebagai alat transportasi.

Peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Penanaman padi dengan sistem perladangan diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia (Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam (Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak, beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412). Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pertaniannya.

Mengenai perkembangan pertanian, sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha abad ke XI–XIV Masehi, kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya, kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu (Susilowati,2003:49).

Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 -- 12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.

Sejarah Babi
Pendapat umum menyatakan bahwa bangsa babi merupakan hewan yang paling awal dijinakkan, bukan kucing ataupun anjing. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penemuan lukisan dan ukiran babi yang berumur lebih dari 25.000 tahun yang lalu. Asal-usul ternak babi yang dikenal sekarang adalah keturunan dari dua jenis babi liar; Sus Vittatus dari India timur, Asia Tenggara, China dan Sus Scrofa dari Eropa yang didomestikasi pada 4900 tahum SM. Hingga kini masih ditemukan 2 (dua ) spesies  babi liar ini hidup bergerombol dan membentuk kelompok besar di hutan Eropa dan India Timur. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah ada 25 sub spesies Sus Scrofa yang diketahui, dan perkembangannya telah beradaptasi dengan lingkungan lokal. Babi lokal (indigenous) diberbagai daerah tropis sekarang ini sulit dijumpai karena pada umumnya telah mengalami grading up dengan babi ras atau breed eksotik yang berasal dari Ingris, Amerika dan Skandinavia; karena babi ras ini ternyata lebih cocok untuk daerah tropis.
Adapun jenis babi yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari babi lokal maupun babi yang didatangkan dari mancanegara (import). Babi asli Indonesia adalah babi hutan yang masih banyak berkeliaran di hutan-hutan. Babi yang sekarang ada di Indonesia adalah keturunan babi hutan dengan ciri khas umumnya; liar, warna hitam dan dipelihara secara ekstensif, bebas berkeliaran di sekitar perkampungan. Bangsa babi asli Indonesia adalah babi Bali, babi Karawang, babi Sumba dan babi Nias.

1. Babi Bali
Ciri-ciri:

- Warna hitam dan bulu agak kasar
- Bentuk tubuh dan kepala kecil
- Punggung lentik
- Perut hampir menyusur tanah
- Kaki pendek
- Cungurnya relative pendek
- Telinga kecil dan berdiri tegak

2. Babi Karawang
Ciri-ciri:

- Kepala kecil
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Tulang belakang lemah dan agak panjang
- Perut hampir menyusur ke tanah
- Kaki pendek
- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih

3. Babi Sumba
Ciri-ciri:

- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )
- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan
- Badan sedang pendek namun dalam
- Bentuk kepala lonjong
- Moncong lancip
- Telinga kecil berdiri

4. Babi Nias
Ciri-ciri:
- Badan sedang
- Kepala lebih pendek dari babi sumba
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Mulut runcing
- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu
- Warna putih atau belang hitam

Babi Impor
Pada saat ini ada beberapa babi impor yang didatangkan dari Luar negeri dan telah berkembang di Indonesia yaitu Babi VDL (Veredeld Duits Landvarken), Babi Yorkshire dikenal dengan nama Large White, Babi Tamworth, Babi Saddle Back , Babi Landrace dan Babi Duroc.

1. VDL (Veredeld Duits Landvarken)
Ciri-ciri:

- Kepala besar agak panjang
- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala
- Badan besar
- Daging banyak

2. Babi Yorkshire (Large White)
Ciri-ciri:

- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam
- Telinga tegak
- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk
- Badan besar panjang dalam dan halus
- Efisiensi penggunaan pakan tinggi
- Pertumbuhan cepat
- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)

3. Babi Tamworth
Babi Tamworth adalah babi penghasil daging bermutu tinggi yang berasal dari Inggris (kota Tamworth).
Ciri – ciri:

- Warna merah tua atau kecoklatan
- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing
- Moncong agak panjang lurus
- Telinga tegak dan sedang,
- Tulang belakang kuat
- Tubuh besar
- Kaki sedikit panjang

4. Babi Saddleback
Ciri – ciri:

- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki
- Kepala sedang dan halus
- Telinga tegak
- Rahang rata
- Punggung berbentuk busur

5. Babi Landrace
Ciri – ciri:

- Warna putih dan bulu halus
- Tubuh panjang
- Telinganya terkulai rebah ke depan
- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak

6. Babi Duroc
Ciri – ciri:

- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya
- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak

Tinjauan Medis
Penelitian medis banyak menggunakan babi, karena secara anatomi dan fisiologi (fungsi) mirip hingga 90 persen dengan manusia, walaupun sistemnya berbeda. Babi adalah pemakan segala (omnivora) seperti manusia di mana ukuran dan fungsi jantung, ginjal dan pankreas babi mirip manusia. Di alam liar, babi termasuk hewan pemakan bangkai. Mereka akan memakan apa saja termasuk juga kotoran, makanan busuk, bangkai, dan bahkan mereka memakan tumor atau daging lebih yang berasal dari babi lainnya. Sistem pencernaan babi memang agak mengesankan, tetapi tidak selalu dapat menyaring zat-zat beracun dari semua yang mereka makan. Sistem pencernaan babi mampu menyelesaikan proses mencerna makanan hanya dalam waktu 4 jam, sehingga racun yang mereka makan akan disimpan di dalam lemak. Racun tersebut mungkin tidak berbahaya bagi babi, tetapi bagi kami, itu hal yang berbeda. Berdasarkan penyelidikan sebuah Consumer Reports, dari 200 sampel daging babi mentah, 69 persen telah terkontaminasi, mengandung bakteri berbahaya seperti Yersinia Enteroclitica yang dapat menyebabkan penyakit serius. Ground pork bahkan lebih buruk, mengandung kontaminan lain seperti Ractopamine [1] yang merupakan obat terlarang yang dicekal di China dan Eropa. Menurut laporan tersebut, "Kami menemukan Salmonella, Staphylococcus Aureus, atau Listeria Amonocytogenes, yang merupakan penyebab utama dari penyakit bawaan makanan [2], dalam 3 sampai 7 persen sampel. Dan 11 persen mengandung Enterococcus, yang menunjukkan adanya kontaminasi tinja dan dapat menyebabkan masalah seperti infeksi saluran kemih."

Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan.

Lemak punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yang lemak punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah tidak layak dikonsumsi. Daging babi karena banyak mengandung lemak, meskipun empuk dan terlihat begitu lezat, namun sangat sulit dicerna. Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina pectoris), dan radang pada sendi-sendi. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina, dan Swedia (mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis, terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

Babi banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun 2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.

Dan ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya. Hal ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di daerah yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit "cacing pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa.

Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 - 10 meter", dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar). DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD, seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine, Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang bisa dijangkiti dari babi, di antaranya:
-Anthrax
-Ascaris suum
-Botulism
-Brucella suis
-Cryptosporidiosis
-Entamoeba polecki
-Erysipelothrix shusiopathiae
-Flavobacterium group IIb-like bacteria
-Influenza
-Leptospirosis
-Pasteurella aerogenes
-Pasteurella multocida
-Pigbel
-Rabies
-Salmonella cholerae-suis
-Salmonellosis
-Sarcosporidiosis
-Scabies
-Streptococcus dysgalactiae (group L)
-Streptococcus milleri
-Streptococcus suis type 2 (group R)
-Swine vesicular disease
-Taenia solium
-Trichinella spiralis
-Yersinia enterocolitica
-Yersinia pseudotuberculosis

Daftar Pustaka:
Gunadi. Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi Ekonomi. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2000
Hasanuddin, Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati. Ornamen (Ragam Hias) Rumah Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Utara. 1997
Marsden, William. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999
Sipayung, Hernauli dan Lingga, Andreas. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. 1994
Sukendar, Haris. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam: Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996
Wiradnyana, Somba, dan Nani. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di Sebagian Wilayah Indonesia. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. 2005
Share:
Saya Masrul Purba Dasuha, S.Pd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Video of Day

Blogroll

Flag Counter

Join Us Here

Blog Stats

Categories

Find Us On Facebook