Totik Mansiathon Diri Marombou Bani Simbuei

My Blog

Sunday, March 23, 2014

Legenda Lahirnya Marga Purba Karo

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Purba merupakan salah satu marga dalam suku Karo yang berinduk pada marga Karokaro, marga ini membedakan diri dengan marga Purba yang ada di Simalungun maupun di Toba, meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari Simalungun, namun di antara keturunannya sudah banyak yang tidak mengetahui hal itu dan inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa punya hubungan dengan Purba Simalungun apalagi dengan Purba Toba. Marga inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung Kaban Jahe dan Berastagi serta kampung-kampung lain di sekitarnya. Di antara keturunan Purba Karo yang terkenal adalah Bakal Purba yang bergelar Sibayak Pa Mbelgah dan seorang lagi yaitu Sibayak Pa Pelita, keduanya berasal dari keturunan Purba kesain Rumah Kaban Jahe, selain mereka ada Narsar Purba seorang ahli catur pada zaman kolonial dan Batiren Purba yang merupakan kepala sekolah pertama orang Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe pada tahun 1933. Perlu diketahui bahwa Sibayak Pa Pelita dahulu masih sering berkunjung ke Pamatang Purba, karena ia masih mengingat tanah leluhurnya di Simalungun. Akibat sering berkunjung ke Simalungun, ternyata menjadi jalan baginya bertemu dengan pendamping hidupnya yaitu salah seorang puteri Simalungun boru Purba Pakpak, yang sebenarnya adalah saudari semarganya sendiri.
.
 Gambar 1: Pa Mbelgah Purba sekitar tahun 1910-1918

Di daerah Berastagi tanah Karo sekarang terdapat sebuah kampung bernama Buluh Duri, di tempat ini terdapat tujuh mata air bening yang tidak jauh dari Lau Gendek dan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Menurut cerita yang berkembang, di lokasi ini pada zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah pada zaman dahulu, di Simalungun terdapat sebuah kerajaan bernama Purba dengan rajanya bernama Tuan Baringin marga Purba Pakpak. Semenjak putera bungsunya lahir, raja ini sering menderita sakit, sudah banyak dukun yang mencoba mengobatinya namun penyakitnya tidak kunjung sembuh. Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk mengobatinya. Dengan menggunakan kesaktian mereka, para Guru Pakpak ini kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa putera bungsu raja adalah sumber penyakit dan malapetaka yang terjadi selama ini, dalam istilah Simalungun disebut Anak Panunda. Untuk menghindari malapetaka yang berkepanjangan, sang raja lalu memerintahkan agar putera bungsunya itu segera dibunuh.

Namun, para Guru Pakpak tersebut berpura-pura memenuhi perintah raja, mereka lalu pergi menyelamatkan dan membawanya dalam sebuah keranjang ke tengah hutan belantara. Mereka kemudian mendirikan sebuah gubuk kecil dan meletakkan keranjang tersebut di dalamnya, pada keranjang itu terdapat bambu kecil yang bertuliskan "Anak ini adalah anak Raja Purba dari Simalungun". Setelah itu, para Guru Pakpak meninggalkan putera raja itu sendirian. Tetapi sebelum mereka pergi, para Guru Pakpak ini lebih dahulu meletakkan panah, pedang, dan pisau di gubuk tersebut sebagai bekal bagi putera raja tersebut setelah beranjak remaja sebagai alat perlindungan. Mereka juga menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu terpancarlah tujuh mata air bening. Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk sehingga tempat ini dinamakan Buluh Duri.

Gambar 2: Bakal Purba yang bergelar Pa Mbelgah, salah seorang Sibayak Kabanjahe

Tanpa mereka sadari, hutan belantara tersebut ternyata masuk area perladangan milik marga Karokaro Kaban, saat ini bernama Raja Berneh dekat Raya Berastagi. Melihat seorang bayi di ladangnya, marga Kaban ini sangat terkejut, ia pun merasa anak ini adalah anugerah Tuhan baginya yang barangkali kelak bisa mendatangkan rezeki. Anak itu lalu diangkat menjadi anaknya kebetulan dia tidak memiliki anak laki-laki. Setelah beberapa tahun putera Raja Purba berada di tempat pengasingan, ia pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah berani. Pada suatu hari, dia pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah sumpit, dalam perburuan itu ia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik berwarna-warni. Ia lalu mengejar burung itu, namun burung itu selalu mampu mengelak ketika ia ingin menangkapnya. Burung itu akhirnya menghantarkannya bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan rambutnya yang terurai panjang. Pemuda itu sangat terkejut melihat seorang gadis cantik berada sendirian di tengah hutan, namun di balik itu dalam hatinya terselip perasaan gembira karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan sesama manusia. Dengan hati berdebar-debar, ia lalu menghampiri gadis itu sembari menyapanya.

Sambil tersenyum gadis itu menjawab sapaannya dengan sebuah pertanyaan, ia ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi pemuda itu bisa sampai ke tempatnya. Dengan penuh kelembutan, pemuda itu pun menjelaskan maksud kedatangannya karena mengejar seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab derngan baik oleh si pemuda. Dengan demikian sang gadis akhirnya mengetahui bahwa pemuda tersebut berasal dari Simalungun dan putera seorang raja bermarga Purba. Setelah cukup lama berduaan, gadis itu lantas mengajaknya menuju ke kediamannya. Tempat tinggal gadis itu berada dalam sebuah gua besar yang letaknya tidak jauh dari mata air tempat gadis itu ditemukan. Saat berada di pintu gua, pemuda itu sangat terkejut dan hendak melarikan diri karena terdapat seekor ular besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahannya agar tidak pergi meninggalkan gua dan ia kembali terkejut ketika menyaksikan burung yang beberapa waktu lalu dikejarnya sedang bertengger di dekat ular itu.

Gambar 3: Keluarga besar Pa Mbelgah Purba pada 21 Februari 1918

Keheranan pemuda itu kian bertambah ketika mendengar ular itu berkata mempersilakannya masuk, akhirnya ia memberanikan diri memasuki gua tempat kediaman mereka. Gadis itu pun menghidangkan aneka buah-buahan untuk santapan sang pemuda. Karena ular dan burung itu terus memperhatikannya, maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu gadis itu lalu memberitahukan kepadanya bahwa ular besar itu adalah ibunya dan burung yang bulunya berwarna-warni adalah ayahnya. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar terus mengejarnya sehingga keduanya dapat bertemu.

Mendengar penjelasannya, pemuda itu bertanya mengenai tujuan ayahnya berbuat demikian. Gadis itu menjawab bahwa kedua orang tuanya ingin agar puterinya bisa menikah dengan pemuda itu. Lantas gadis itu pun bertanya pada sang pemuda, apakah ia bersedia memenuhi keinginan kedua orangtuanya. Si pemuda memenuhi keinginannya, tidak lama kemudian keduanya pun menikah. Setelah itu, sang mertua lalu menyuruh mereka agar pergi mencari tempat menetap di perkampungan manusia. Pemuda tersebut lalu mengajak puteri ular itu menemui ayah angkatnya marga Kaban, ayahnya sangat gembira melihatnya telah memiliki pendamping, ia lalu memberikannya sebidang tanah kepada mereka sebagai tempat tinggal. Posisi tanah yang menjadi kediaman mereka berada di sebelah hilir kampung marga Kaban, oleh sebab itu dinamakan Kaban Jahe. Ia pun mendirikan sebuah gubuk (Karo: barungbarung) dan tinggal bersama isterinya, puteri ular itu. Hingga kini keturunannya dipantangkan mengganggu atau membunuh ular, karena didasari keyakinan mereka tentang puteri ular tersebut.

Gambar 4: Narsar Purba, seorang ahli catur Karo pada masa kolonial,
foto ini antara tahun 1914-1919

Keturunannya kemudian mendirikan perkampungan lainnya di sekitar kampung utama (Kaban Jahe) seperti Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan Ujung Aji. Selain itu, Lau Cih dan Pancur Batu juga termasuk kampung yang mereka dirikan. Demikianlah asal usul Karokaro Purba di tanah Karo di Urung Sepuluh Dua Kuta.

Shalman Purba salah seorang keturunan Purba Rumah Kaban Jahe kepada penulis mengatakan setelah pihak kerajaan menitahkan untuk membunuh putera Raja Purba tersebut karena menyandang status Anak Panunda yang kemudian berhasil diselamatkan oleh Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Putera Raja Purba itu kemudian diangkat menjadi murid selama 7 tahun, setelah itu barulah ia melakukan perjalanan sendiri menuju tanah Karo dan tiba di Deleng Singkut. Di sana ia bertemu dengan satu keluarga umang yang memiliki seorang puteri yang cantik dan kemudian menjadi isterinya, keduanya lalu membuka perkampungan yang dinamakan Kaban Jahe.

Menurutnya kisah tentang burung dan ular itu hanyalah cerita rekaan yang sengaja dibuat lalu disampaikan kepada semua orang yang ditemuinya termasuk kepada keturunannya, tujuannya adalah untuk menutupi identitas sebenarnya bahwa ia adalah keturunan langsung dari Raja Purba. Perjalanannya mengejar seekor burung yang akhirnya mempertemukannya dengan seorang gadis hanyalah sebuah simbol dari leluhurnya Pangultopultop yang datang dari tanah Pakpak hingga menjadi raja di tanah Purba di Simalungun. Sementara ular disimbolkan sebagai proses kelahiran kembali bahwa ia telah mati sebagai Purba Pakpak di Simalungun dan terlahir kembali sebagai Purba Karo di tanah Karo dan menyandang marga Karokaro mengikuti marga setempat yaitu Karokaro Kaban.

Daftar Pustaka:
1. Sitepu, Tabir, Drs. 1993. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan
2. Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yasasan Massa.
3. Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara.
4. Lubis, Pangaduan, Z. 1996. Cerita Rakyat Dari Sumatera Utara 2. Jakarta: Grasindo.
Share:
Lokasi: Medan North Sumatra, Indonesia

3 komentar:

Tekka Bancin said...

boi i filmkn silih.

Unknown said...

Boi silih mula ke nggeut...

Unknown said...

Ini cerita fiksi ato non fiksi?

Saya Masrul Purba Dasuha, S.Pd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Video of Day

Blogroll

Flag Counter

Join Us Here

Blog Stats

Categories

Find Us On Facebook